Mengendalikan Hawa Nafsu
(mediaindonesia.com)-DEFINISI puasa secara fikih itu sederhana, yakni menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri, serta semua yang dapat membatalkan karena Allah SWT. Waktunya dari terbitnya fajar kedua hingga terbenam matahari.
Dari definisi itu, perlu dipahami substansi dasar puasa ialah ‘menahan’. Kata menahan, yang dalam bahasa agamanya disebut al imsaak inilah yang jadi esensi dari puasa.
“Menahan diri dari bicara dari hal2 terlarang termasuk definisi berpuasa,” ujar Imam Masjid New York, AS, Ustaz Imam Shamsi Ali saat dihubungi Media Indonesia. Dalam Alquran, misalnya, menahan diri dari berbicara diistilahkan dengan shoum. Seperti dilakukan Maryam binti Imran yang dilarang bicara setelah melahirkan Nabi Isa alaihissalam.
“Inni nadzartu lirrahmani shouma (Aku berjanji atau nadzar kepada Allah untuk menahan diri (shoum).” “Makna menahan diri di sini menahan diri dari berbicara,” imbuhnya.
Terkait ini, Rasul SAW memberi nasihat di saat seseorang diajak bertengkar,hendaknya berkata, “Saya berpuasa (inni shoo-im).” “Kata ‘shoo-im’ atau puasa sini dimaksudkan menahan diri,” kata Shamsi.
Objek terutama dan terpenting dari pembahasan tentang puasa terletak pada pengendalian hawa nafsu. Hawa berarti keinginan (desire), dan nafsu berarti diri (ego). Dalam Islam, hawa nafsu bukan dipandang sebagai musuh, apalagi dihancurkan. Alih2 mematikan hawa dan nafsu, Islam justru mengarahkan dan mengaturnya tetap dalam koridornya.
Misalnya melegalkan hubungan lawan jenis dalam ikatan pernikahan. Jadi hawa nafsunya tersalurkan, bahkan jadi pintu keberkahan. “Di sinilah letak urgensi puasa. Karena betapa banyak destruksi atau kerusakan yang terjadi dalam hidup ini disebabkan kegagalan manusia mengendalikan hawa nafsunya,” kata Pimpinan Nusantara Foundation itu.
Tuhan kecil
Pasalnya, ketika dorongan (hawa) nafsu (ego) manusia itu lepas kendali, maka nafsu akan menjadi penentu hidup. Bahkan, menjadi tujuan tertinggi kehidupan.
“Pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Demikian peringatan Allah dalam Surah Al Jaatsiyah ayat 23.
“Dunia tidak lagi jadi objek hidup tapi berubah menjadi tuan atau master. Di sinilah kerap dunia atau nafsu berubah menjadi ‘Tuhan’ kecil dalam hidup,” kata Shamsi.
Dari semua bentuk materi, penyakit al khauf wal hazn (ketakutan dan kesedihan) adalah yang paling berbahaya. Manusia tidak pernah merasa cukup dan membuat manusia menghalalkan segala cara untuk memenuhi hawa nafsunya, yang tidak pernah bisa terpuaskan.
“Semakin kaya makin merasa miskin. Semakin kuat semakin ketakutan. Semakin maju alat kecantikan, perceraian makin men-jadi2. Semakin populer, semakin kesepian. Dan semakin terdidik, semakin bodoh. Itulah antara lain paradoks kehidupan yang diakibatkan hilangnya kendali hawa nafsu,” beber alumnus Universitas Islam Internasional, Islamabad, Pakistan, itu.
Untuk mengendalikan hawa nafsu agar tetap terkontrol, ujarnya, berpuasa merupakan cara terbaik. Dengannya, manusia mampu membangun kendali hawa nafsu, melatih hati nurani untuk mengambil alih kendali kehidupan.
“Dengan puasa, kita belajar jadi ‘tuan’ bagi hawa nafsu kita. Bukan menjadi ‘hamba sahaya’ bagi hawa nafsu,” pungkas Shamsi yang tengah giat mendirikan pesantren di ‘Negeri Paman Sam’ itu. (H-3; Syarief Oebaidillah; Bahan dari : https://mediaindonesia.com/read/detail/234808-mengendalikan-hawa-dan-nafsu)-FatchurR *