Wayang-Gatutkaca(14)-Dendam membara
Begitu melihat orang yang tinggi besar, yakinlah Arimba bahwa itu adalah Bima seperti telah diceritakan oleh anak buahnya. Hatinya menjadi kian panas, karena selain Arimba kehilangan ayahnya, sahabatnya Prabu Baka juga telah dibunuh oleh Bima.
Ada beberapa lelaki kesatria di situ, namun tidak dihiraukannya, karena tubuh mereka kecil-kecil, tentu kalau berperang tidak perlu lama menghabisinya. Ibaratnya lebih sulit memijat buah ranti atau orang sering menyebutnya tomat anggur. Pandangannya fokus kepada Bima. ” Hm, ini tentu yang bernama Bima, betul begitu?”, kata Arimba setelah berhadapan dengan Bima.
Para pengawal dan Arimbi memperhatikan dari beberapa langkah darinya. Sementara Arjuna berdiri dekat Bima. Puntadewa, Pinten dan Tangsen beberapa langkah di belakangnya, mengapit Dewi Kunti yang datang ke tempat itu ” Benar, aku Bima. Siapa kamu dan apa maksud kedatanganmu?” tanya Bima.
” Aku Arimba, pewaris tahta Kerajaan Pringgadani, putra tertua Prabu Trembaka yang dibunuh oleh orang tuamu, Prabu Pandu Dewanata. Kedatanganku ke sini jelas, menuntut balas atas terbunuhnya Rama Prabu Trembaka”, jawab Arimba.
” Hm, itu urusan orang tua, sebaiknya kita tidak ikut campur. Lagi pula menurut cerita, kematian orang tuamu itu akibat salah paham saja, bukan kesalahan ayahanda Prabu Pandu Dewanata”, jawab Bima.
Mendapat jawaban demikian, bukan mendingin, namun justru hati Arimba semakin memanas.
” Salah paham atau bukan, itu bukan urusanku. Yang jelas Ayahanda Prabu Trembaka telah meninggal di tangan ayahmu, kini aku menuntut balas. Utang nyawa dibayar nyawa”, kata Arimba dengan emosi.
Karena sudah tidak bisa diajak berunding, maka yang terjadi kemudian Prabu Arimba dan Bima segera terlibat dalam perkelahian yang seru.
Sekian lama bertempur, keduanya ternyata sama-sama sakti. Maka kemudian terjadi saling pukul, saling tendang dan terkadang terjadi pergumulan antara keduanya yang menyebabkan banyak pepohonan di hutan itu rusak.
Bima semula hanya ingin mengalahkan musuhnya, tidak ada maksud membunuhnya. Sementara Arimba justru yang meinginkan kematian Bima, maka serangan berbahya selalu dilakukannya. Sebagai raksasa, Arimba juga menggunakan cakar tangan dan kakinya untuk menyerang Bima.
Jika ada ksempatan, gigi taringnya siap merobek kulit Bima. Hal ini membuat Bima marah dan menyerang dengan sengitnya. Maka pertempuran antara keduanya makin seru. Waktu itu hari pagi, saat pertempuran dimulai. Sampai jelang tengah hari pertempuran Bima dan Arimba berlangsung. Kini keduanya sudah berketapan hati untuk menyudahi pertempuran dengan membunuh musuhnya.
Bima mundur selangkah, dia mengambil nafas dan kemudian di ibu jarinya telah keluar senjata pamungkasnya, yaitu kuku pancanaka. Arimba sendiri tahu apa yang dilakukan Bima, maka dia juga segera menyiapkan jurus andalannya.
Kini keduanya sudah berhadapan lagi dan terlibat dalam pertempuran seru kembali. Ketika keduanya dalam jarak dekat, Bima segera menusukkan kuku pancanaka ke perut Arimba. Namun apa yang terjadi? Ternyata kulit Arimba sangat licin dan liat, sehingga kuku pancanaka tidak bisa melukai kulit Arimba.
Bima berusaha mencapkan kuku pancanaka kembali namun hasilnya nihil. Kuku sakti itu mengenai kulit yang sangat licin, tergores sedikitpun tidak. Bahkan kini tangan dan kuku Bima terasa lengket di kulit perut Arimba dan tidak bisa ditarik, seperti tersedot ke kulit perut itu.
Perlahan namun pasti tenaga Bima juga seperti tersedot. Tenaganya berkurang-berkurang dan berkurang, akhirnya habis. Kini Bima sudah tidak bertenaga lagi. Kesatria gagah perkasa itu terkulai ke tanah seperti kain panjang ditaruh (Bahasa Jawa : nglumpruk).
Arimba tertawa terbahak-bahak. ” Bima, Bima, ternyata hanya sebegitu kesaktianmu. Ayo bangun, lawanlah aku Arimba putra Trembaka”, katanya.
Arimba memang berujud raksasa, namun sesungguhnya dia berjiwa kesatria, tidak mau membunuh musuh yang sudah tidak berdaya. Dia memberi kesempatan kepada musuhnya.
Bima terkulai lemas seperti benang basah. Arjuna segera menghampiri Bima dan berusaha menolong, namun Bima sangat lemah. Jangankan bangun atau bergerak, ibarat membuka mata saja tidak sanggup. Arjuna menjadi kebingungan menghadapi persoalan ini. Puntadewa, mau memberi pertolongan, namun dicegah Dewi Kunti. Dia tetap di tempatnya bersama Pinten dan Tangsen.
Arimba tetap berdiri di tempatnya. Arjuna jongkok dan berusaha menolong Bima, memberi minum air putih yang disiapkan prajurit. Bima tetap terkulai lemas, menelan air saja tak mampu. Ini membuat panik Arjuna. Dia mengkhawatirkan Bima, khawatir keluarga pandawa dan nasib negara yang mereka bangun bersama di Hutan Wanamerta dan mulai menunjukkan kemajuan yang sangat berarti.
Ketika Arjuna kebingungan itu, tiba2 di sampingnya ada Arimbi, adik Arimba yang jatuh hati ke Bima, dan telah mengutarakannya, namun ditolak mentah2 oleh Bima. Ya, Bima menolak cinta Arimbi yang berujud raseksi itu. Arimba membiarkan saja orang-orang yang menolong Bima. Dia yakin kalau toh Bima bisa bangkit lagi, dia bisa mengalahkannya, bahkan membunuhnya.
Arimbi juga tidak tahu bagaimana caranya menolong Bima. Hanya karena biasanya orang yang bertempur itu kelelahan, maka yang terpikir olehnya adalah mengipasi agar napas orang yang ditolong menjadi lancar dan tenaganya pulih. Selain badan menjadi dingin karena hembusan angin, juga napas menjadi terbantu karena banyak oksigen akan masuk paru-paru.
Maka yang dilakukan Arimbi sebelum mendatangi Bima adalah mengambil selebar daun yang kaku dan lebar, sehingga bisa dipakai sebagai kipas. Arimbi kini mengipasi Bima, terutama di bagian wajahnya, untuk memulihkan pernafasannya yang nampak tersengal dan lemah. Arjuna membiarkan wanita itu melalukan hal itu, sebab menurut perhitungannya Arimbi tidak bermaksud jahat.
Selain itu Arjuna sendiri tidak tahu bagaimana caranya menolong Bima itu agar tenaganya pulih kembali, sebab diberi minum saja Bima tak kuasa menelannya. Namun Arjuna tetap waspada, siapa tahu dugaannya meleset. Siapa tahu justru Arimbi akan melampiaskan kemarahannya karena cintanya ditolak Bima, pada saat Bima terkulai lemah itu.
Arimbi tetap mengipasi Bima. Hembusan angin menerpa wajah Bima. Arimba memandangi adiknya yang sangat dicintainya itu. Pada saat itu dia sadar, adiknya memang sangat mencintai Bima. Namun betapapun Bima adalah musuhnya, musuh Pringgadani.
Apalagi dia mendengar bahwa cinta Arimbi ditolak Bima. Hal ini semakin membuatnya jengkel kepada Bima. Namun jika cinta Arimbi diterima Bima, Arimba tetap akan memandang Bima sebagai musuh yang harus dilenyapkan, seperti ayahnya yang telah dibunuh olah ayah Bima.
Ada yang tidak diketahui oleh Arimbi dan Arimba, demikian pula para prajurit. Kalau toh ada yang tahu, yaitu Dewi Kunti dan para pandawa, tidak terpikir sama sekali ke arah sana.
Bima adalah putra atau titisan Batara Bayu, dewanya angin. Ketika angin berhembus, maka bersamaan dengan semilir angin yang mengenai wajah Bima, Batara Bayu telah datang dan memberikan kekuatan kepada Bima. Maka dalam waktu singkat Bima segera pulih tenaganya.
Bima bangun berdiri dengan gagah perkasa. Semua yang ada di situ terkaget-kaget, termasuk Arimba. Kini pertempuran antara Bima melawan Arimba segera dilajutkan lagi. Pertempuran berlangsung sangat seru. Untuk segera mengalahkan lawan, Bima segera mengeluarkan kuku pancanaka andalannya.
Namun yang terjadi sebelumnya terulang kembali. Ternyata kulit Prabu Arimba sangat liat dan licin, sehingga kuku pancanaka tidak bisa mengenai kulit Arimba. Yang terjadi justru sebaliknya, tenaga Bima menjadi melemah dan melemah, seperti tersedot oleh tubuh Arimba.
Akhirnya Bima terjatuh lunglai lagi, seperti benang basah ditegakkan. Arimba menghentikan serangan ” Bima sudah 2x kamu aku beri kesempatan berdiri. Kini kalau kamu bisa berdiri lagi, aku tidak akan memberi kesempatan ketiga. Aku akan membunuhmu. Bukankan aku ini berjiwa kesatria ?”, kata Arimba sambil tertawa keras. Tawa kemenangan.
Bima tidak menjawab. Jangankan menjawab, menggerakkan bibir saja idak mampu, saking lemasnya. Dirinya seakan tidak punya otot, sangat lemah. Baru kali ini Bima mengalami hal demikian. Biasanya dia mampu bertempur untuk waktu yang lama, bahkan berhari-hari tanpa makan minum dan istrirahat, tiada rasa lelah berarti.
Kini bertempur tidak sampai sepersepuluh hari, badan lemas, tanpa daya, seakan dirinya tidak punya otot lagi. Arjuna kembali memangku kepala Bima yang terkulai lemah. Dewi Kunti, Puntadewa, Pinten dan Tangsen kini berdatangan menolong. Namun semua bingung harus menolong bagaimana, sebab tubuh Bima sangat lemah. Membuka mata saja rasanya tidak sanggup.
Arimbi yang sedari tadi memegang daun nan lebar dan kaku, dengan sedikit ragu mendatangi Bima. Dewi Kunti dan para pandawa memberi ruang ke Arimbi menolong Bima. Arimbi kemudian mengipaskan daun itu ke wajah Bima. Seperti yang dilakukan sebelumnya. Angin semilir bertiup ke muka Bima. Bima mendapatkan sedikit tenaga, sehingga mampu berfikir lebih tenang.
Bima masih ingat ancaman Arimba yang tidak akan memberi kesempatan lagi jika Bima mampu dikalahkan seperti pertarungan sebelum ini. Bima yakin itu bukan gertakan namun ancaman serius. Bima berfikir keras bagaimana keluar dari kesulitan ini.
Bima adalah putra bayu, titisan Dewa Bayu. Selain Bima ada 8 mahkluk titisan Bayu, tunggal bayu, yaitu Anoman (Bayu Kinara), Ditya Jajakwreka (Bayu Anras), Bima (Bayu Mangkurat), Resi Maenaka (Bayu Langgeng), Liman Setubanda (Bayu Kanetra), Naga Kuwera, Garuda Mahambira, dan Macan Palguna.
Ingat akan saudara-saudaranya tunggal bayu yang berarti angin itu, maka Bima kemudian merapalkan ajian angkusprana, angkus artinya kait dan prana artinya nafas atau angin. Dengan ajian ini, Bima dapat menghimpun kekuatan angin dari delapan saudara tunggal bayu yaitu:
Anoman, Ditya Jajakwreka, Resi Maenaka, Liman Setubanda, Naga Kuwera, Garuda Mahambira dan Macan Palguna. Kemudian ditambah kekuatan dari Dewa Bayu sendiri dan dirinya, maka ada sembilan kekuatan angin yang menyertainya. Di tempat terspisah delapan bayu itu memberi tenaga jarak jauh kepada Bima.
Arimbi masih mengipasi Bima. Angin semilir berhembus ke wajah dan badan Bima. Pada saat itulah delapan tenaga angin mulai memasuki tubuhnya. Delapan tenaga angin itu juga membangkitkan tenaga angin yang ada di dalam dirinya. Kini ada sembilan tenaga angin yang dirasakan semakin lama semakin kuat di dalam dirinya.
Ketika tenaganya terasa beratus kali lipat, Bima berdiri dan siap melanjutkan pertarungan dengan Arimba. Namun Bima masih ter-mangu2, bagaimana mungkin tenaganya bisa terkuras habis menghadapi Arimba. Selain itu mengapa kulit Arimba begitu licin dan liat sehingga kuku pancanaka yang sangat tajam dan kuat tidak bisa menggores walau sedikit.
Matahari semakin meninggi, semakin mendekati puncaknya. Sang Hyang Surya duduk di atas singgasananya, siap menyaksikan pertarungan menentukan antara dua insan itu. Bima dan Arimba, di Hutan Wanamarta. (Bersambung Jum’at depan)-Widharto KS-2017; dari grup FB-ILP)-FR