Pengalaman : Malu sama anak, pemicu belajar
Atas takdir Alloh Swt saya mempunyai rumah tinggal dekat dg masjid, dan Alhamdulillah dengan ijin-Nya pula saya diberikan keinginan utk ikut memakmurkan masih tsb. Stlh pensiun saya punya kebiasaan stlh sholat maghrib terus duduk di masjid sambil menunggu waktu isya dan diisi dg upaya mendekatkan diri kepada-Nya semampu saya.
Di Masjid itu antara maghrib dan isya dilaksanakan pengajian anak-anak usia 10 sd 15 tahunan, mereka mengaji di lantai dua, dan suara mereka terdengan ke lantai bawah. Saat belajar membaca Al Qur’an dg tajwidnya, ustadz membaca kalimat perkalimat dan setiap kalimat anak-anak menyebut tajwidnya, mereka teriak mad thobi’i, mad asli, mad wajib, ikhfa ab’ad, ikhfa akrob, ikhfa ausats, gunnah, bila gunnah, alif lam qomariyah, alif lam syamsiyah, idhar, idghom……….. dst.
Saya dulu lagi kecil tdk sampai mempelajari tajwid, cuma selintas-selintas, lebih banyak diberi tahu cara baca mana yang panjang, mana yg pendek, jarang disebut nama/hukumnya, jadi sangat sederhana. Ada keinginan untuk bisa menjawab/mengetahui apa yang anak-anak telah tahu………… tapi belum berani buka kartu baik kepada ustadz ataupun kepada teman jemaah yg lain bahwa bacaan Qur’an saya masih terbata-bata.
Sejalan dengan itu, kira-kira 6 tahun yg lalu, saya mengikuti pengajian dg teman fakultas di Jakarta, saat itu oleh ustadznya diminta utk membaca basmalah, saya salah terus, terutama melafalkan hurup ha, sy cenderung bukan melapalkan ha kecil tapi melapalkan ha besar (belakangan stlh tahu perbedaannya ad dari makhroj/ keluarnya huruf tsb, dan berakibat artinya jadi beda), tentu merasa sedih di usia yg tlh lanjut membaca basmalah (lengkap) -pun saya belum benar.
Dua faktor di atas, dan kemudian sering mendengar ayat “Dan bacalah Al Qur’an dengan tartil”, tartil bahwa setiap huruf dlm Al Qur’an hrs dibaca dg benar meliputi makhroj dan tajwidnya, krn klo tidak, artinya bisa menjadi salah. Saya tanya kpd jemaah lain yg selama ini suka membaca Surat Yasin tanpa melihat mushaf, ternyata ybs tdk bisa membaca huruf hijaiyah/arab, tapi membaca Qur’an dari huruf latin, begitu pula ada beberapa jemaah lain yg buka kartu blm bisa baca Qur’an. Saya mempersepsikan ini sebagai kesempatan utk sama-sama belajar walau usia sdh tua, jadi kalaupun malu inilah malu berjamaah.
Saya langsung bicara dg ustadz di masjid tsb, dan responnya sangat positif, maka dilaksanakanlah belajar membaca Al Qur’an tsb dg kurang lebih ada 20 orang jemaah yg usianya rata-rata usia pensiun, bahkan ada yg berusia di atas 70 tahun, memang ada bbrp yg relatif msh muda, sehingga pengajian tsb kami sebut MDA Madrasah Diniyah Aki-aki krn pesertanya mayoritas aki-aki,.Untuk membantu mereka saya belikan buku Iqro dan Buku Tajwid.
Dua minggu dilaksanakan pengajian setiap ba’da sholat subuh, ada yg minta supaya dimulai dg metode Iqro, karena memang blm mengenal huruf dan makhrojnya, apa lagi jika huruf-huruf tsb sudah digabungkan ,takdir Alloh sy sdh bisa mengenal huruf dibandingkan dg yg lain.Mereka ada yg hapal urutan huruf hijaiyah alif, ba ta dst, tapi klo diacak atau dibalik bacanya dari belakang/ujung mereka ada yg bingung dan blank utk membacanya, mungkin spt saya kalau membaca nada melalui angka (do re mi).Tapi mereka semangat ingin bisa membaca bukan dg huruf latin, dan saya sampaikan saat belajar baca Al Qur’an jangan membawa Qur’an yg disertai huruf latin, tapi ini tdk berhasil utk beberapa jemaah, karena masih membacanya dari mushaf berhuruf latin.
Untuk mendorong mereka agar bisa relatif cepat membaca Al Qur’an, sy sampaikan suatu gambaran proses belajar yg patut ditiru, sy pernah tanya seorang tentara Korea yg sedang mengikuti pendidikan di Seskoad berapa lama dia belajar bahasa Indonesia, dia jawab 6(tiga) bulan, kok bisa ?, dia bilang kami dimasukkan ke suatu asrama, tidak ada huruf dan bacaan bahasa Korea, tdk boleh lihat TV atau mendengar radio bahasa Korea, semua harus bahasa Indonesia, begitu juga belajar membaca Al Qur’an, hanya boleh ada mushaf dg huruf hijaiyah. Tapi ini kurang berhasil utk beberapa orang, namun semangat mereka tetap tinggi.. Alhamdulillah sampai sekarang sdh berjalan sekitar 5 tahunan, walau pesertanya berkurang, termasuk saya yg tdk berlanjut (mdh2an bika karena merasa sdh bisa).
Ingin bisa membaca Al Qur’an lebih terpicu karena merasa malu terhadap anak-anak usia 10 sd 15 tahun yg bacaannya relatif baik sesuai dengan kaidahnya. Mudah-mudahan bisa jadi pelajaran untuk yg ingin memulai untuk lebih semangat dalam belajar, terutama ilmu yg akan jadi bekal di hari kemudian. Wallohu ‘alam. (Nanang H)-FR