Negeri Aung San Suu Kyi
Saya bersyukur pernah mengunjungi geri tirai bambu, Myanmar yang dulu dikenal dengan Burma. Negeri ini saat ini sedang bergeliat, karena Aung San Suu Kyi memenangi pemilu. Banyak orang berharap tirai bambunya segera terkuak dan cahaya demokrasi mulai menerangi langit Burma.
Mendarat di pelabuhan udara Yangon, dahulu bernama Rangoon, terbayang suasana Bandara Husen Sastranegara Bandung tahun sembilan puluhan, walaupun jauh lebih bagus bandara Husen. Petugas panitia yang menjemput saya, seorang setengah baya yang tangkas, berbaju putih dengan bagian bawah berupa sarung yang berwarna hijau kehitaman. Serasi dan jauh dari formal, sekalipun di Myanmar sarung adalah pakaian formal.
Di dinding ruang kedatangan terpampang tulisan sangat besar bahwa pendatang asing diharuskan menukar minimal 300 dolar US ke mata uang lokal Kyat. Ketika saya membuka dompet menuju ke Money Changer resmi di Bandara, penjemput saya segera menyeret
saya keluar. Diluar saja, katanya. Benar juga, di pasar gelap, dolar saya bernilai tiga kali lebih banyak dari pada di Money Changer resmi milik pemerintah.
Saya harus meninggalkan kamera dan hand phone saya di kantor Bandara dan saya diberi selembar kertas untuk mengambil barang berharga tersebut, tatkala nanti saya meninggalkan Burma. Wah, saya tidak bisa mengabadikan kota tua, dengan bangunan-bangunan kuno yang kecoklatan. Ada pula kolam luas dengan bunga teratai di tengan taman kota, yang sayang tidak bisa saya ambil gambarnya.
Penjemput saya menggunakan mobil Range Rover baru untuk mengantarkan saya ke hotel. Saya bilang kepadanya, ‘Hanya orang kaya saja di negeriku yang bisa membeli mobil bagus ini’, ia tersenyum sambil menoleh, ‘Ini, mobilnya pak Menteri …’ (Salam-SH)-FR