Rahasia Dapur Duda
Saya belajar masak saat istri saya mulai tidak mampu bekerja di dapur. Ia duduk di amben (meja kayu, serba guna, bisa untuk tidur atau duduk-duduk) di dapur sambil memberi petunjuk bagaimana merajang (mengiris tipis) bawang, memetik sayur, menggerus bumbu di amben kesayangan yang cukup lebar. Tubuhnya yang begitu kurus dimakan kanker, terlalu menyakitkan bila ia duduk tanpa diganjal bantal kecil berwarna hijau yang harus selalu tersedia di amben.
Saya diajari pula bagaimana teknik memasak yang tidak dijumpai di buku, seperti cara menggoreng bergedel agar utuh matangnya merata dan tidak hancur. Bagaimana cara menggoreng ikan agar tidak lengket. Bagaimana membuat bumbu lumpia Semarang agar ada rasa segar yang menyengat, dan masih banyak lagi jurus masak rahasianya.
Disaat-saat terakhir hidupnya, ia berhasil mengajarkan cara memasak seluruh masakan kesukaan saya. Mulai soto ayam, mie goreng, mie-jawa, bubur ayam, nasi tim ayam sampai masakan berat kepiting asam manis, udang goreng mentega dan masih banyak lagi.
Selama kurang lebih dua tahun saya sendiri yang belanja ke pasar, karena selain untuk masak, saya juga setiap hari harus membuat juice buah segar. Saya meneruskan kebiasaan istri saya untuk belanja ke penjual-penjual tertentu di Pasar Cihaurgeulis Jl. Suci Bandung.
Sekarang saya tahu betul di mana penjual tempe dan tahu, penjual ayam pejantan atau ayam kampung, ikan atau udang, buah dan bumbu-bumbu.Ke pasar saya selalu membawa catatan yang tersimpan dalam hp saya dan tidak perlu lama-lama mencari langsung ke pedagang yang dituju.
Saat istri saya sakit di rumah, tamu mengalir, baik dari dalam maupun luar kota. Bila mereka menginap di rumah saya yang besar, maka yang bertugas memasak adalah saya. Paling lega dan bahagia bila masakan saya habis licin tandas oleh tamu maupun cucu.
Saya senang sekali bisa masak, sekalipun masih harus di guide oleh istri saya. Saking maniak masak, suatu saat kami ke Surabaya untuk mencari pengobatan. Kami menginap di rumah adik saya, biasanya saya dengan ipar saya selalu bersantap kepiting di Pandaan, daerah wisata antara Malang dan Surabaya.
Sejak jalan terhambat lumpur Lapindo, kami tidak pernah lagi bisa bersantap malam di sana. Saya tidak kekurangan akal, saya beli semua bumbu yang diperlukan di Supermarket, kemudian membeli kepiting hidup, di tepi jalan tertentu di Surabaya dan masaklah saya Kepiting Goreng mentega. Sedap.
Istri saya mewariskan sejumlah buku memasak, klipping resep dan peralatan dapur yang nyaris lengkap. Saat istri saya baru meninggal, kebiasaan masak ini masih terus berlanjut. Saya jarang makan di luar dan lebih banyak masak sendiri.
Suatu saat ada pertemuan pembahasan saham di rumah, tamu saya suguhi nasi tim ayam, dengan baki yang lengkap dengan nasi tim, kuah, bumbu lain, disajikan diatas baki untuk setiap tamu, persis gaya
restoran Jepang. Lezat. Saya juga pernah mengundang teman dan saya gorengkan lumpia Semarang racikan saya sendiri. Lumayan juga rasanya.
Timbul ide dalam benak saya untuk menuliskan kegilaan saya akan masak ini dalam sebuah buku. Bukan masakannya yang saya sajikan, karena jenis masakan saya dapat diperoleh resepnya di ratusan buku masak di toko buku. Saya ingin menceritakan pengalaman seorang duda dalam memasak.
Saya mencoba survey ke toko buku dan saya dapati tidak ada sebuah buku masak-pun yang ditulis oleh pria, apalagi seorang duda. Padahal pada penulis chef pria banyak didapati pada buku masakan import. Buku-buku import tersebut dicetak dengan bentuknya yang sangat menarik dan di lengkapi dengan foto-foto yang cantik.
Buku saya harus menjadi sintesa dari dua karya seni, seni menulis dan seni foto. Kebetulan seorang sahabat, yang tentu anda mengenalnya, pak Gunarsa T.Subrata, yang hobby foto mempunyai ide yang sama dan bersedia membantu saya dengan tulus.
Kami berdua kemudian sering berdiskusi secara intens dan merencanakan lay-out, isi, cover, sub-cover dan index sampai cukup mendetil. Ia juga mengumpulkan banyak sekali referensi dari internet. Saya juga meminjam belasan buku dapur dan masak koleksi adik saya yang peofesinya designer interior.
Begitulah, saya seperti seorang selebritis yang belanja di pasar dikuntit oleh pak Gun dengan kameranya. Kegiatan saya belanja di abadikan dengan cukup rinci. Kemudian saya mengolah masakan di dapur, dengan celemek yang saya peroleh dari keponakan saya yang jadi chef di sebuah hotel di Batam. Semua
direkam oleh pak Gun.
Saya akan memasak baby kaylan saus tiram. Sengaja saya tambah takaran minyak virgin coconat oil saat
merebus daun kaylan agar hasilnya kelak lebih mengkilap. Saya kurangi takaran waktu merendam kaylan pada air mendidih, sehingga warnanya masih hijau segar. Usaha saya berhasil, warna daun kaylan hijau tua mengkilap, saya susun dengan rapih pada piring oval yang putih menjadi sangat mencolok.
Pada bumbunya sengaja saya memakai tepung sagu, jadi lebih enak dari hanya sekedar tapioka atau maizena. Yang paling saya sukai adalah aroma minyak kelapa, aroma yang sangat akrab dengan hidung saya sejak saya kecil, sekarang bau itu sudah hilang karena hamper semua minyak goreng saat ini terbuat dari kelapa sawit. Irisan bawang putih sengaja saya perbanyak untuk menambah kecantikan
sajian saya.
Sebelum bumbu panas saya tuangkan, acara terakhir adalah dengan hati-hati saya potong daun kaylan menjadi tiga bagian dengan gunting (bukan pisau agar kerapihannya tetap terjaga). Selesai sudah dan kini giliran pak Gunarsa yang beraksi, memotret hasil kerja saya. Pak Gun menyambungkan kamera dengan tripot ke komputer.
Semua lampu blitz termasuk pemantul cahaya disinkronkan oleh komputer. Sebelum dijepret, hasilnya
ditampilkan dahulu di layar, sehingga pengaturan lay-out, back ground bisa disiapkan terlebih dahulu. Kebetulan istri saya memiliki banyak selendang berwarna polos. Sehingga pak Gunarso bisa mencoba belasan foto dengan berbagai latar belakang warna.Hasilnya, Great !!
Kini saya sangat malu bila bertemu dengan pak Gunarsa, karena semangat masak saya menurun dengan sangat drastis. Banyak alasan yang bisa saya sampaikan, tapi betul-betul mood saya untuk masak sudah sangat menipis, kecuali bila cucu datang minta dimasakan kepiting atau Gurame asam manis.
Waktu saya juga tersita oleh olah raga, menulis dan menggeluti pasar modal, menciptakan sistem analisa saham dan banyak mengajar dalam perdagangan saham, ada kegiatan rutin yang tidak bisa
saya tinggalkan. Porsi makan saya juga sangat berkurang, setelah berat tubuh saya mendekati ideal, porsi makan tidak lagi sebanyak dahulu.
Masak yang begitu repot sejak belanja sampai mencuci peralatan dapur sangat tidak berimbang dengan hasil yang nikmati oleh hanya saya seorang diri. Setelah olah raga cukup berat kadarnya, perut menjadi lapar, ya inginnya langsung makan.
Malas bila harus masak terlebih dahulu. Kadang-kadang kalau terlampau lapar, saya ganjal dahulu dengan roti bakar dengan mentega dan selai yang bisa saya siapkan sendiri dengan mudah. Di lemari saya, tersedia beberapa kaleng gudeg komplit, sarden, tuna kalengan dan bandeng beku tanpa tulang, semua siap saya olah dengan cepat bila tidak sempat masak atau untuk keperluan makan sahur saya.
Mungkin saja kalau saya menikah lagi, yang menikmati tidak hanya saya seorang diri, semangat
masak ini akan muncul lagi. Namun bila istri baru saya kelak jago masak, dengan senang hati tugas di dapur saya serahkan kepadanya.
Saya tidak tahu lagi apakah proyek buku ‘Rahasia Dapur Duda’ ini masih bisa dilanjutkan. Untuk itu,kepada pak Gunarsa T.Subrata saya mohon maaf sebesar-besarnya. Salam; 20120712 (SH)-FR