Tempe Santen Ibu
Temens, sekedar selingan, berikut kutipan dari buku ‘Dapur Duda’, selamat menikmati : Sayur tempe santen adalah menu turun temurun, dari buyut saya, kemudian nenek saya di Malang, yang terkenal masakan tempenya me-legenda diantara cucu-cucunya. Kemudian ibu saya mewarisi kemahiran nenek, juga enak sekali masakan tempe santennya.
Diantara putri ibu yang paling enak masakan tempe santennya adalah adik saya, yang saat masih dinas di Kupang tidak bisa saya nikmati masakannya. Setelah pensiun, adik saya itu bermukim di kompleks Taman Siswo Jogya, kembali saya mendapatkan tempe santen yang rasanya top.
Lain keluarga saya, lain keluarga istri saya yang penggemar daging dan ikan. Tempe santen buatan istri saya sesungguhnya juga enak, tetapi dia memiliki kebiasaan yang saya tidak sukai. Masakan tempe santen yang sudah enak ini, kemudian dicemplungi bahan lain.
Di awal-awal dicemplungkannya daging di iris kecil-kecil. Saya, yang tidak menyukai daging tentu saja
berang. Belakangan sering kali di sertakan pindang tongkol atau ikan gabus bakar. Wah, walaupun enak, saya tidak menyukai.
Menurut saya bau anyir ikan akan diserap oleh tempe, sehingga tempenya jadi anyir. Saya tidak terlalu menyukai masakan tempe versi istri saya ini. Tongkol enak. Tempe juga enak, semua enak bila masing-masing dimasak sendiri-sendiri, tapi bila dicampur, ampun. Saya protes, istri sayapun mengalah.
Lebaran 2012, lebaran pertama sebagai duda. Setelah dua malam di rumah mertua di Tulungagung, jeng Ani menyarankan menginap di rumah ibu sendiri, paling tidak semalam-lah. Oke. Saya mampir ke pasar Rawamangun membeli tempe, bawang putih, lengkuas dan santan.
Ibu terheran-heran melihat bawaan saya.
– “Bu, ajari saya bikin tempe santen”, kata saya langsung sambil mencari pisau dan telenan.
Ibu juga ternyata antusias. Dikeluarkannya persediaan bumbu-bumbu. Begitulah, suatu pemandangan yang lucu, duda tua dan ibunya, berkolaborasi masak tempe santen. Keduanya duduk berhadapan di depan meja bundar kecil.
Ibu mengupas bawang merah putih, bawang merah. Kemudian ibu mencuci cabe hijau dan cabe rawit. Saya mengiris semua bumbu, termasuk juga irisan lengkuas. Karena telenannya kecil, saya kemudian mengambil piring datar, irisan bumbu saya atur sesuai urutan memasaknya. Tempe saya iris tipis, sekitar setengah cm dan kemudian diiris kotak kurang lebih 2×2 cm.
Api kompor saya nyalakan. Wajan besar saya isi minyak kelapa yang kebetulan saat itu yang ada di dapur ibu. Setelah minyak panas, berturut-turut saya tumis bawang putih, bawang merah, cabe dan lengkuas. Setelah semua layu, saya masukan tempe. Saya goreng semua dan bubuhi garam secukupnya, sampai tempe nyaris hangus, barulah saya tuangkan santannya.
Aduk pelan sampai mendidih dan biarkan kuah menyusut, meresap kedalam tempenya. Ketika kuah hampir habis menjadikan masakan ‘nyemek’ berarti semua santan telah meresap kedalam tempe, barulah saya tuangkan lagi santan edisi kedua agar saya nanti mendapatkan juga kuah santannya. Biarkan sampai mendidih. Jangan lupa cicipi lagi rasa garamnya, karena tuangan kuah yang kedua ini tidak lagi mendapatkan rasa asin dari sisa garam kuah yang pertama. (SH)-FR