Pengalaman Anggota

Hari bersejarah-SPJ Penempatan Pertama(1)

Hari itu 39 tahun yang lalu – 9 November 1976 – adalah hari kami berenam mendapatkan SPJ yang pertama. Ada 2 hal yang istimewa dari SPJ ini, yaitu:
1. Merupakan SPJ kami yang pertama kami terima sebagai karyawan TELKOM (waktu itu Perumtel)
2. Merupakan SPJ penempatan pertama

Kami berenam itu adalah :
1. Agus Suryono ( saya)
2. Alwi Bilfaqih (almarhum)
3. M. Musodeq
4. Hartoyo
5. Ibnu
6. Mudjiono

Ya. Kami adalah siswa JROP Witel VII angkatan 1975/1976.
Kami yang lulus duluan ada 9 orang. Dari 9 orang ini – yang laki2 seluruhnya ditempatkan di Maluku.
Nomor urut 1 sampai 3 (lihat daftar di atas) – ditempatkan di Kandatex Ambon sebagai operator Telegrap. Nomor urut 4 sampai 6 – ditempatkan di Kandagrap Ternate.

Sebagai siswa tingkatan Juru, tingkatan terendah di Telkom – sebenarnya penempatan kami seharusnya adalah lokal Witel VII Jawa Timur. Namun beberapa hari sebelumnya kami berenam dipanggil Kawitel VII – pak Nurcahyo Bc.TT ke ruangannya – saat itu di jl Kapuas 59 Surabaya. Tidak tahu untuk urusan apa.

Ternyata diberi tahu – bahwa kami berenam ditempatkan di Witel XI Maluku – yaitu di Kandatex Ambon 3 orang dan Kandagrap Ternate 3 orang. Kami diminta untuk pamit orang tua, kemudian mempersiapkan diri untuk “tugas negara”. Ya, waktu itu nyebutnya begitu.
Tidak disebut urusan perusahaan kayak sekarang. SPPD dll akan diurus oleh staf UKH Witel VII.

Karena kami masih belum tahu apa2 soal uang maupun perjalanannya, ada orang UKH yang akan menguruskan. Nah yang ini kata orang UKH. Bukan kata pak Kawitel.

Kami hanya diminta tanda tangan, kemudian:
1. Diberi uang SPPD yang sudah dipotong uang tiket pesawat dan sewa kendaraan ke Bandara, dll
2. Diberi tiket pesawat
3. Diberi tahu-ke Bandara Juanda disiapkan kendaraan Witel untuk semua-plus keluarga yang akan ngantar
4. Supaya enak diminta pagi tgl 9 November itu kumpul di rumah “saya”

Yang dimaksud rumah saya di atas adalah rumah pak Wakidjan Bc.TT – kakak sepupu saya.
Saya saat itu kan “ngenger” di rumah pak Wakidjan.
“Ngenger sik. Supoyo mbesuke dadi Pangeran” – begitu kata penghibur supaya bersemangat ngenger
Oh ya – karena ini pengalaman pertama kami SPJ dan kami semua masih “culun” – oleh orang UKH kami dipeseni macam2 hal sampai “nritil”.

Salah satunya, katanya:
“Nanti di perjalanan, semua pengeluaran harus dibuatkan kuitansinya. Naik taksi, naik becak, makan di warung dan semua pengeluaran lainnya”.
“Kamu berenam – harus nembawa blanko kuitansi yang cukup”.
“SPJ sifatnya panjar. Jadi nanti harus ada pertanggungan atas panjar itu”.

Jadinya kami berenam membawa masing2 satu bundel kuitansi isi 100 lembar.
Berarti kami membawa 600 lembar kuitansi.

++

Pas tanggal 9 Nov Subuh – sebagian dari kami berenam plus keluarganya sudah kumpul di rumah saya.
Oh ya ada juga teman yang semalam sudah tidur di rumah saya – untuk berjaga-jaga supaya tidak telat.
Seingat saya yang tidur di rumah saya adalah Alwi dan Ibnu.

Jam 05.30 datang mobil yang akan mengantar kami ke Juanda. Yang ternyata adalah mobil truck dinas Telkom yang diberi terpal di atasnya, dan di bak belakang sudah disiapkan kursi/dingklik panjang tambahan.

Jam 06.00 truck melaju ke Juanda. Isinya kami plus keluarga, teman dan pacar yang mengantar.
Saya tidak ingat persis – tapi dari 6 orang – ada yang berangkat sendiri. Tidak ikut truck.
Meskipun uang SPJ nya sudah dipotong sewa truck oleh orang UKH.

Saya sendiri diantar ibu dan juga pacar. Saya naik truck – rame2 sama teman2. Juga pacar.
Sudah tahu kan, pacar saya juga siswa JROP 1975/1976.
Tapi saat itu dia belum lulus, karena konsentrasi belajarnya terganggu – mikirin saya.
Sehingga dia tidak bisa masuk kelompok yang lulus duluan.

Saya juga diantar pak Wakijan sekeluarga. Beliau pakai mobil dinas. Waktu itu beliau kan di Witel VII jabatannya adalah Kautektra, merangkap jadi POH Kautekgrap dan POH KAUPDD. Saya ingat – mobil dinasnya adalah jeep Toyota Hardtop abu2.

Saat itu – meskipun saya tahu Ambon itu jauh, tetapi saya sama sekali tidak ada rasa takut maupun ragu.
Yang ada di pikiran, ini hanya batu loncatan. Di Ambon saya akan kuliah – dengan biaya gaji sebagai JROP. Setelah itu keluar dari Telkom supaya tidak terkungkung oleh pangkat Juru.

Namun demikian – supaya “proyek kuliah” lancar – saya harus jadi JROP yang terbaik di mata atasan
Begitu tekad saya – saat itu.
Orang tua dan pacar menangis melepas keberangkatan saya, tapi saya tetap tegar.

++

Sesampai di Juandapun saya masih tegar. Semangat merantau masih 100 derajad celcius. Kayak air mendidih. Oh ya – saat itu Juanda masih merupakan Bandara kuno. Tapi saat itu ya memang Kemayoran pun juga begitu.
Sambil menunggu pengumuman untuk masuk ruang tunggu – saya masih ngobrol dan full senyum dengan orang tua, pacar dan semua yang ngantar..

++

Sesaat kemudian ada pengumuman – para penumpang diminta segera masuk ruang tunggu. Dengan tegar saya pamit dan salaman dengan semua yang mengantar. Termasuk ke Ibu dan pacar.
Kemudian berjalanlah kami semua menuju ruang tunggu. Saat itulah tiba-tiba suasana batin berubah.

Tiba-tiba saya hanya “bisa” melihat ke depan.
Tiba2 saya tidak berani – dan kalaupun berani tidak bisa melihat ke belakang.
Pingin melihat wajah ibu lagi – tapi kepala tidak berani dan tidak bisa menoleh ke belakang.
Tiba2 timbul rasa takut.
Tiba2 membayangkan, jangan2 tidak bisa pulang kembali ke Jawa.
Jangan2 tidak bisa jadi nikah dengan si dia. Jangan2 Ambon itu jauh.
Jangan2 Ambon itu terbelakang sekali. Pinginnya hanya satu. Menangis.
Dan memang saya sudah menangis beneran..

Untuk melangkahkan kaki satu langkah kedepan, rasanya berat sekali. Betul. Saat itu untuk maju selangkah demi selangkah – saya harus memerintahkan kaki. Jalan terus. Angkat kaki. Maju..!
Mungkin kayak orang dengan asam urat 12.

Jalan yang sebenarnya tidak jauh – terasa jauh sekali.
Kaki harus dipaksa oleh pikiran untuk bisa bergerak.
Sementara air mata tetap mengalir tanpa bisa saya suruh stop.

Saat ada petugas Bandara berkata dan menanyakan sesuatu ke saya – saya tidak ingat soal apa – saat itu pikirannya mau menjawab, tapi mulut tidak bisa dibuka. Saat pikiran saya mencoba memaksa mulut menjawab pertanyaan petugas – yang terjadi adalah air mata makin deras mengalir, dan ter-sengal2.

Meski begitu, arah langkah saya berjalan sama sekali tidak salah. Saya ternyata tetap berjalan ke arah dan menuju ke ruang tunggu. Dan tetap masih mengantongi 600 lembar kuitansi – seperti disarankan orang UKH. (Agus Suryomo)-FR

(BERSAMBUNG…………………………….)

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close