Musyawarah burung
Dikisahkan, burung burung di dunia, kenal atau tidak, berkumpul. Mereka punya satu pertanyaan, siapa raja mereka? Di antara mereka berkata, “Kita di dunia ini harus punya raja. Mustahil bila kerajaan burung tanpa penguasa. Jadi, kita semua memiliki Raja.” Semua burung tertegun.
“Keadaan ini tak bisa dibiarkan terus. Hidup kita ini akan percuma bila sepanjang hayat kita, kita tidak pernah mengetahui, dan mengenal siapa Raja kita sesungguhnya.” Masing-masing dari mereka masih berfikir dan terdiam. Lalu kembali ada yang berteriak, “Lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Tentu saja kita harus usaha bersama cari raja untuk kita; karena tidak ada negeri yang memiliki tatanan yang baik, tanpa seekor raja.” Mereka pun mulai berkumpul dan bersidang untuk memecahkan persoalan. Burung Hudhud dengan semangat dan penuh rasa percaya diri, tampil ke depan dan menempatkan diri di tengah majelis burung-burung itu.
Di dadanya tampak perhiasan yang melambangkan bahwa dia telah memiliki pancaran ruhaniah yang tinggi. Dan jambul di kepalanya tegak berdiri mahkota yang melambangkan keagungan dan kebenaran, dan dia juga memiliki pengetahuan luas tentang baik dan buruk.
“Burung-burung sekalian,” kata Hudhud, “kita punya raja sejati, ia tinggal jauh di balik gunung Qaf. Ribuan daratan dan lautan terbentang sepanjang perjalanan menuju tempatnya. Namanya Simurgh. Aku kenal raja itu dengan baik, tapi aku tak bisa terbang sendiri menemuinya. Bebaskan dirimu dari rasa malu, sombong, dan ingkar. Dia pasti akan melimpahkan cahaya bagi mereka yang sanggup melepaskan belenggu diri. Mereka yang demikian akan bebas dari baik dan buruk, karena berada di jalan kekasih-Nya. Sesungguhnya Dia dekat dengan kita, tapi kita jauh dari-Nya.
Dikisahkan, pada suatu malam sang Maharaja Simurgh terbang di kegelapan malam. Tiba-tiba jatuhlah sehelai bulunya yang membuat geger seluruh penduduk bumi. Begitu mempesonanya bulu Simurgh hingga membuat tercengang dan terheran-heran. Semua penduduk gegap gempita ingin menyaksikan keindahan dan keelokannya. Dan dikatakan kepada mereka, “Andaikata sehelai bulu tersebut tidak jatuh, niscaya tidak akan ada makhluk yang bernama burung di muka bumi ini.”
Kemudian burung Hudhud melanjutkan, untuk menggapai istana Simurgh mereka harus bersatu, saling bekerja sama dan tidak boleh saling mendahului. Setelah mendengar cerita yang disampaikan burung Hudhud, semua burung-burung bersemangat ingin sekali secepatnya pergi menghadap sang Maharaja Simurgh.
Namun, burung Hudhud menambahkan, bahwa perjalanan menuju istana Simurgh tidak semudah yang dibayangkan, melainkan harus melewati ribuan rintangan dan guncangan dahsyat. Perjalanan juga sarat dengan penderitaan, kepedihan dan kesengsaraan.
“Apakah kalian sudah siap?” kata burung Hudhud, menguji keseriusan mereka. Semangat sebagian burung menjadi pudar dan turun. Beberapa menyampaikan keberatan. Burung Hudhud sebagai pemimpin sangat bijak dan sabar mendengar semua keluhan dan alasan burung-burung yang enggan berangkat.
Namun demikian, burung Hudhud tetap bersemangat memberikan dorongan dan motivasi kepada mereka. “Kenapa kalian harus berberlindung di balik dalil-dalil nafsumu, sehingga semangatmu yang sudah membara menjadi padam?
Padahal kalian tahu bahwa perjalanan menuju istana Simurgh adalah perjalanan suci, kenapa harus takut dan bimbang dengan prasangka yang ada pada dirimu?” Seekor burung menyela, “Dengan cara apa kita bisa sampai ke tempat Maharaja Simurgh yang jauh dan sulit itu?”
“Dengan bekal himmah (semangat) yang tinggi, kemauan yang kuat, dan tabah menghadapi segala cobaan dan rintangan. Bagi burung yang rindu, seperti apapun cobaan akan dihadapi, dan seberapa pun rintangan akan dilewati. Perlu diketahui bahwa Maharaja Simurg sudah jelas dan dekat, laksana matahari dengan cahayanya,” jawab Hudhud meyakinkan.
Akhirnya, semangat burung-burung muncul kembali. Mereka sepakat untuk berangkat bersama-sama tanpa satupun yang tertinggal. Namun dalam perjalanan, perlahan mulai muncul masalah.
“Mengapa perjalanan sudah lama dan jauh, kok tidak sampai-sampai?” gumam mereka di dalam hati.
Mulailah mereka dihinggapi rasa malas karena menganggap perjalanan terlalu lama. Mereka bosan karena tidak lekas sampai. Sebagian burung ada yang memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan.
Rintangan lebih besar datang, angin sangat kencang menerpa mereka. Membuat bulu-bulu indah yang dibanggakan berguguran.
Kegagahan burung-burung perkasa pun mulai pudar. Kedudukan dan pangkat yang tinggi sudah tidak terpikirkan. Berbagai macam penyakit mulai menyerang mereka. Badan mereka kurus kering, penyakit datang silih berganti membuat mereka makin tidak berdaya. Semua atribut duniawi yang dulu disandang dan dibanggakan, sekarang tanggal tanpa sisa. Yang ada hanyalah totalitas kepasrahan dalam ketidak berdayaan. Mereka hanyut dalam samudera iradatullah dan tenggelam dalam gelombang fana’.
Pada akhirnya cuma yang benar-benar sampai ke tempat yang teramat mulia dimana Simurgh membangun mahligainya. Dari ribuan burung yang pergi, tinggal 30 ekor yang masih bertahan dan akhirnya sampai di gerbang istana Simurgh. Namun kondisi mereka sangat memprihatinkan, tampak gurat-gurat kelelahan di wajah mereka.
Bahkan bulu-bulu yang menempel di tubuh mereka rontok tak bersisa. Di sini terlihat, meski mereka berasal dari latar belakang berbeda, namun pada proses puncak pencapaian spiritual adalah sama, yaitu dalam kondisi telanjang bulat dan lepas dari pakaian basyariyah.
Di depan gerbang istana mereka beristirahat sejenak sambil mengatur nafas. Tiba-tiba datang penjaga istana menghampiri mereka, “Apa tujuan kalian susah payah datang ke istana Simurgh?”
Serentak mereka menjawab, “Saya datang untuk menghadap Maharaja Simurgh, berilah kami kesempatan untuk bertemu dengannya.”
Tanpa diduga, terdengar suara sayup-sayup menyapa mereka dari dalam istana, “Salaamun qaulam min rabbir rahiim,” sembari mempersilahkan mereka masuk ke dalam.
Lalu mereka masuk secara bersama-sama. Kemudian terbukalah kelambu hijab satu demi satu yang berjumlah ribuan. Mata mereka terbelalak memandang keindahan yang amat mempesona, keindahan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, keindahan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Tatkala seluruh hijab tersingkap, ternyata yang dijumpai adalah wujud dirinya. Burung-burung pun saling bertanya dan terkagum-kagum, “Lho kok aku sudah ada disini?” begitu guman mereka dalam hati.
Seolah-olah mereka berada di depan cermin sehingga yang ada adalah wujud dirinya. Maka datanglah suara lembut menjawabnya,
“Mahligai Simurgh ibarat cermin, maka siapapun yang sampai pada mahligai ini, tidak akan melihat wujud selain wujud diri sendiri. Perjumpaan ini di luar angan dan pikirmu, dan juga tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, namun hanya dapat dirasakan dengan rasa. Karena itu, engkau harus keluar dari dalam dirimu sehingga engkau menjadi sosok pribadi Insan Kamil.”
Hakikat diri ialah setelah melewati tahapan fana’ billah dan mencapai puncak baqa’ billah. Maka hilanglah sifat-sifat kehambaan dan kekal dalam ketuhanan. (Apung GWAP; http://kisahsufi.wordpress.com/2009/11/04/musyawarah-para-burung/)-FR