Ironi kehidupan Lansia
Rendahnya kesejahteraan lansia yang terjadi saat ini merupakan refleksi ketidak mampuan mereka dalam menghimpun aset pada usia produktif. TERSERETNYA nenek Asyani, 63, dalam kasus hukum akibat dakwaan mencuri dua batang pohon jati milik PT Perhutani cukup memprihatinkan masyarakat.
Keprihatinan itu bukan semata karena kasus hukumnya, melainkan kasus itu juga merefleksikan kesulitan beliau dalam menyambung hidup.
Boleh jadi, munculnya sosok Asyani merupakan puncak gunung es, betapa rendahnya kesejahteraan penduduk lansia di Tanah Air.Padahal, bagi kebanyakan orang, masa tua kerap dipersepsikan sebagai periode untuk menikmati hidup.
Namun faktanya, tidak sedikit lansia yang bergulat bertahan hidup. Sungguh ironis, Indonesia jauh tertinggal, kondisi lansia di Tanah Air jauh dari sejahtera. Publikasi the Global Age Watch Index (2014), misalnya, menyebut peringkat kesejahteraan lansia Indonesia di urutan ke-71 dari 96 negara. Posisi ini jauh tertinggal, dibanding Thailand (peringkat ke-36), Filipina (ke-44), dan Vietnam (ke-45).
Celakanya, meski pendapatan per kapita kita menengah, kesejahteraan lansianya berada jauh di bawah jika dibanding misalnya, Bangladesh yang jauh lebih rendah. Dengan pendapatan per kapita US$1.544 per tahun, Bangladesh mampu diperingkat ke-59 dalam soal kesejahteraan lansia. Pendapatan per kapita di Indonesia US$4.071 per tahun.
Bahkan, bila dibanding dengan negara berpenduduk jauh lebih besar, Tiongkok dan India, tingkat kesejahteraan lansia di Indonesia berada di bawah kedua negara itu. Tiongkok berada di peringkat ke-48 dan India di peringkat ke-69 dari 96 negara.
Rendahnya derajat kesehatan dan minimnya jaminan hidup lansia, yang menyebabkan rendahnya kesejahteraan lansia di Tanah Air. Publikasi the Global Age Watch Index (2014) menyebutkan lansia di Tanah Air punya harapan hidup 18 tahun lagi. Tapi, dari 18 tahun itu, rata2 14,3 tahun dalam kondisi sehat.
Sementara itu, dari sisi jaminan hidup, terdeteksi rendahnya cakupan pensiun yang 8%, dan jaminan penghasilan ± 18%. Maka, tak mengherankan jika cukup banyak lansia yan terpaksa bekerja di usia tuanya, tetapi yang mampu menghasilkan pendapatan hanya sekitar 35%.
Rendahnya kemampuan lansia di Tanah Air memperoleh pendapatan menyebabkan tak sedikit di antara mereka menjadi tanggungan anak dan keluarga. Padahal, lansia kerap perlu biaya besar untuk perawatan kesehatan mengingat mereka rentan berpenyakit seperti jantung, diabetes, dan kanker.
Dalam kasus Asyani, misalnya, yang saat in masih dirawat di rumah sakit, membuat keluarga kesulitan untuk membayar biaya selama pengobatan. Bonus demografi kedua Padahal, berasarkan pengalaman sejumlah negara yang kini menapgalami penuaan penduduk, kehadiran lansia bukan merupakan beban, melainkan sebaliknya menjadi suatu berkah.
Bertambahnya lansia mampu menghadirkan bonus demografi, yang kerap disebut bonus demografi kedua. Adapun bonus demografi pertama berasal dari pertambahan usia produktif (15-64 tahun). Di Jepang, misalnya, lansia yang 33% tidak menjadi beban karena masih mampu berkontribusi besar terhadap per tumbuhan ekonomi di negerinya.
Selama 1980-2005, misalnya, dari pertumbuhan ekonomi aktual 1,72%, sekitar 1,21% di antaranya merupakan kontribusi lansia (Mason, 2005). Bahkan, hasil studi Mason (2005) menunjukkan bonus demografi kedua di beberapa negara mampu berkontribusi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonominya jika dibanding dengan kontribusi bonus demografi pertama.
Di Asia Timur dan Asia Tenggara, kontribusi bonus demografi kedua terhadap pertumbuhan ekonomi selama 1970-2000 rata2 1,31% per tahun, sedang kontribusi , bonus demografi pertama terhadap per tumbuhan ekonomi rata-rata hanya sebesar i 0,59% per tahun.
Lebih jauh Mason (2006) menjelaskan kontribusi lansia terhadap pertumbuhan ekonomi, antara lain, melalui aset yang diperoleh sejak usia produktif, yang jika diinvestasikan, memberi keuntungan bagi negara atau daerah tempat tinggal mereka. Kontribusi lansia terhadap pertumbuhan ekonomi dapat berlipat ganda jika mereka masih produktif bekerja.
Maka, atas dasar itu, pemerintah perlu menyiapkan SDM berkualitas agar dapat bekerja dengan perolehan pendapatan yang layak dan bisa menabung untuk hari tuanya. Fakta rendahnya kesejahteraan lansia yang terjadi saat ini merupakan refleksi ketidakmampuan mereka dalam menghimpun aset pada usia produktif.
Jelasnya, jika lansia di masa mudanya saja susah, bagaimana di usia tua mereka? Hal ini ditengarai bertalian dengan rendahnya kualitas sumber daya lansia sejak usia produktif sehingga tak mampu menghimpun aset secara memadai di hari tuanya.
Untuk menebus kekurang-siapan meningkatkan SDM masa lalu sehingga menyebabkan rendahnya kesejahteraan saat ini, pemerintah perlu menyiapkan bantuan terhadap lansia. Penyiapan rumah tinggal bagi lansia dari keluarga tak mampu, misalnya, diperkirakan dapat meringankan beban hidup lansia.
Untuk ke depan, pemerintah perlu menyiapkan grand design pembangunan kependudukan yang lebih komprehensif, terutama akibat kian bertambahnya lansia di Tanah Air. Proyeksi Penduduk 2010-2035, menunjukkan Indonesia akan mengalami penuaan penduduk (ageing population) pada 2020, dengan jumlah lansia (usia 60 tahun ke atas) sekitar 10%.
(ThW; sumber dari : Razali Ritonga; Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI Media Indonesia, 4 April 2015)-FR
Catatan : Alhamdulillah, salah satu perjuangan P2Tel untuk meringankan Lansia yang kurang beruntung dengan bantuan Bedah rumah, yang programnya terus berlanjut, walau jumlahnya tidak seberapa. (FR)