Ibuku tampak sehat
Pesawat Garuda yang membawa Ibu, akhirnya mendarat di Adi Sutjipto. Alhamdulillah ibu dengan digandeng adik saya tampak sehat muncul dari pintu keluar. Sudah sekitar dua tahun ini sesungguhnya ibu enggan bepergian, apalagi sampai ke Jogja.
Usianya hampir 91 tahun, akhir2 ini banyak dihabiskan dengan membaca, tidur dan berjemur di depan rumah adik saya di Jakarta Selatan. Ke dapur pun ibu sudah jarang. Namun karena adik saya harus ke luar negeri sedang tugas, yang selama ini se-hari2 menemani ibu pulang kampung nengok emaknya yang sakit, ibu terpaksa dititipkan ke saya di Jogja.
Pagi tadi beliau tampak sehat dan banyak cerita, saya tawari jalan2 ke pasar Tempel, ibu tidak menolak. Ditemani istri saya, setelah turun dari mobil ibu di biarkan belanja apapun yang beliau sukai. Beberapa kueh basah dipilihnya untuk oleh2 adik saya yang tinggal di Taman Siswa.
Beliau juga membeli Pipis Kopyor, kueh khas kampung, irisan kelapa muda, santan dan beberapa potong roti yang dikukus dalam bungkusan daun kelapa. Rupanya ibu Ingat kesukaannya dahulu. Ibu juga membeli dua papan pete, satu potongan panjang tempe, paria dan buncis.
Siang tadi di dapur ibu bertanya ke saya sambil pegang pete yang dibeli. “Ini dimasak apa ya?”, “Lha dimasak apa? Tempe? Saya jawab sambil berharap ibu bersedia masak tempe. Sayur tempe adalah masakan keluarga. Dulu sayur tempe masakan mBah saya yang tinggal di Malang, yang paling enak.
Masakannya menjadi legendaris dan masakan wajib manakala putra-putri dan cucu-nya pulang ke Malang. Setelah mBah wafat, lezatnya sayur tempe itu menurun ke masakan ibu. Semula ibu yang sudah lama tidak ke dapur itu ragu-ragu bertindak, namun karena melihat saya sigap memotong tempe dan mengiris dengan besar irisan dibawah instruksi ibu. Ibu segera mengupas pete.
Kemudian saya iriskan cabe hijau cukup banyak dan cabe merah. Lengkuas saya keluarkan dari kulkas, juga tomat dan santan kara.Ibu kemudian mengupas dan merajang bawang merah dan bawang putih. Masih cekatan.
Pertama irisan bawang merah dan putih yang di tumis agak lama dengan api sedang, irisan cabe dan tomat dicemplungkan, barulah tempenya dimasukan. Agak lama diaduk diatas api.Garam sedikit saja dahulu, bertahap. Dibubuhi air (matang/aqua) sedikit, baru kemudian santannya di tuangkan.
Gaya masak ibu ternyata gaya minimalis, secukupnya, tempe setengah papan lebih sedikit. Bawang merah dan putih, jauh lebih sedikit dari yang biasa saya lakukan. Tomat hanya setengah buah saja. Tidak ada bumbu berlebihan. Tanpa daun salam atau tanpa terasi bahkan tanpa gula pasir seperti kebiasaan saya memasak.
Kurang garam sedikit, tambahkan baru OK. Rasanya pas! Sayur tempe legendaries. Kedua orang berambut putih, ibu dan anak berkolaborasi menghasilkan sebuah masterpiece. (Sleman, 31 Desember 2015; Sadhono Hadi)-FR