Hidup dengan matematika
Ada seorang sahabat, orangnya bersahaja. Ia punya “kebiasaan” yg menurut saya sangat langka. Kalo beli sesuatu dari “pedagang kecil”, ia tidak mau menawar, bahkan seringkali jika ada uang kembalian, selalu diberikan pada pedagangnya.
Pernah suatu saat kami naik mobilnya, mampir di SPBU. Hasan berkata kpd Petugas SPBU: Tolong diisi Rp 95rb saja. Sang Petugas merasa heran. Iapun balik bertanya: “Kenapa tidak sekalian Rp 100rb pak ?” “Gak apa2, isi saja Rp 95rb”, balas Hasan.
Selesai diisi bensin, Hasan memberikan uang Rp 100rb. Sang petugaspun memberikan uang kembalian 5rb. Hasan berkata: “Gak usah, ambil saja kembaliannya.”
Sang petugas SPBU seperti tidak percaya. Ia pun berucap: “Terima kasih Pak. Seandainya semua orang spt Bapak, tentu hidup kami akan lebih sejahtera dengan gaji pas-pasan sebagai pegawai kecil”.
Saya tertegun dengan perilaku Hasan dan juga petugas tersebut.
Di dalam perjalanan, saya bertanya pada sahabat saya tersebut : “Sering melakukan hal seperti itu ?”
Hasan menjawab: “Temanku, kita tidak mungkin bisa mengikuti semua perintah Allah. Lakukanlah hal-hal kecil yang bisa kita lakukan di sekeliling kita, yg penting konsisten. Kita tidak akan jatuh miskin jika setiap mengisi bensin kita bersedekah 5ribu kepada mereka. Uang 5rib itupun tdk akan membuat dia kaya tapi yang jelas membantu dan membuat hatinya bahagia.
Hiduplah tiap hari seperti matematika: ..
mengalikan (x) kegembiraan, mengurangi (-) kesedihan, menambahkan (+) semangat, membagi (÷) kebahagiaan, dan menquadratkan kasih sayang antar sesama. (Djohan Noor; dari grup WA-78)-FR
——–
Sajian lainnya : Cendol Cap Ikhlas
Di sebuah desa kecil di Madura, ada seorang nenek penjual cendol keliling. Cendolnya khas, racikannya pas, dan menjadi minuman favorit orang-orang di kampung itu. Setiap hari ia menembus terik matahari, menyusuri pematang tembakau, berkeliling dari gang ke gang untuk melayani para pelanggannya. Berangkat pukul sepuluh pagi, pukul satu siang cendolnya sudah habis terbeli.
Suatu hari menjelang Pemilu, rombongan Bupati hendak melakukan kunjungan kerja ke desa tersebut. Tokoh masyarakat pun bersiap menyambut tetamu terhormat itu. Mereka bermaksud menyuguhkan hidangan istimewa.
Salah seorang kiai terpandang yang turut sibuk sebagai tuan rumah teringat cendol favorit sang nenek. Cocok untuk suguhan minuman khas kampung itu. Maka, pas pukul sepuluh, pak kiai sendiri langsung menemui sang nenek di sudut jalan yang biasa dilaluinya.
“Assalamualaikum. Bu, mimpi apa semalem?” sapa pak kiai.
“Waalaikum salam. Eh, Pak Kiai, memang ada apa, Pak Kiai?”
“Hari ini Ibu tak usah capek-capek keliling. Cendol Ibu kami beli semuanya!”
“Wah, jangan, Pak. Mohon cendol saya jangan dibeli semua.”
“Lho kenapa? Seharusnya Ibu bersyukur, dong? Selain tidak perlu capek-capek berkeliling kampung, kami beli dengan harga lebih. Ini rezeki nomplok namanya, ya tho?” rayu sang kiai.
“Ya, saya senang cendol saya laku, tapi saya sedih memikirkan pelanggan saya yang sudah menanti saya di pinggir ladang, tukang-tukang bangunan, dan anak-anak kecil yang haus sehabis bermain di dekat rumah mereka. Saya berkeliling demi mereka.”
Mendengar jawaban sang nenek, kiai itu terkesiap dan sadar, siapa yang hatinya lebih “kiai” dalam hal ini. Ia dapat pelajaran tentang kerja ikhlas. Tak semua orang berdagang semata demi uang. Kerja profesional sehingga cendolnya jadi minuman favorit bisa dipadukan dengan aktivitas spiritual: ketulusan mengabdi.
Ikhlas sering disalah artikan “ala kadarnya” dalam bekerja, lemah, dan tidak berkarakter determinatif. Dalam pengertian dasarnya, ikhlas itu tidak lain adalah menyandarkan seluruh aktivitasnya karena Allah semata. Ikhlas berada di ranah emosi dan transendensi (emotional and transcendental domain).
Bagi mereka, yang penting bekerja dengan baik (yang sifatnya subjektif), orang lain menilainya baik ya Alhamdulillah, menilainya tidak baik tetap Alhamdulillah. Yang jadi orientasinya adalah yang dilakukan sesuai dengan garis yang diyakini akan kebenarannya dan Tuhan Yang Mahaesa berkenan menerimanya.
Apresiasi baik yang tangible maupun intangible bukanlah tujuan yang dicarinya, akan tetapi kalau menerima apresiasi akan diposisikan sebagai konsekuensi. Yang menjadi tujuannya bukan apresiasi tapi keridhaan Tuhan melalui bekerja dengan baik.
Bahkan Imam Malik, memberikan pelajaran sangat berharga bagi kita, tentang ikhlas yaitu: kebiasaan Imam Malik kemana-mana selalu membawa sapu tangan. Untuk apa? ternyata untuk landasan di saat sujud, supaya tidak berbekas di dahinya.
Beliau khawatir keikhlasannya yang semata-mata karena Allah, terganggu dengan ‘pandangan dan penilaian’ manusia, gara-gara tampak di dahinya bekas sujud. Min atsaris sujud, bukanlah tanda bekas fisik akibat sujud, tetapi tanda min atsaris sujud adalah semakin dekatnya kepada Yang Maha Kuasa dan semakin bermanfaat kehadiran kita di mana kita berada [Mohammad Nuh – Qaf Media] Ayi Priatna; dari grup WA-78)-FR