Ekonomi lebaran
“Kang bagi THR-nya dong.” Kata teman melalui sms/wa berapa saja seikhlasnya. Keponakan2 saat kumpul silatirahmi menunggu dibagi THR. Demikian pula saat berkunjung ke kampung, bbrp orang di kampung berdatangan yg di akhir pertemuan minta kecipratan THR. Kalau para pegawai dan PRT mereka gak perlu minta THR krn sdh yakin dibenaknya akan mendapat THR.
THR tiba2 jadi kosa kata yang populer jelang labaran. Dan bisa jadi mengalahkan popularitas lebaran itu sendiri. Sebab, untuk memperoleh THR terkadang dibutuhkan energi untuk membujuk, memohon, bahkan sedikit memaksa. Dan ini jelas berbeda dengan lebaran yang pasti datang tanpa diminta.
Awalnya saya pikir, THR ini unik. Menjelang lebaranlah THR diberi perusahaan pada karyawanya atau majikan pada anak buahnya. Namun saat lebaran pun, istilah THR dipakai oleh para orang dewasa saat memberi uang pada anak2. Atau saat orang yang dianggap mampu secara ekonomi memberikan sedekah pada orang lain.
Lewat THR lah ekonomi lebaran bisa bergerak dengan kencang. Terjadi distribusi uang dari yang kuat kepada yang lemah. Dan THR ini menambah panjang daftar kosa kata kesolehan sosial saat bulan puasa dan saat lebaran. Diluar kosa kata keagamanan seperti sedekah, zakat, infak, dan wakaf, masih ada satu lagi kota kata yang juga populer saat bulan Puasa, yaitu santunan anak yatim.
Semua kosa kata itu punya nilai ekonomi yang sangat dahsyat. Hati umat ditautkan dengan kencang. Lewat berbagai aktifitas kesolehan sosial itu, hati manusia direkatkan: yang jauh didekatkan, yang renggang dirapatkan, dan yang sudah rekat dikuatkan.
Dengan THR, santuan, sedekah, infak, zakat, dan sebagainya, semua orang memiliki kegembiraan. Jadinya semua orang punya buying power memenuhi kebutuhan hidupnya selama lebaran, juga bisa pulang mudik, atau paling tidak minimal untuk membeli kebutuhan makan dan pakaian.
Walau kadang ada sifat berlebihan dari sebagian orang membelanjakan uangnya, bagaimana pun lebaran jadi stimulus ekonomi yang luar biasa. Dengan THR misalnya, kaum urban bisa pede saat mudik. Dengan zakat, infak, sedekah, dan santuan, kaum yang kurang beruntung memiliki kegembiraan.
Lebaran memang istimewa tidak hanya dari aspek keagamaan, mobilitas sosial, tetapi juga ekonomi. Ekonomi lebaran membuat yang kaya terlihat kemanfaatannya, dan yang miskin punya martabatnya. Agama bukan sekedar wilayah ritual, tetapi menjadi punya makna di dunia ketika wilayah sosialnya dijalankan dengan baik.
Mungkin benar kata sebuah ungkapan: ” derajat seseorang itu tidak ditentukan oleh kekayaan, jabatan, popularitas, atau kekuasaannya, tetapi oleh kemanfaatannya. “Khoirunnas anfauhum linnas” (Sapuwan Ksg; dari grup WA-78)-FR