Bermenung warisan Lurah
Pak Sabar punya kakak bernama Pak Sukur. Pak Sukur ini dulunya pegawai negri, dan mencalonkan diri menjadi Lurah di desanya, tahun 1980-an. Setelah acara Pemilihan Lurah, dia terpilih menjadi lurah, bahkan dua periode yang masing2 8 tahun. Jadi total dia jadi lurah 6 tahun. Tentunya dia tidak bisa aktif sebagai pegawai negri.
Menjadi lurah di dua periode tentunya karena berprestasi dan dicintai rakyatnya, sehingga setelah satu periode terpilih kembali. Memang Pak Sukur ini orangnya baik, sopan, ramah, rajin bekerja, ringan tangan, rendah hati dan murah hati.
Dia mempunyai kebun bambu, namun kalau orang mau mengambil dipersilahkan, tidak perlu membeli. Dia mempunyai kebun kelapa, tapi kelapanya tidak pernah dijual, hanya dibagi-bagi saja. Sampai sekarang di usia lebih dari 80 tahunan.
Kalau ada warga meminta surat pengantar mengurus KTP, pindah, mencari kerja dsb; Pak Sukur tidak pernah meminta uang, padahal dia mengetik sendiri suratnya, dengan mesin ketik pribadi dan kertas yang dibelinya sendiri. Alasannya : kasihan warganya.
Desa Pak Sukur ini untuk menuju desa lain yang menuju kota melalui jalan sempit, terjal dan licin. Nah, di jaman Pak Sukur, dia membuat jalan baru, jalan tembus yang lebih mudah menuju kota. Maka sejak itu orang dari berbagai desa melalui jalan baru ini, jalan lama malah jarang digunakan. Tentu masih banyak kebaikan lainnya dari Pak Sukur ini.
Dengan jasa dan kebaikan pak Sukur itulah maka warga di desanya sangat mencintai dan menghormati Pak Sukur dan keluarganya.
Belakangan, ketika anak Pak Sukur yang bernama Mas Dadap sudah dewasa dan berkeluarga, warga memintanya menjadi Lurah, menggantikan ayahnya yang dulu pernah menjadi lurah. Mas Dadap menolak dengan alasan dia bekerja dan sering keluar kota karena bisnis yang digelutinya. Apalagi istrinya tinggal dan menjadi dosen di kota lain juga.
Namun warga tetap ngotot agar dia mau menjadi lurah. Warga juga sepakat bahwa nantinya kalau Mas Dadap jadi lurah, pekerjaan sehari-hari akan mereka kerjakan. Mas Dadap hanya sebagai simbol saja. Berkali-kali warga meminta kesediaan Mas Dadap.
Ahirnya setelah berunding dengan keluarga, Mas Dadap akhirnya menerima permintaan warganya. Ketika pemilihan dilakukan, dia menang mutlak, jauh mengungguli calon lain dan jadilah dia lurah yang baru.
Sesuai kesepakatan, maka pekerjaan sehari-hari sebagai lurah dikerjakan oleh beberapa perangkat desanya, kecuali pekerjaan yang memerlukan tanda tangannya atau kehadirannya. Ketika desa mendapat bantuan dari kecamatan sekian juta rupiah,
Mas Dadap membuat panitia kecil dan menyepakati maunya warga, uang mau diapakan. Mereka lalu yang mengerjakan, uang diserahkan ke bendahara yang ditunjuk, jadi Mas Dadap sebagai lurah hanya mengawasi pelaksanannya saja.
Demikianlah, proses Mas Dadap menjadi lurah ditempuh dengan mudah, bahkan sebenarnya tanpa dia mau. Mengapa demikian? Itu adalah berkat warisan kebaikan yang dibuat oleh ayahnya, yaitu Pak Sukur, sekian tahun lamanya.
Mungkin kakek dan neneknya juga terkenal sebagai orang baik. Apa yang ditanam orang tua tidak hanya dinikmati sendiri, namun juga menjadi warisan bagi putra-putrinya. Maka, seyogyanyalah kita banyak menanam kebaikan, siapa tahu bukan hanya kita yang menikmati, namun juga anak turun kita kelak.
Catatan : Jaman sekarang ini istilah resmi lurah hanya yang ada di kota dan PNS, sedang di desa dipilih sebutannya kepala desa. Dulu sebutan di desa ya lurah juga. Sampai sekarang, di desa, khususnya di Jawa bagian tengah sampai timur orang lebih sering menyebut lurah. Mungkin karena lebih singkat dan mudah diucapkan. (Widartoks 2016; Dari grup FB-MKPB Telkom)-FR