Pengalaman Anggota

Pare-Teri

Bersepeda melewati Pasar Tempel, yang letaknya persis dibawah jalan raya Jogja-Magelang ditepi kali Krasak, saya melihat orang berjualan Pare (Paria), besar-besar menggiurkan. Memang tanah di lereng Merapi ini teramat subur, sehingga jarang saya melihat Pare kecil dijual orang.

 

Ada rasa tertantang untuk mengalahkan buah yang tersohor pahit hit ini. Saya beli yang terkecil, itupun hampir 40 cm panjangnya. Tak lupa saya membeli penangkalnya, disini disebut Ampo, yaitu segenggam bulat tanah liat di mBah bakul bumbu, yang jualannya menempel ke dinding pasar sebelah Barat.

Pertama tentu harus mengalahkan kepahitan sayur ini. Saya potong dahulu sayur Paria ini melintang menjadi dua potong, kemudian saya belah membujur. Ternyata mudah sekali melepas bagian tengah yang tidak saya perlukan.

 

Sayur pare atau dahulu kami menyebutnya sayur “gir” (gerigi rantai sepeda), memang hanya bagian kulit luar yang kasar seperti gir yang dimasak. Saya potong tipis dan arah melintang sepanjang 2 cm, setelah dipotong demikian baru tampak busur gir-nya.

Kemudian saya tampung di nyiru bambu (ya tentu bambu, mana ada nyiru dari logam), saya taburi garam empat sendok teh dan saya remas-remas sehingga agak lembek dan dibiarkan beberapa waktu sebelum saya cuci bersih dan rebus, tentu saja saya masukan secuil Ampo.

 

Sementara itu saya siapkan bumbu-bumbunya. Bawang merah enam siung saya rajang setipis mungkin, demikian juga bawang putih, semua dipotong membujur. Potongan membujur dan tipis, membuat luas permukaannya luas, sehingga cita-rasa kedua bumbu penting itu bisa diexplore semaksimal mungkin.

 

Kemudian enam buah cabe merah, juga dirajang setipis mungkin. Dua potong irisan tipis lengkuas muda saya tumbuk dengan ujung gagang pisau (hadiah dari Budi, keponakan saya yang Chef itu) sehingga memar.

 

Jangan lupa tiga lembar daun salam (tanaman sendiri). Lengkuas harus muda, agar mudah ditumbuk. Kalau keras ya harus di apkir dan beli lagi, harganya super murah, dua ribu bisa buat masak dua bulan.

Oh ya, saya lupa di pasar tadi saya juga membeli teri nasi Medan satu ons saja. Teri ini jadi komponen yang termahal dari seluruh masakan saya. Satu ons harganya Rp 7000 dan bisa dipakai tiga kali masak. Saya jumput sedikit dan cuci bersih setidaknya tiga kali bilas dengan air mengalir agar asinnya hilang.

Nah setelah teri digoreng, pare sudah matang dan dicuci bersih serta ditiriskan, mulailah saya menumis bumbunya. Pertama tentu irisan bawang putih, menyusul irisan bawang merah, baru kemudian cabe, lengkuas dan daun salam, sampai betul-betul layu (disinilah sesungguhnya rahasia masak, ibu saya sangat sabar dalam menggongseng bumbu ini).

 

Ssst …. saya bumbuhkan satu setengah sendok teh terasi, istri dan anak saya akan protes bila mereka tahu ada bumbu jelek dan bau itu dalam masakan. Barulah saya masukan paria dan teri gorengnya. Aduk betul, cicipin kurang garam? Tambah sedikit. Setealah merata matangnya barulah diangkat.

Rasa pahitnya tidak mungkin hilang, namun sudah jauh berkurang dan tercampur dengan asinnya teri, malah menjadi rasa yang enaknya sulit di ceritakan, lumayan buat makan malam dan sahur. (Sadhono Hadi; dari grup FB ILP)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Lihat Juga
Close
Back to top button
Close
Close