Wayang-Gatutkaca(15)-Buah simalakama
Saat Bima ter-mangu2, Arimba tahu, maka dia mengajak melanjutkan pertarungan. ” Ha3x, Bima a kamu takut? Hayo hadapi ini Arimba putra Prabu Trembaka yang dibunuh oleh ayahmu” kata Arimba. Bima yang mudah tesinggung, maju ke tempat bertarung yang tidak sengaja disediakan buat yang bertarung.
Kerabat dan prajurit kedua pihak menjauh, melingkari mereka dan menunggu cemas yang akan terjadi. ” Haa, apa yang aku takuti darimu Arimba, ayo kita lanjutkan” kata Bima mulai menyerang. Pertarungan dua kesatria itu berlangsung kembali. Arimba berusaha mendekati Bima, merangkul / memeluknya. Itu siasat agar ilmunya yang bisa menyedot tenaga lawan bisa berlaku.
Itu andalan Arimba. Ketika musuh tersedot tenaganya, dengan mudah dia habisi musuhnya. Arimba sekalipun berujud raksasa, dia berwatak kesatria, makanya di pertarungan sebelumnya ketika Bima loyo, dia tidak membunuhnya. Ini berlangsung 2x pertarungan, dia beri kesempatan ke Bima melawannya. Kini mereka bertarung kee-3xny, artinya Arimba akan menghabisi Bima di saat ada kesempatan.
Bima bertarung sambil berfikir keras memenangkan pertarungan, di 2x kesempatan dia dikalahkan Arimba. Bila Bima mengulang hal yang sama dengan sebelumnya, maka habislah dia. Sambil bertempur dia putar otak. Dewi Kunti, Puntadewa, Arjuna, Pinten dan Tangsen tahu hal itu, kesempatan Bima hanya kali ini, namun mereka tidak bisa membantu Bima.
Bima dan Arimba masih bertarung sengit. Kali ini Bima tidak mau bertempur jarak dekat, dia berusaha menjauh dari jangkauan Arimba, tak mau dipeluk Arimba yang berarti tenaganya yang beratus kali lebih kuat bisa tersedot. Sekali2 pukulan dan tendangan Bima mengenai Arimba, namun tak terasa bagi Arimba sebab tubuhnya licin dan liat.
Begitu kadang tendangan dan pukulan Arimba mengenai Bima, juga tidak terasa bagi Bima karena di dalam dirinya telah dapat kekuatan 9 tenaga bayu. Pukulan Bima yang dilambari 9 tenaga bayu menjadikan pukulannya sangat kuat, selain pukulan tangan, disertai hembusan angin yang kuat seperti inti badai.
Namun, karena yang dipukul Arimba yang tubuhnya liat dan licin, maka pukulan itu walau mengenai, namun meleset kesamping tubuhnya, seperti mengenai tiang besi saja. Akibatnya, inti badai itu pecah dan melenceng ke arah belakang dan samping Arimba, maka badai itu menerjang kerabat dan prajurit di sekitarnya, juga pohon2 mulai beterbangan daunnya.
Ketika pertempuran makin seru, maka kerabat dan prajurit sedikit-demi sedikit bergeser ke belakang beridiri atau duduknya, mereka sembunyi di tanah berlubang besar yang ditemui. Pohon2 kini bukan hanya daun yang beterbangan, namun perlahan ranting mulai patah, dahan patah dan terbang terbawa angin, satu demi satu pohon mulai bertumbangan.
Pertempuran keduanya makin mengerikan. Arena pertempuran makin luas. Binatang didekat arena berlarian menyelamatkan diri. Binatang melata dan serangga seperti semut bersembunyi di bawah tanah. Yang bertempur sama2 sakti dan tidak mau mengalah. Tenaganya sama2 kuat dengan ciri masing2. Pertempuran itu tidak jelas kapan akan selesai.
Peluh bercururan, napas memburu, tenaga perlahan namun pasti berkurang. Walau tetap saja serangan nya berbahaya. Karena mereka sama2 masih muda, mudah emosi, maka perlahan mulai kehilangan perhitungan, mereka ingin segera memenangkannya. Maka pertempuran menjadi semakin sengit.
Pertempuran 2 pemuda itu berlangsung seru, matahari makin meninggi mendekati titik puncaknya, membuat keringatnya makin deras. Di kubu Bima, Dewi Kunti dan pandawa cemas menyaksikan pertempuran. Mereka juga belum tahu cara membantu Bima.
Arimbi juga menyaksikan dengan sangat cemas. Kalau Arimba menang dan Bima mati, dia kehilangan orang yang berjasa bagi negara dan sesama manusia, dan banyak berbuat darma, orang yang tidak bersalah, orang yang dicintainya, sekalipun telah ditolak cintanya. Jika Bima unggul dan Arimba mati, maka dia akan kehilangan saudara tuanya, pengganti ortunya, rajanya.
Arimbi kini seolah makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tak dimakan bapak mati. Arimbi tak bisa berbuat apa2, tak bisa melerai, tak bisa menghentikannya, karena mereka sampai pada pertempuran antara hidup-mati. Apakah ada pilihan? Apakah Arimbi boleh pilih yang harus menang dan siapa yang harus kalah dan berarti mati? Sulit pilihannya.
Tanpa disadarinya, seraya memperhatikan yang bertempur, Arimbi me-nimbang2, kalau harus pilih. Bima atau Arimba, Bima atau Arimba. Bima menang, Arimba mati. Arimba unggul, Bima mati, membuatnya pening. Matahari nyaris di puncaknya. Pertempuran makin seru. Yang bertempur kehilangan kendali dan perhitungan. Pada suatu kesempatan, Bima berhasil memukul telak Arimba.
Bima senang, dia  menghujani Arimba dengan pukulan2 beruntun dan tubuhnya makin mendekati tubuh Arimba. Saat itu Arimba memeluk Bima dengan sekuat tenaga. Bima terkaget dibuatnya. Namun terlambat, tenaganya serasa tersedot dengan cepat. Dia mau melepaskan pelukan itu, tenaganya tidak cukup. Bahkan tubuhnya makin melemah. Pertempuran ternyata telah memasuki masa kritis.
Di luar arena Dewi Kunti dan pandawa cemas melihatnya. Mereka hanya pasrah dan berdoa semoga dewa menolongnya. Di sisi lain yang tidak kalah gundah, Arimbi. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Rasa ketakutan merasuki tubuhnya. Kalau Bima mati dia kehilangan orang tak bersalah dan dicintainya. Apakah akan menolongnya? Kalau ya, berarti sama saja dengan membunuh kakaknya, Arimba?
Kalau diam, berarti Bima mati, dia kehilangan. Pikiran dan perasaannya kacau, keringat dingin semakin deras, jantungnya berdetak kencang. Kini seakan ada beribu suara menggema di telinganya : ” Bima, Arimba. Bima, Arimba. Bima Arimba”. Suara2 itu makin cepat memenuhi telinganya. Air matanya tak terasa menetes, mengalir berderai.
Arimba masih memeluk erat Bima. Dia tinggal tunggu pasti tenaga Bima habis. Dari gerakannya, terasa Bima punya tenaga, walau tidak mampu melepaskan dari. Kuku pancanaka tetap terus dihujamkan ke tubuhnya. Seperti sebelumnya, hanya mengenai kulit nan licin dan liat, tidak melukai sedikitpun. Arimbi bertambah panik. Suara2 itu memekakkan telinganya.
Bima atau Arimba. Pilihan semua tidak enak, diam salah, berbuat salah. Bima mati dia kehilangan, Arimba mati dia kehilangan saudara tua yang dihormatinya. Dia diam, salah satu mati, dia berbuat yang lain akan mati. Bagai dalam neraka pilihan. Dia merasa harus memilih. Tidak memilihpun, itu pilihan.
Kini matahari sampai di puncaknya. Semakin memanaskan suasana. Bima makin berkurang kekuatannya. Kini tidak berdaya lagi. Arimba memeluk Bima dengan kuat, taringnya siap merobek leher Bima. Dia berusaha menghujamkan kuku pancanaka yang tetap tidak mengenai sasaran. Kini Bima kritis. Arimba tertawa ter-bahak2, sebab dalam sekejab dia akan segera merobek leher Bima.
Di saat kritis itu, tiba2 Arimbi ambil keputusan besar. ” Pusarnya, Raden Bima, Pusar, Pusar!”, katanya meneriaki Bima. Semula Bima tidak memperhatikan suara teriakan Arimbi, setelah dipikir jernih dia  tahu maksudnya.
Arimba kaget tak menyangka adiknya berteriak seperti itu. Terlambat. Dengan seluruh sisa tenaganya, Bima menusuk pusar Arimba dengan kuku pancanaka. Seketika perutnya pecah dan terburai isinya. Arimba jatuh terjerembab. Mati.
Kesaktian andalan Arimba dapat menyedot tenaga lawan yang dipeluk. Badannya sangat licin dan liat, sehingga pusaka apapun betapa saktinya tidak bisa melukainya, menggores sedikitpun. Tapi tiap kesaktian ada kelemahannya. Kelemahan kesaktian Arimba pada pusarnya dan itu tidak berlaku sepanjang waktu, hanya pada saat matahari berada di titik puncak.
Arimbi tahu itu, ketika dia harus pilih antara Bima-Arimba, lalu dia pilih Bima yang menang, lalu saat matahari di puncak di berteriak agar Bima menusuk pusar Arimba dengan kuku pancanaka. Bima mengerti teriakan Arimbi. Kini mayat Arimba terbujur. Semua kerabat dan prajurit kedua pihak menghampirinya, mengelinginya. Arimbi juga segera berlari menghampirinya.
” Maaf Kakang Arimba, maafkan kesalahanku” kata Arimbi menangis dan memeluk Arimba, kakaknya.
Pandawa terharu. Betapapun kemenangan Bima berkat Arimbi. Arimba bukan raksasa seperti raksasa yang lain, dia berwatak kesatria.
Prajurit Pringgadani bersimpuh di sekeliling mayat Arimba, menghormati dan sedih, ditinggal rajanya. Sebagian prajurit menyalahkan Arimbi yang membela, musuhnya. Sebagian lain membenarkan tindakan Arimbi. Semua itu dalam hati, tidak ada yang berani mengutarakan dengan kata2. Beberapa waktu kemudian Arimbi Arimba memerintahkan prajurit membawa jasad Arimba ke Pronggadani.
Kini matahari condong ke barat, sepi. Arimba telah dibawa ke negaranya, Pringgadani. Arimbi tidak ikut  ke Pringgadani. Dia duduk dibawah pohon, menyendiri. Ingatan Arimbi ke masa lalu. Sejak dia disuruh kakaknya mencari dan membunuh Bima. Kini terjadi sebaliknya, Bima yang membunuh Arimba. Dan itu akibat bantuannya, membocorkan kelemahan Arimba. Atau Arimbilah yang membunuh Arimba.
Kini hatinya berkecamuk, antara rasa salah, senang, takut dimarahi atau dimusuhi saudara2nya, cinta dan berbagai rasa, yang kini justru terasa bukan menjadi lebih terang , namun malah menjadi gelap. Matahari semakin ke barat, menuju peraduannya. Suasana mulai mulai meremang, menguning, menggelap, bak hati Arimbi. Bersambung Jum’at depan….. (Widharto KS-2017; dari grup FB-ILP)-FR