Nilai diri
Kejadian berikut mungkin pernah anda alami, entah ketika berperan sebagai anak atau ortu. Saya tergerak menuliskan sejak saya kedatangan seorang bapak (klien) yang mendaftarkan diri ke front office dan mengaku bermaksud mengkonsultasikan putrinya yang bermasalah.
Di ruang konsultasi, yang saya temui pasangan suami istri. Sang istri membuka pembicaraan dengan senyuman khasnya, “Pak Edy, kami harus minta maaf karena telah berbohong kepada staf Bapak. Bukan anak kami yang bermasalah, tetapi ayahnya, ya suami saya ini…”.
“Begini ceritanya, Pak Edy…” tukas sang suami. “Suatu sore saya ditegur ibu mertua yang tinggal serumah bersama kami. Beliau menyatakan kesedihannya menyaksikan cucunya, anak perempuan kami, menyerocoskan kata-kata makian.
Ibu mertua menyebutkan beberapa kosakata makian… dan saya terkejut, sebab kata-kata itu persis kata2 yang pernah keluar dari mulut saya sewaktu kami sekeluarga bermobil dan tiba2 “dikepot” bus Metromini. Serta merta saya gampar sang sopir sambil melontarkan seribu makian setelah saya berhasil memalangkan mobil kami di depan busnya”.
Nilai Sebuah Diri
Kejadian dimaki atau memaki dengan kata2 kotor mungkin mengejutkan kali pertama, namun cenderung jadi awal kebiasaan pada kali berikutnya. Suatu malam hari, 35 tahun silam, sesudah makan malam ayah memanggil saya dan 6 adik saya. Sembari memegang selembar uang dan dengan tangan terangkat tinggi ayah bertanya: “Siapa yang mau uang Rp 10.000 ini?”
Tangannya yang pegang selembar uang itu kian terangkat ke atas disertai pengulangan pertanyaan yang sama 3x. Keruan saja, saya dan ke-6 adik saya terpana. Entah karena baru kali ini melihat uang bergambar Sudirman senilai itu atau karena baru kali ini menyaksikan ayah berperilaku seaneh itu.
“Bagus, sekarang lihat ayah” Lantas ayah menjatuhkan uang itu ke lantai tanah dan menggecaknya dengan ibu jari kaki kanan seolah melumatkan. Ia ambil uang yang kotor bercampur debu tanah itu dan kembali berucap: “Siapa yang masih ingin uang ini?” sambil pegang lipatan uang kotor itu di antara ibu jari dan jari kelingking; mengesankan betapa rasa jijiknya, sambil tangannya makin terangkat ke udara.
Kami ber-7 terbengong lihat permainan ayah. Kami terhenyak ketika dengar ayah berkata, namun dengan penggalan patah kata yang diucapkan jelas, “Anak2, baru saja ayah mengajak kalian mempelajari hal yang bernilai” katanya. “Apa pun yang ayah lakukan pada uang ini, ayah yakin, tak satu pun dari kalian yang tak menginginkannya; sebab semua dilakukan tak mengurangi nilainya. Tetap Rp 10.000!”.
Ketaksadaran kata2
Menyumpah serapahi, memaki, mengumpati sama sebangun dengan tindakan ayah mengangkat, menjatuhkan, melipat-lumatkan, atau menggecak uang Rp 10.000-an itu. Perlakuan ayah saya itu sama identiknya dengan keputusan kita atau lingkungan kita, baik ketika mengumpati, memaki, menyumpahi, melabel, atau men-stigmatisasi terhadap suatu obyek atau pribadi.
Bayangkan, jika yang kebetulan menjadi obyek atau orang yang terkena stigmatisasi itu adalah diri Anda, betapa Anda merasa tak bernilai, setidaknya merasa bahwa harga diri Anda direndahkan. Padahal, bukan saja oleh segala caci-maki dan stigmatisasi lantas Anda jadi tak bernilai.
Bahkan oleh apa pun yang sudah dan akan terjadi pada Anda, Anda takkan kehilangan nilai diri Anda. Dimaki sebagai kotor atau bersih, dekil atau parlente, berkerut atau rata, adil atau batil; diri Anda tetap dan tak hilang, tak luntur; apalagi bagi orang-orang yang menyayangi Anda.
Otomatisasi makian, mulai dari berspesies binatang piaraan, alat vital, hingga adjective words yang berhubungan karakter; tampak makin sering kita saksikan- tak terkecuali di lingkup keluarga, niaga, bisnis, parlemen, pemerintahan; di wall space virtual macam FB; di institusi keagamaan dan pendidikan. Kekerasan kata menjadi banjir bandang yang kian sulit dibendung.
Hasil salah satu riset kecil saya di sebuah sekolah di Jabar menunjukkan siswa2 SMP, yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana guru memuntahkan makian, ternyata sampai pada pemahaman bahwa makian itu bukan merupakan sesuatu yang direncanakan.
Para siswa ini secara cerdas menyimpulkan: makian, ungkapan sarkas, dan pembunuhan karakter di ruang kelas oleh guru tidak dimaksudkan untuk mengoreksi kesalahan terkait pelajaran atau disiplin; sebaliknya, merupakan data tentang inkompetensi, ketidakyakinan, bad mood,
Pelampiasan lain, dan sebagainya, yang kesemuanya bersumber pada kondisi para guru, dan bukan siswa. Guru yang telanjur melakukan agresi kata segera kehilangan otoritas di depan siswa, dan makiannya pun kehilangan efektivitas.
Dari perspektif pemaki, terdapat anggapan restriksi legal yang membuat mereka terbatas menanggapi tindakan yang tidak mereka sukai (aversif). Dan hal ini bukan karena mereka sadar tentang masih tersedianya prosedur lain, termasuk yang berlaku di suatu lingkup di sekolah atau keluarga, misalnya.
Menyimak penelitian Lovaas dan Favell ( “Protection For Clients Undergoing Aversive/Restrictive Interventions” , 1987), dalam diri para pemaki terdapat dua pandangan tentang tindakan menghukum. Pertama, berupa reaksi tak terduga yang tersampaikan (contingent delivery) terhadap konsekuensi yang tak mereka sukai; dan
Kedua, berupa penggunaan reaksi tak terduga namun yang tak tersampaikan (contingent nondelivery) terhadap “tindakan positif” yang biasanya ditujukan pada perilaku yang tak diinginkan.
Salah satu contoh yang sering saya jumpai di sesi konsultasi: anak sedang asyik mengerjakan PR matematika, tiba2 ayahnya masuk ke ruang belajar, mengomel, anak harus lebih rajin belajar seraya menyisipkan kucuran makian. Akibatnya, perilaku belajar anak turun drastis. Dilihat efeknya, perilaku memaki sang ayah jelas bukan tindakan yang “secara sosial positif”.
Efek ini terjadi karena makian ayah suatu bentuk “reaksi tak terduga yang sebelumnya pernah tak tersampaikan terhadap hal yang tak ia sukai”. Justru , karena alasan ini makian ini jadi contoh dari “hukuman yang positif”. Kepositifan itu terbukti dari fakta tindakan memaki sang ayah berefek positif, yakni berupa penurunan daya pembelajaran anak.
Benar bahwa “Every man stamps his value on himself…man is made great or small by his own will” (J.C.F. von Schiller), sama seperti kata ayah saya bahwa semua yang ia lakukan tidak akan mengurangi nilai uang yang memang Rp 10.000. Sembarangan menghargai nilai diri, apalagi dengan makian, niscaya memerosotkan harga dan nilai sebuah diri.
Yang perlu dicatat, tidak ada tindakan yang terjadi tanpa dimaui. Yang ada adalah kemauan yang tak tersadari. Pokok soalnya ada pada ketaksadaran terhadap kemauan sendiri akibat terlalu banyak menunda merespon hal yang tak disukai. Padahal, merespon adalah cara mengakui (eksistensi) dan menghargai (nilai) diri sendiri tepat pada saatnya. (Edy Suhardono; *) Executive Director pada IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Email: iisa@visiwaskita.com. Artikel ini dimuat di Majalah Motivasi LuarBiasa, No. 5, Mei 2009. http://www.pembelajar.com/menghargai-nilai-diri)-FatchurR