Maraton Bandung-Purwakarta-Yogya
Ini perjalanan dadakan tanpa direncanakan. Tahu jadwal tindakan diundur, ponakanku di Purwakarta mengajak untuk ketemu “Nenek angkatnya” di Jogiakarta (bukan Meikarta ya).
Jam 09.00 dikabari, jam 15.00 di jemput terus berangkat lewat pantura. Bermula dari pengalaman pribadinya, dengan dipijat dan minum ramuan, dia sembuh dari penyakit yang dideritanya tanpa operasi.
Berangkat Kamis malam, bayanganku Jumat sore pulang, jadi tak perlu bawa bawaan. Aku ingin menyenangkan dirinya, sambil berikhtiar mungkin ini jalan Allah menurunkan ridho bagi kesembuhan.
Lama tak menelusuri jalur utara, setelah keluar tol, suasana jalan malam sama dengan sebelumnya dan kini makin padat.
Untung suami keponakanku lincah menyalip diantara ” truk2 gajah” sehingga jelang subuh masuk daerah Baledono perbatasan Magelang-Jogia. Setelah istirahat sekejap sambil berselfie, perjalanan dimulai lagi, Sempat sih ingat *Tempel* tapi ku urungkan mampir, takut ngrepoti pak Dhon yang tentu siap dengan jajanan pasarnya. Juga sahabat yang lain seperti mbak Wid dan p Shoffi.
Mobil terus meluncur melewati Adisucipto belok kanan menelusuri hamparan sawah dan dusun jauh. Baru kusadari yang kutuju berada di Gunung Kidul, desa Sidomulyo diatas bukit Bintang Piyungan. Diterima Mbah Guru, sebutan nenek ini, aku mulai tiduran untuk dipijit, punggung, kaki sampai dada kiri.
Rumah dan kehidupannya sederhana, sesuai suasana alas jati tanah cadas Wonosari. Suasana hening yang menentramkan hati. Dia sendirian, sejak anak2 nya wafat dan suaminya pergi, mungkin kawin lagi karena bosan miskin. Belakangan ada cerita yg bikin aku mawas diri, tentang kebiasaannya.
Saat ada rezeki, kadang dia masak nasi lengkap dengan lauk pauk untuk di-bagi2 ke tetangga yang memerlukan. Mereka yang hidup pas pasan, menerima dengan senang dan haru karena tahu kehidupan nenek ini yang tak jauh beda dg mereka, Ketidak pastian bisa makan se-hari2 ini sering membuat mereka menangis saat dibagi makanan nenek ini.
Pulang dari rumahnya bada Jum’atan, aku baru tahu kalau masih harus menginap semalam. Keponakanku ingin agar pulang ke Bandung aku berdua dengan istri menggunakan KA biar tidak tegang seperti waktu berangkat. Tiba keesokan harinya, dari penginapan, aku diajak mampir sarapan gudeg di Wijilan dan lanjut ke statsiun KA Jogya menuju Bandung.
Kini saat tubuh ter-goyang2, dan perut kenyang, aku duduk terkantuk , tapi tetep terus ngetik tentang kebiasaan nyentrik. Sesuatu yg mungkin bagi sahabat tidak menarik. Ahhh, aku tak peduli orang bingung, khawatir dan panik, kulalui saat2 seperti ini dengan enjoy kemanapun pergi, berdua dg istri.
Mati hidup sudah ada yang mengatur, kuserahkan pada Illahi. Maafkan bila cerita ini membosankan.
Wassalam. (Soenarto SA; dari grup WA-VN)-FR