Arsip Lama 8: Takut kemalaman (FE 085)
Jauh sebelumnya, seorang pendaki gunung telah mengajari saya cara efektif turun gunung, yakni dengan berlari. Sesungguhnya tak sepenuhnya berlari, kadang ber-loncat2 turun tergantung medannya. Dengan berlari, kita ikuti kemauan gaya gravitasi yang maunya glundung kebawah.
Kaki ikuti tanpa beban dan tidak lelah. Tapi harus terlatih. Pertama kali saya coba lari turun gunung ini dibawa anak saya ke Gelora Bung Karno di Jakarta. Di salah satu taman pinggiran stadion itu ada tempat yang banyak gundukan tanah. Setelah agak mahir turun gunung dengan berlari, beberapa kali cara ini saya praktekan di Gunung Burangrang, hasilnya sangat memuaskan.
Tidak sampai 30 menit, berlari, saya bisa sampai kembali ke gerbang Kopasus, tempat awal berangkat. Teman2, jagoan dari Dumai itu saya lihat juga mempraktekan berlari. Dengan lincah mereka lari, loncat, lari dan sebentar jauh meninggalkan saya, padahal saya juga berlari. Untung di belakang ada dua pemandu, sebagai tim sweeping, yang sabar mengikuti saya.
Kunci utama turun gunung itu sepatu. Sepatu hiking ada bagian keras ujungnya, guna melindungi jari kaki dari benturan keras batu atau akar pohon. Sol sepatu di-desain mencengkram tanah, sehingga dengan aman kita turun tanpa takut terpeleset. Bagian belakang tinggi, mirip sepatu boot, punya 2 fungsi, pertama melindungi mata kaki dari benturan dan mencegah terkilir.
Fungsi kedua, mengikat erat sepatu ke betis bagian bawah, sehingga memberi ruang cukup kepada kuku kaki, agar tidak menyentuh bagian dalam ujung sepatu. Akan halnya saya, setelah sholat saya kembali mengenakan sepatu. Ternyata ikatan sepatu saya tidak rapih dan tidak erat, sehingga kendor. Akibatnya, setiap melangkah turun kuku saya menyentuh bagian dalam sepatu.
Bisa dibayangkan makin lama saya makin kesakitan. Tapi karena cuaca mulai remang senja, saya takut kemalaman di hutan. Hari makin gelap, saya tidak yakin lagi, apakah dibelakang saya ada pendaki. Rasa takut kemalaman dan tersesat ini mengalahkan rasa sakit di kuku kaki saya, sehingga dengan ter-pincang2 turun. Lari sudah tidak mungkin lagi.
Untungnya, Alhamdulillah, akhirnya saya lihat sinar pelita di belakang rumah penduduk. Sangat lega, beberapa rumah dan akhirnya saya sampai di pos terakhir, rumah berteras panggung cukup luas. Teman2 sudah datang, beristirahat, sudah bersih mencuci badan.
Saya peserta terakhir masuk finish. Dengan kaki pincang saya masuk mobil sewaan. Kelak, 3 buah kuku kaki saya yang bermasalah itu jadi hitam dan tanggal, untungnya dibawahnya sudah tumbuh kuku baru yang lebih mulus, sebagai penggantinya. Bersambung… (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR