Gaya Rumahan (FE 090)
Yogya sedang demam yang berbau rumahan. Warung yang bersuasana rumahan, dapur rumahan, dengan tungku kayu bakar rumahan, masakan rumahan dan berada di tengah sawah sedang luar biasa larisnya.
Pada hari libur, deretan mobil parkir panjang mengular. Soto ayam biasa, disajikan di rumah biasa yang disulap menjadi warung dan di tengah sawah jadi jujugan (tujuan) para pemburu makanan. Sebuah warung baru, di bagian barat daya Jogja, untuk menghidupkan suasana rumah, malah menyediakan pedati yang ditarik lembu, lengkap dengan klintingan di lehernya guna menghibur tamu.
Pedati menyusuri jalan desa yang asri, sembari melihat burung2 bangau yang mencari makan di sawah. Rumah makan tumbuh di-mana2 bagaikan jamur dimusim hujan, hampir semua bergaya Joglo atau model rumah sederhana.
Ya, mungkin mereka ingin menikmati kembali masa kecil makan di pinggir sawah. Atau takjub mendengar cerita orang tuanya jaman dahulu, nikmatnya makan dipinggir sawah. Di kota2 besar sulit mencari sawah, semuanya berganti beton. Restoran bernuansa rumahan bisa direkayasa dengan sentuhan seni. Bahkan bekas kandang sapi sekarang diburu orang untuk dijadikan gubug lesehan.
Jadi manusia turun derajat, semula makan di rumah sekarang makan di sawah, sedang sapi naik derajat, semula kandang menjadi restoran. Tapi sesungguhnya bukan soal makanan yang akan saya ceritakan. Saya tidak terlalu tertarik dengan restoran gaya rumahan.
Saya cukup enak dan puas dengan masakan saya sendiri, sekalipun hanya kangkung ca, kaylan (atau tunas kol), dengan tempe bungkus goreng yang dipenyet dengan cabe hijau (lengkap dengan tangkainya), bawang putih dan minyak panas.
Saya ingin bercerita tentang pengalaman saya baru-baru ini dengan pijat rumahan. Awal bulan ini badan saya terasa kurang nyaman dan sudah berlangsung beberapa hari. Istri saya menyarankan untuk pijat ke mBah Ribut.
Rumahnya terletak di desa yang berseberangan dengan desa saya, terpisah dengan jalan provinsi yang ramai. Saya kemudian menyusuri trowongan di bawah jembatan, hasil swadaya penduduk khusus untuk pengendara motor agar dengan mudah menyeberang tanpa harus menerobos padatnya lalu lintas.
Saya masuk ke rumahnya yang merangkap warung kecil berjualan kelontong. Mbah Ribut sedang memijit seorang anak kecil yang menangis me-raung2 ketakutan. Beberapa kali anak kecil ini lolos dari pijatan tangan mBah Ribut dan meloncat turun lari keluar telanjang sambil menangis. Ibunya terpaksa keluar dan menyeretnya kembali ke dalam.
Saya tidak bisa menahan tertawa melihat kejadian ini. Pada giliran saya, saya bentangkan kain batik bersih sebagai alas, yang saya bawa dari rumah. Ternyata banyak otot saya yang harus dibetulkan kembali olehnya. mBah Ribut menawarkan mengeroki, karena masuk angin saya sudah parah.
Sembari bekerja, kadang pembeli warungnya datang dan mbah Ribut bertransaksi dari balik kamar, pintu kamar memang setengah terbuka. Pembelinya meletakan uangnya di kotak, malah kadang pemijatan sejenak dihentikan, bila mBah Ribut terpaksa keluar melayani pembeli.
Tiba2, rumah jadi gaduh karena dua-anak mBah Ribut datang dari Jogja membawa serta cucu2nya. Hari ini libur, sehingga anak2nya bisa datang. Cucu2 yang masih kecil ini menghambur menemui neneknya. Mbah Ribut membiarkan saja mereka bermain di kamar, ber-loncat2 di kasur.
Bahkan ada yang tiduran di atas kain batik yang saya bawa, yang warnanya mungkin asing bagi mereka. Suasana kamar jadi ramai dan hiruk pikuk. Rupanya hal seperti ini biasa terjadi dirumahnya dan dia dengan santai terus bekerja melanjutkan pekerjaanya, betul2 pijat rumahan. (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR