Belajar Manajemen di Masjid Jogokariyan Yogya
(radarcirebon.com)-Tak salah jika masjid ini jadi n. 1 dalam manajemen masjid di Indonesia untuk kelas masjid kampung. Nama Masjid Jogokariyan mulai banyak diperbincangkan di kalangan takmir masjid di Indonesia. Terutama mengenai manajemen masjidnya.
Itu bukan terjadi seketika. Karena masjid yang berdiri (1966) ini dulunya masjid kecil. Di tahun 1999, ada perubahan pengurus takmir masjid. HM Jazir ASP saat itu menjadi ketua DKM Masjid Jogokariyan. Dengan perencanaan matang, Masjid Jogokariyan menerapkan manajeman modern.
Masjid ini diganjar sebagai Juara I Manajemen Masjid dari Kantor Kemenag Jogjakarta. “Dari sumber itu disebutkan kita berada di urutan ke-3 jadi masjid dengan manajemen terbaik setelah Masjid Sunda Kelapa Jakarta dan Masjid Istiqlal. Itu sebelum ada lomba resmi dari kemenag” sebut Sekretaris Takmir Masjid Jogokariyan, Enggar Haryo Panggalih saat dijumpai Radar Cirebon.
Masjid ini unik. Dari mulai logo, yang menampilkan tiga bahasa, yakni Arab, Indonesia, dan Jawa. Itu wujud semangat menjadi muslim yang salih tanpa kehilangan akar budaya. Maklum saja, karena letaknya yang tak jauh dari Keraton Jogjakarta, membuat tradisi kejawen masih kental.
Nama Jogokariyan dari nama kampung, diambil dari prajurit keraton : Joko Kariyan. Nama ini bukan sembarangan. “Tiap masjid itu punya peta dakwah sendiri, dan lebih baik jika masjid itu ambil nama dari lokasi dakwahnya. Seperti dilakukan saat zaman Rasul, yang mendirikan masjid dan menamainya sesuai nama daerah itu, sehingga peta dakwahnya jelas,” terang Enggar Haryo Panggalih.
Kini masjid itu melampaui usia setengah abad. Kebiasaan yang terbangun sejak 1999, atau sejak penerapan manajemen modern, terus berjalan hingga kini. Seperti salat lima waktu berjamaah. Penerapan manajemen modern, berlandaskan pada nilai2 masjid pada zaman Rasulullah SAW.
Masjid jadi jantung pokok kegiatan masyarakat dan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Penerapan ini bermula saat kegelisahan dari pengurus2 takmir, karena jumlah warga yang salat berjamaah terus berkurang. Di samping rasa kegelisahan, di masjid hanya dibuka saat salat berjamaah.
“Kita miris ketika masjid ditutup usai menunaikan salat. Sehingga ketika ada yang hanya ingin istirahat atau mau salat, terpaksa di SPBU,” ucap pengurus Remaja Masjid Jogokariyan, Krisna Yuniar.
Masjid Jogokariyan ingin menerapkan masjid yang pintunya terbuka bagi siapa pun. Sehingga, membuat masjid jadi lokasi yang asyik dan berguna bagi orang lain. Ini didasari dari filosofi orang Jawa, dulu yang suka menyediakan air minum di depan rumah, yang disediakan untuk orang2 dalam perjalanan.
Untuk memulai pekerjaan dalam menata umat itu, pihaknya memetakan dengan menghimpun database (DB) jumlah warga di Kampung Jogokariyan. Hasilnya, sedikitnya 1.000 kepala keluarga dengan 4.000 jiwa penduduk.
DB ini lengkap dari pekerjaan, penghasilan, sampai pada hal ibadah yang bersifat pribadi. Seperti seberapa sering bersedakah, alasan kenapa tidak salat berjamaah dsb. “Dari hasil pemetaan itu, kami lihat banyak warga yang belum bisa salat. Sehingga kami adakan kursus salat lebih dulu bagi warga. Program kami mensalatkan orang hidup,” tambah Enggar Haryo Panggalih.
Setelah itu, pihaknya punya ide mengundang warga Salat Subuh berjamaah dengan desain undangan yang mewah. Tujuannya, menghargai warga dan menutupi banyaknya warga yang minder karena mereka tidak biasa salat Subuh berjamaah.
Hasilnya memuaskan. Jemaah salat Subuh bertambah. Masjid tidak hanya dipenuhi Lansia. Tapi banyak dari kalangan anak2 muda yang ikut melaksanakan Salat Subuh. Jauh sebelum adanya gerakan Salat Subuh berjamaah 1212, Masjid Jogokariyan sudah melakukannya.
Kunjungan
Kini, takmir masjid di wilayah2 banyak yang ber-bondong2 berkunjung dan belajar pengelolaan masjid ke Jogokariyan. Meski hanya di kampung kecil, masjid ini banyak dikunjungi takmir masjid dari dalam dan luar negeri. Setiap akhir pekan masjid ini ramai.
Ya, para pengurus masjid dari Sabang sampai Merauke, belajar ke Masjid Jogokariyan. Persatuan Masjid se-AS di New York pernah juga bertandang ke masjid yang terletak di RT 40 RW 11 Kp Jogokariyan, Kelurahan Mantrijeron, Jogjakarta, itu.
“Pada awal 2000 banyak yang studi banding ke sini, tiap akhir pekan ramai terus. Karena kami menjadwalkan tiga hari untuk studi banding, hari Jumat, Sabtu dan Minggu,” ucap Sekretaris Takmir Masjid Jogokariyan, Enggar Haryo Panggalih.
Bangunan Masjid Jogokariyan mulanya satu lantai. Kini bangunan memiliki dua lantai untuk salat, dua aula di lantai dua dan tiga. Serta memiliki 10 kamar penginapan untuk disewakan kepada para tamu. Harganya relatif murah jika dibandingkan menginap di hotel.
“Untuk studi banding kami tak pasang tarif. Tapi kalau pihak tamu minta disediakan makanan atau laina, kami kenakan biaya untuk itu,” jelasnya. Pihaknya membuka takmir masjid lain untuk studi banding agar bisa menyebarkan manajeman masjid lebih modern. Karena kondisi masjid2 memperihatinkan, meski bangunannya megah namun jumlah jamaahnya sedikit. Hal ini miris terjadi.
Diharapkan adanya sharing ilmu manejeman ini, masjid di Indonesia bisa ramai dikunjungi jemaah. “Kita menerapkan metode melayanai kebutuhan umat, sehingga masjid ini menjadi daya tarik,” katanya.
Kini masjid itu bisa menampung 1.200 jemaah. Karena lokasi masjid di lahan sempit, pembangunan dilakukan dengan pengembangan ke atas. “Di sini ada perpusatakaan dan kamar khusus musafir,” jelas Enggar Haryo Panggalih. (Jamal Suteja; Bahan dari : (http://www.radarcirebon.com/belajar-manajemen-masjid-di-masjid-jogokariyan-yogyakarta.html)-FatchurR