Bambu tak bernilai ditangan Adang jadi alat musik Puluhan Juta
(ekonomi.kompas.com)- JAKARTA, Adang Muhidin (44) tak menyangka idenya mengolah bambu jadi alat musik modern membawa dia di posisinya saat ini. Pria asal Cimahi, Jbar ini pengusaha kerajinan berbasis bambu yang produknya banyak diminati oleh WNA selama beberapa tahun terakhir.
“Ide saya buat bikin sesuatu dari bambu itu karena saya bangkrut (2011)” kata Adang saat ditemui Kompas.com di sela acara Inacraft 2018, Jakarta Convention Center, Jakarta (28/4/18). Dulu Adang bekerja sebagai kontraktor dan punya bengkel2 sebagai usahanya yang lain. Tapi, satu per satu usaha itu tidak berkembang dan gulung tikar.
Pada suatu waktu, Adang memikirkan dirinya selepas bangkrut. Secara tidak sengaja, dia lihat banyak bambu di pinggir jalan, dan timbul ide hal itu bisa dibuat jadi sesuatu yang unik dan berbeda. “Kalau bikin kursi begitu kan biasa, ya. Saya ingat pernah nonton konsernya Addie MS di TV, yang sering disorot itu biolanya. Ya sudah, saya coba bikin biola dari bambu” tuturnya.
Pembuatan biola dari bambu makan waktu lama, mulai dari riset sampai percobaan2 yang diwarnai kegagalan lebih dulu. Hingga (2014) Adang bisa membuat biola pertamanya, yang diminati seseorang dari Jepang ketika ada kunjungan ke acara komunitas pecinta bambu. Awalnya, Adang tidak menyangka biola itu bisa dijual.
Hingga si Jepang itu menanyakan ke Adang, dengan kondisi kala itu dia belum siap mematok harga. “Saya bilang Rp 3 juta, spontan kasih harga segitu. Setelah terjual, saya percaya diri, lalu bikin alat musik yang lain kayak gitar, bas, drum set, saxophone, kecapi, dan cello,” ujar Adang. Selama proses pembuatan alat musik yang diberi merek Viragiawe, Adang mengandalkan info dari internet.
Dari sana dia tahu belum ada yang membuat alat musik dari bambu seperti dia. Saat pertama membuat biola, dirinya hanya mengeluarkan Rp 100.000. Uang itu untuk beli bor Rp 52.000 dan perlengkapan2 lain seperti lem dan senar. “Kalau bambunya gratis, tinggal ambil di pinggir jalan. Bambu gelondongan begitu belum ada nilainya, tapi kalau jadi alat musik beda” kata dia.
Sejalan pengembangan usahanya, dia dan teman2nya merintis komunitas : Indonesia Bamboo Comunity (IBC) wadah memperkenalkan hal2 tentang bambu. Bisnis alat musik itu jadi salah satu unit usahanya yang menopang kegiatan komunitas itu. Pemasaran produknya, dia aktif menyebar info via Medsos FB. Dari upaya ini, banyak calon pembeli yang kebanyakan dari luar negeri.
“Tahun 2015 saya dan teman2 mulai diundang ke luar negeri untuk perform dan pameran : Ke Malaysia, Singapura, Taiwan, Belanda, dan November ini mau ke Jerman,” tuturnya. Sekali pergi pameran ke luar negeri, timnya bisa mengantongi minimal Rp 100 juta dari hasil jualan alat musik yang dibawa. Bahkan, dia pernah mendapat Rp 300 juta sekali pameran.
Dari jualan via online, pendapatan sebulan rata2 Rp 100 juta. Sebagian hasil keuntungan itu dipakai untuk membangun komunitasnya, termasuk memberi pelatihan kerajinan tangan pada masyarakat yang tak mampu di sekitarnya. “Jadi saya sebutnya bukan pegawai, tetapi anggota komunitas. Totalnya ada 500 orang, kalau yang di Cimahi atau di pusatnya ada 50 orang,” tutur Adang.
Dia yakin, jika orang berani kreatif dan membuat sesuatu yang berbeda, pasti dapat apresiasi setimpal. Dia turut mengajak pelaku UMKM untuk selalu berinovasi serta memanfaatkan teknologi membuat karya yang baik. Dia ingatkan agar jangan terlalu berharap pada pemerintah.
Cara itu sudah dibuktikannya yang tidak pernah minta bantuan pemerintah sampai usahanya bisa berkembang seperti ini. “Saya yakin, Indonesia orangnya hebat2. Semua hebat, kerajinan tangannya juga hebat, cuma mungkin pada belum berani muncul” ujar Adang.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com; dengan judul “Di Tangan Adang, Bambu Tak Bernilai Jadi Alat Musik Puluhan Juta Rupiah”, Penulis : Andri Donnal Putera; Editor : Aprillia Ika; Bahan dari :Â https://ekonomi.kompas.com/read/2018/04/28/211346326/di-tangan-adang-bambu-tak-bernilai-jadi-alat-musik-puluhan-juta-rupiah)-FatchurR