Masjid Angke Simbol Kerukunan
(m.mediaindonesia.com)-SEHARI jelang Ramadan, Muhammad Abyan Abdil (40) sibuk membersihkan Masjid Al Anwar. Bersama rekan2nya, ia siapkan kebutuhan pelaksanaan salat tarawih pertama pada Ramadan 1439 ini.
Di masjid yang juga dikenal dengan Masjid Angke di Kelurahan Angke, Kec-Tambora, Jakarta Barat, itu mereka bentangkan terpal di halaman masjid, menambah pengeras suara, membersihkan sajadah dan kipas angin. Mereka kotor akibat debu kipas angin dan buru2 dibersihkan saat jamaah datang ke masjid yang dibangun abad ke-17, (26 Syakban 1174 H atau tahun 1751).
Setelah berhenti bersih2 masjid, sambil menyeruput kopi panas, Abyan yang keturuan ke-8 pemilik awal tanah sekaligus pengurus masjid itu menceritakan begitu berharganya Masjid ini. “Tempatnya nyempil di gang sempit ini. Namun, kalau mau lihat NKRI mini, ya di sini,” ujarnya.
Masjid Angke, dibangun dengan semangat kerukunan, perbedaan, dan toleransi yang mendarah daging. Nilai kerukunan tergambar dalam setiap sudut bangunan masjid. “Masjid dibangun dengan akulturasi berbagai budaya dan keberagaman. Pembangunannya oleh masyarakat beda budaya dan agama, seperti Hindu Bali. Arsiteknya Tionghoa muslim, ada Jawa, Arab, dan Eropa”.
Saat menyusuri selasar masjid terlihat dinding masjid bermotif lengkungan corak arsitektur Eropa. Bangunannya dihiasi unsur kayu. Di pucuk atap masjid ada mestapa serta patung nanas sebagai simbol kerukunan dan persatuan.
Di pintu utama masjid berbingkai kayu ukiran bunga mencirikan budaya Hindu Bali. Jendela masjid dibuat tanpa daun, hanya berjeruji kayu bubut sehingga berfungsi sebagai ventilasi udara. Bubutan kayu jeruji jendela itu ciri Eropa. Kuda2 bangunan berciri Jawa, ukiran dan bentuk atap masjid mencirikan budaya Hindu Bali dan Tionghoa.
“Setengah dari bangunan masjid terdiri atas unsur kayu, yakni kayu jati, meranti, dan ulin. Dahulu atapnya digunakan mengumandangkan azan dan di atasnya ada simbol kerukunan, yaitu patung buah nanas” jelas Abyan.
Mulai Lapuk
Namun, kayu di bagian2 bangunan itu mulai lapuk dimakan rayap, terlihat pada bingkai ke-3 pintu masjid, ventilasi udara, hingga penyangga2 bangunan. Arsitek Masjid Angke seorang Tionghoa muslim : Syaikh Liong Tan. Inisiatif pembuatan masjid muncul dari warga yang merupakan warga Hindu Bali.
“Pada abad ke-15 kampung ini perkampungan masyarakat Hindu Bali. Dengan berkembangnya Sunda Kelapa (Jakarta sebelum 1527), banyak warga memeluk agama Islam dan hidup berdampingan dengan warga Bali. Karena (muslim) butuh tempat ibadah, dibangunlah masjid ini saat Tionghoa masuk ke Batavia”.
Keberagaman di kampung yang kini terdesak oleh deretan bangunan ruko itu memiliki nilai kerukunan yang menjadi dasar hidup berdampingan secara damai. (H-1; Sri Utami; Bahan dari : http://m.mediaindonesia.com/read/detail/161386-masjid-angke-simbol-kerukunan?utm_source=dable)-FatchurR *