Aku cinta Indonesia

Bersatulah menikmati Jalan Tol

Kompas.com-SEBELUM memulai, izinkan saya lebih dulu mohon maaf jika di tulisan ini ada kekeliruan. Apalagi saat ini suasana Ramadhan, saya tidak bermaksud menyindir siapa pun. Mudik, tak hanya perjalanan dari kota ke kampung2 di pelosok untuk bertemu keluarga. Melepas kangen.

 

Atau mungkin pamer kesuksesan yang dicapainya di kota. Mudik itu perjalanan spiritual. Sejenak kembali mengingat awal perjalanan hidup. Kembali memaknai nilai2 yang terabaikan. Juga merajut tali2 persaudaraan yang kurang terawat karena nihilnya kehadiran fisik. Teman2 berkisah, betapa mereka menemukan kesyahduan saat perjalanan mudik.

 

Berangkat dari Jakarta. Di jalan bertemu orang lain yang ingin mudik, serasa menemukan saudara di perjalanan. Merasa senasib, memiliki tujuan sama. Saling merasa sebagai saudara. Dan itu sensasinya menjalani ritual mudik setahun 1x. Tahun ini perasaan sama muncul saat penduduk kota mudik.

 

Ditambah rampungnya pembangunan ruas2 jalan tol, prosesi mudik lebih lancar. Lebih khusyuk. Dan, tak menguras tenaga. Meski prosesi mudik lebih lancar, ada isu yang mengganjal di pemudik. Yaitu  bertebarannya pesan2 bernada politis terkait jalan tol. Mulai pesan di WA, FB, hingga ke spanduk2. Ada yang nyinyir dengan pembangunan jalan told dan ada juga yang mendukung.

 

Ada spanduk penegasan ini tol Pak Jokowi. Ya, namanya politik, saja dilakukan. Apa pun bisa ditempuh untuk menjatuhkan lawan. Apa pun yang bisa menguatkan posisi politik, diklaim sebagai keberhasilan. Duitnya “Pro” dan “Anti” Begitulah tol dipolitisasi. Terlepas dari kesyahduan mudik, Tol itu proyek infrastruktur melibatkan dana super-gede, termasuk dari perbankan agar proyek bisa berjalan.

Pemerintah mengestimasi, biaya membangun periode 2015-2019 Rp 799 triliun. Dari jumlah itu, pemerintah menutup 37%. Selebihnya, diserahkan ke BUMN dan swasta. Bagi BUMN dan swasta, untuk menggarap proyek2 jalan tol, porsi pembiayaan yang lazim 30:70 (untuk investasi dan modal kerja).

 

Dalam hal ini, 30% ekuitas dari perusahaan yang terlibat. 70% nya dana dari eksternal, melalui pinjaman bank dan pinjam ke pasar lewat penerbitan surat utang. Di sini yang menarik. Bank menyalurkan kredit ke jalan tol mengandalkan dana pihak ketiga (DPK). Dana itu milik nasabah yang disimpan dalam : Gito, tabungan, dan deposito. Tak peduli nasabah itu pro pemerintah atau kelompok anti.

 

Yang jelas bank menyalurkan dana itu pada perusahaan yang perlu biaya. Tidak mungkin bank memilah dan memilih dana yang dialokasikan ke proyek jalan tol hanya dari nasabah kelompok “pro”. Duit dari kelompok “anti” disisihkan untuk dialokasikan ke kredit sektor lain. Sebaliknya, seorang “kanti” juga tak bisa mengajukan request agar duitnya yang disimpan di bank tidak disalurkan ke jalan tol.

 

Sebaliknya, kelompok “pro” tak bisa minta ke bank agar dananya disalurkan ke proyek ini. Semua otoritas bank. Bank, memiliki prinsip yang tak berkaitan afiliasi politik. Prinsip2 itu kepercayaan, prinsip ke-hati2an, prinsip kerahasiaan, dan prinsip mengenal nasabah. Prinsip kepercayaan yakni bank berusaha menjaga kepercayaan masyarakat agar dana tetap disimpan di institusinya.

 

Caranya, bank menjaga kesehatan perusahaannya. Prinsip ke-hati2ian mengacu upaya penyaluran dana oleh bank kepada debitur harus hati2. Tujuannya sama, agar kesehatan bank terjaga dan kredit yang disalurkan tak macet. Prinsip kerahasiaan lebih mengacu kebijakan bank merahasiakan data nasabah penyimpan dan simpanannya. Terakhir, prinsip mengenal nasabah.

 

Bank selalu mengulik identitas nasabah, memantau transaksi nasabah termasuk melaporkan tiap transaksi mencurigakan. Bank tak akan menanyakan nasabah itu terafiliasi “pro” atau “anti” Pemerintah. Ketika duit nasabah masuk ke bank, duit itu bercampur dengan nasabah lain. Juga saat dana disalurkan untuk pembiayaan jalan tol. Duit “pro” serta dana milik “anti” akan berbaur.

 

Seharusnya kita paham jalan tol terbangun karena peran dari para “pro” dan “anti” yang disimpan di bank. Di bawah naungan bank, nasabah “pro” dan “anti” adalah bersaudara, senasib, dan sepenanggungan. Jika jalan tol yang dibangun sukses dan dilalui banyak pengendara mobil, duit “pro” dan “anti” akan baik2 saja. Demikian pula sebaliknya.

 

Pesan untuk “pro” dan “anti” Karena proyek jalan tol melibatkan dana masyarakat yang besar, tentu tidak elok memolitisasinya. Apakah itu mengklaim keberhasilan satu pihak atau menyinyiri sebagai proyek yang tidak menyentuh hajat hidup orang banyak. Ingat, duit yang berputar di proyek tol tak cuma dari mereka yang pro. Duit dari nasabah yang nyinyir pasti ada yang terpakai di proyek ini.

 

Bagi para “pro”, perlu diingat uang untuk membangun tol tak hanya dari uang kalian. Ada uang  “anti” yang juga dipakai membangunnya. Bisa saja duit “anti” lebih banyak terpakai ketimbang duit kalian. Bagi para “anti”, pahamilah ada uang kalian yang berputar di proyek jalan tol. Jika kalian nyinyir dan jalan tol jadi sepi, yang menghadapi risiko kredit macet juga kalian.

 

Tak perlu mengimbau orang lain untuk tidak lewat tol, wahai “anti”. Justru yang perlu kalian lakukan ajak semua orang lewat tol yang dibangun. Berterimakasihlah ke para “pro” yang mempromosikan jalan tol baru. Jadi uang kalian di bank yang dikucurkan untuk proyek jalan tol tetap bisa berputar.

 

Karena itu, wahai para “pro” dan “anti”, kalian tak punya pilihan lain, selain mendukung proyek pembangunan jalan tol. Karena pembiayannya berasal dari uang kalian semua. Untuk pemudik, sudah ada jalan tol yang bisa dilalui yang membuat prosesi mudik lebih asyik. Jaga konsentrasi di jalan, dan selamat sampai tujuan.

(Artikel ini telah tayang di  Kompas.com dengan judul “Jalan Tol yang Harusnya Menyatukan “Cebong” dan “Kampret””, (Bambang P Jatmiko; Editor : Heru Margianto; Bahan dari :   https://ekonomi.kompas.com/read/2018/06/11/085759726/jalan-tol-yang-harusnya-menyatukan-cebong-dan-kampret)-FatchurR *

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close