Sekarung Plastik untuk sepiring Nasi di Kantin Gas metan
(bbc.com/indonesia)-Pasangan suami istri Sarimin dan Suyatmi kompak memasak sayur mangut dan semur tahu di dapur warung makan milik mereka yang berada di sisi kiri zona aktif tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Jatibarang, Kecamatan Mijen, Semarang, Jateng.
Sudah 3 bulan terakhir ini pasangan itu membuka warung makan seluas 3×7 meter dengan berdinding triplek, beratap asbes, dan lantai tanpa plester. Sebuah spanduk merah dipajang di depan warung bertuliskan: Kantin Gas Metan.
Beda dengan warung makan lain, Kantin Gas Metan tidak pakai uang untuk transaksi, tapi plastik. Setiap orang yang ingin menyantap hidangan di warung ini harus lebih dulu menukarkan sampah plastiknya. Seperti siang itu, Andi Sumanto, pemulung asal Boyolali datang memanggul sampah plastik dan meletakkan di depan warung.
Sarimin menyambut dengan menimbang tumpukan sampah plastik sedang Suyatmi menyiapkan kertas bon pencatat sampah. Menurut Sarimin, sampah plastik kresek dihargai Rp400 per kilogram. Setelah semua sampah plastik diberi harga, Andi pun masuk ke warung dan bersantap.
“Makan di kantin ini enak. Di warung lain bayar pakai uang, tapi di kantin ini pakai plastik jadi meringankan. Kalau plastik saya dihargai Rp10.000 dan saya makan seharga Rp7.000, pemilik warung mengembalikan Rp3.000 kepada saya,” kata Andi, seperti dilaporkan wartawan di Semarang, Nonie Arni.
Kurangi plastic TPA
Keberadaan Kantin Gas Metan tak lepas dari ide Kepala TPA Jatibarang, Agus Junaidi, yang ingin mengurangi sampah plastik di TPA Jatibarang dengan target 40% dari total sampah di TPA sebanyak 800 ton per hari.
Dia lalu menghubungi pasangan Sarimin dan Suyatmi untuk membuat kantin yang pakai plastik sebagai alat transaksi. Untuk menopang kebutuhan bahan bakar memasak di kantin, gas metana disuplai dari TPA Jatibarang.
”Kami berpikir caranya mengurangi plastik. Lalu muncul ide mendirikan kantin yang masaknya memakai gas metana. Tapi yang makan di sana harus bayar plastik. Targetnya melayani pemulung dan supir truk sampah” kata Agus. Dari mana gas metana berasal?
Agus Junaidi mengatakan gas metana muncul dari sampah aktif yang tertimbun 2 tahun di TPA Jatibarang. Gas itu ditangkap menggunakan pipa2 yang ditanam di 9 titik dengan kedalaman 5-6 meter. Gas berkapasitas 72 m3 itu dialirkan gratis ke 100 rumah warga sekitar TPA, termasuk ke Kantin Gas Metan milik Sarimin dan Suyatmi. Tiap 1 m3 gas metana setara energi yang dihasilkan 0,48 kg gas elpiji.
Gas metana yang dipakai sebagai bahan bakar pun memuaskan. “Enak memasak menggunakan gas metana. Apinya biru, tidak mengotori perabotan. Memasak juga cepat,” kata Suyatmi. Dari sisi bisnis, pemakaian gas metana dan penukaran plastik diakui Sarimin sangat menguntungkan.
“Kalau dulu belum punya warung, selama 1 bulan, kami berdua menghasilkan Rp2 juta tapi harus dipotong biaya makan Rp500.000 dan tabungan Rp1 juta. Sekarang Rp1,5 juta sudah bersih. Makanan dari warung dan pengeluaran lainnya, seperti gas, gratis,” ujar Sarimin.
Konsep Limbah ke Enerji
Pengalaman Sarimin dan Suyatmi itu contoh warga yang dapat manfaat dari konsep waste to energy atau limbah ke energi yang diterapkan di TPA. Idealnya, penanganan dan pengelolaan sampah di TPA menggunakan konsep itu.
“Sanitary land fill jadi pendukung program waste to energy. Semua sampah bisa masuk. Tapi butuh investasi karena berkaitan teknologi. Ini bisa dilakukan di kabupaten kota yang punya dana besar. Di kota2 termasuk Semarang diarahkan untuk pembangkitan energi dari sampah. Kalau itu terealisasi TPA tidak ada masalah” kata Winardi Dwi Nugraha, Dosen Teknik Ilmu Lingkungan Undip, Semarang.
Terlepas dari teknologi di TPA, Winardi menekankan perlu sistem pengelolaan sampah yang baik sejak dari rumah tangga. “Penghasil sampah nomor satu ada di rumah tangga. Karena itu, perlu ada edukasi untuk mengolah sampah agar jumlah sampah yang masuk ke TPA pun bisa berkurang”. Tugas pemerintah, memprioritaskan anggaran untuk penanganan sampah.
“Pembuangan sampah rumah tangga perlu ditata, tapi harus ada mekanismenya sehingga tidak membebani masyarakat seperti subsidi. Ini bisa dicoba di beberapa kota kalau sistem sudah dibangun. Masyarakat untuk berubah bisa dengan regulasi yang jelas dan tidak ragu menerapkan itu,” tutupnya. (Bahan dari : http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/04/160405_majalah_lingkungan_sampah)-FatchurR *