Tujuh Ribu Saja
Akhirnya gigi yang sudah lama bermasalah ini patah juga. Akar dan sedikit batang giginya masih melekat dan sebelum dibuatkan gig palsu, harus dibersihkan terlebih dahulu. Tentu ini urusan dokter gigi dan saya punya beberapa pilihan,
Pilihan pertama dokter gigi teman istri, rumahnya jauh di Godean, sekitar 20 km dari rumah. Tentu tidak gratis, sekalipun tariff teman. Tapi berulang kali dihubungi, ibu dokter ini tidak menyahut, jadi saya batalkan saja rencana ke sana.
Pilihan kedua, Poliklinik Telkom, di Timoho. Untuk ke sana saya harus menyilang Jogja dari ujung Barat Laut kea rah Tenggara, lebih dari 25 km, menembus ramainya lalu-lintas. Tentu saja gratis, namun saya malas kesana.
Pilihan ketiga, RS Winduri Sleman, tempat faskes BPJS saya terdaftar. Sekitar 3 km dari rumah. Tapi pasien poli Gigi di sini mbludak, harus booking satu hari sebelumnya dan bukanya sore lagi. Saya juga malas ke sana, sekalipun gratis.
Pilihan berikutnya di RS Akademik Gajah Mada, di jalan Kabupaten, sekitar 8 km dari rumah. RS ini baik, dokter-dokternya pun sangat bermutu, namun antriannya lumayan lama. Bayarnya relatif mahal juga bagi pensiunan, tapi tentu tidak semahal di Kota Besar. Kalau tidak ada pilihan lain, saya akan memutuskan berobat ke sini saja, namun …..
Saya punya pilihan terakhir, Puskemas Tempel 1. Tempatnya lumayan bagus dan hanya berjarak 150 meter dari rumah. Berbayar tapi tidak mahal. Begitulah, saya kenakan helm dan saya mengayuh sepeda ke Puskesmas yang letaknya di seberang jalan Magelang. Saya tidak perlu menyeberang jalan yang lumayan ramai dengan bus-truck cepat, saya lewat ‘under-pass’ di kolong jembatan.
Seperti layaknya di Bank, antrian di Puskesmas ini juga menggunakan mesin antrian, kemudian di layar monitor nomor antrian saya B 05 dipanggil. Saya harus menunjukan KTP saya dan pertanyaan standar diajukan oleh petugas: Punya Kartu Sehat? Saya jawab punya tapi bukan terdaftar disini. Berarti saya harus bayar.
Tidak berapa lama giliran saya masuk. Saya ditanya dengan teliti, tekanan darah biasanya, alergi, riwayat sakit, bahkan sakitnya orang tua dahulu, ketika saya naik ke kursi pasien, perawat memeriksa seluruh gigi, bukan hanya gigi yang sakit,
-“Pak ini gusinya masih merah, jadi kami tidak berani mencabut, harus diobatin dahulu”. katanya
-“Lha itu pecahan yang gowal-gawil tidak bisa diambil saja bu?”, pinta saya.
-“Tidak bisa pak, diobati antibiotic dan tunggu lima hari”, kemudian saya diberi cermin kecil dan betul juga gusinya merah menyala, kontras dengan warna gusi disekitarnya.
-“Nanti kalau ke sini lagi, bapak harus sarapan dahulu. Tidur cukup pokoknya keadaan harus fit ya pak’, saya hanya bisa mengiyakan saja. Pasrah. Saya kemudian di beri resep untuk mengambil obat di apotik, obat anti biotic dan obat penahan ngilu.
Untuk pelayanan yang sangat ramah dan penuh hormat kepada orang tua, pemeriksaan gigi dan obat saya harus membayar Rp. 7.000,- diulang tujuh ribu rupiah saja……… Alhamdulillah. Saya bersyukur menjadi orang Indonesia, warga Jogya. Tapi seminggu ini saya ompong ….. padahal saya punya janji dengan Dr.Hasse. (Tempel, 20180830; Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR
*** Respon dari SSA :
Gpp ompong pak, asal senyum aja jangan sampai ketawa terbahak bahak.
Pengalaman saya keluar rumah, ditengah jalan baru sadar, gigi belum terpasang, terpaksa putar haluan dari pada disangka sdr pak Tile. (SSA)