Embun Pagi-Sepeda
Jogja sudah tidak bisa lagi dijuluki “kota sepeda”. Tidak seperti jaman dahulu, saat ini sudah jarang orang bersepeda di Jogja. Orang yang masih bersepeda di Jogja mungkin karena ia belum mampu membeli sepeda motor, atau anak sekolah yang belum pantas berkendara sepeda motor.
Atau orang yang sedang berolah raga sepeda. Yang terakhir ini, sering kita jumpai pada pagi hari terutama di hari libur berkelompok mengayuh sepeda ke jurusan Muntilan atau Kaliurang.
Padahal, menurut saya kontur kota Jogja, ideal untuk bersepeda. Kecuali di beberapa jalan menuju ke Merapi, tidak ada tanjakan atau turunan yang tajam di Jogja. Jalan-jalannya mulus sampai ke kampung atau pelosok desa. Bila jarak tempuh pulang balik ke rumah tidak sampai sepuluh kilometer, saya lebih senang bersepeda dari pada naik kendaraan motor.
Kalau tidak ada alasan khusus, saya selalu bersepeda, baik ke pasar, ke warung, ke masjid bahkan ke pengajian. Sering kali saya menjadi perhatian orang, karena satu-satunya jemaah yang bersepeda saat Jum’atan atau ke pengajian.
Polisi maklum kalau saya banyak melanggar lalu-lintas. Saya sering melawan arus, maklum untuk menyeberang jalur cukup berbahaya pada lalu lintas yang cepat. Saya juga sering menerobos traffic light kalau lalu lintas sedang sepi.
Untuk memotong kepadatan antrian, saya sering mengangkat sepeda dan berjalan di trotoar. Saya juga selalu mendapatkan fasilitas parkir gratis, tukang parkir selalu menolak manakala saya hendak membayar ongkos parkir.
Tapi saya juga pernah mengalami pengalaman yang kurang enak dengan bersepeda. Suatu hari saya mengikuti pengajian malam dengan bersepeda. Pada saat pengajian sedang berlangsung, tiba-tiba listrik padam. Tentu saja majelis bubar karena ruangan menjadi gelap, pengeras suara bungkam dan lampu sorot proyektor padam.
Para peserta pulang dengan kendaraan mereka masing-masing, mereka bermobil atau bersepeda motor. Tinggalah saya sendiri dengan bersepeda dan sepeda saya, tanpa lampu. Saya kemudian bersepeda dalam kegelapan tanpa cahaya, saya hanya mengandalkan ingatan saja. Saya harus mengayuh super hati-hati, salah sedikit saya bisa kecemplung sawah.
Saya tidak berani mengambil jalan tembus yang tidak beraspal, tanah rumpil menyeberang jembatan kecil, saya bisa terjun ke sungai yang dalam dan berbatu. Saya harus memutar, melewati kebun pepohonan yang rapat dan angker. Jarak yang hanya 1,5 km itu terasa sangat jauh.
Saya kapok dan esoknya saya membeli lampu sepeda dari bahan LED dengan batere. Hanya Rp. 60 ribu saya memndapat dua, lampu putih depan dan lampu merah di belakang. Kedua lampu itu bisa distel, nyala terus atau berkedip-kedip. Sekarang saya lebih aman.
Last but not least, bersepeda itu juga bisa bernilai ibadah. Lho kok bisa? Dalam surat Al Dzariat (QS 51:56) Allah berfirman. “….. Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”. Menurut akal, Allah tidak akan menurunkan ayat itu, bila konstruksi kehidupan manusia tidak memungkinkan untuk beribadah kepada-Nya.
Jadi, semua aktivitas kita bisa bernilai ibadah bila diniatkan. Contoh, bila hendak mengayuh sepeda kita berniat, “Ya Allah aku niat bersepeda, dan mensyukuri kesehatan tubuhku ini dan aku akan memelihara pemberian-Mu ini dengan ber-OR, agar aku tetap sehat dan dapat beribadah pokok dan ibadah wajib dengan baik dan istiqamah”. Wallahu a’lam bishawab. (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR