Tafakur-Untuk menambah Iman
(republika.co.id)-JAKARTA; Fenomena penciptaan alam dan segala isinya itu bukti nyata Kemahakuasaan Sang Khalik. Orang beriman, makhluk yang berpikir disuruh merenungi, hebatnya kekuasaan Allah SWT yang menciptakan segalanya.
Ahli agama dan filsafat tempo dulu bertafakur hakikat alam semesta. Banyak yang akhirnya sadar keberadaan Tuhan dengan merenungi ciptaan-Nya. Seperti Nabi Ibrahim AS menemukan Rabbnya melalui tafakur. Bertafakur/merenung itu model berpikir yang dianjurkan. Seperti Firman Allah SWT
“Dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam-siang terdapat tanda2 bagi yang berakal. (Yaitu) orang2 yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau berbaring dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi. (Mereka berkata), ‘Ya Tuhan, tiadalah Engkau menciptakan ini semua, dengan sia2. Maha Suci Engkau, peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imran [3]:190-191).
Ayat ini menyuruh umat Islam merenungi fenomena di alam semesta. Tujuannya, agar bertambah keimanan di dada hambaNya setelah ia sadar hebatnya kuasa Allah SWT yang mengatur alam.
Rasul SAW dalam Hadis mengatakan, “Merenung sesaat lebih besar nilainya daripada amal2 kebajikan yang dikerjakan 2 jenis makhluk (manusia dan jin).” (HR Ibnu Majah). Artinya, Allah SWT lebih menghargai orang bertafakur dan menyadari hakikat dirinya sebagai makhluk dan Allah sebagai Khalik. Ketimbang seseorang yang sibuk beribadah tanpa menyadari untuk siapa ia melakukan itu.
Umat Islam disuruh bertafakur, merenungi ciptaan Allah dan dilarang memikirkan Zat Allah SWT. Kerdilnya ilmu yang dimiliki manusia tidak akan sanggup membahas Zat Allah yang Maha Luas. Alquran menegaskan, berpikir dan merenung tentang kejadian alam dengan fenomena2nya ini dapat dijadikan adanya sang Pencipta, yaitu Allah SWT.
Dalam konsep kaum sufi , tafakur tidak hanya sekadar tahu dan menetapkan adanya Tuhan, tetapi lebih dari itu, mencari nilai dan rahasia dari objek yang sedang dipikirkan dan di renungkan sebagai makhluk yang di ciptakan Tuhan tanpa sia2.
Filsuf Islam abad ke-20 Sayid Hussein an-Nasr mengatakan, kosmologi sufi bertalian dengan aspek2 kualitatif dan simbolik benda2, bukan dengan aspek2 kuantitatif benda2. Ia menangkap, ada cahaya di atas benda2 sehingga, benda2 itu jadi objek perenungan (tafakur) yang bernilai, mudah dimengerti serta jernih, dan hilang kekaburan serta ke gelapannya.
Dalam Alquran, ada kata2 yang bermakna sama yang memerintahkan manusia bertafakur. Di antaranya, kata-kata naiara (QS 50: 6-7) dan QS 86: 5-7), tadabbara (QS 38: 29 dan QS 47: 24), faqiha (QS 17: 44), tazakkara (QS 16: 17) dan QS 39: 9) jahirna (QS 21: 78-79), dan aqala (QS 8: 22 dan QS 16: 11-12).
Selain itu, ada sebutan2 yang memberi sifat bagi yang berpikir, yaitu ulu al-albab yaitu orang2 yang berakal (QS 12: lll dan QS 3: 190), ulu al-‘ilm atau orang2 berilmu (QS 3: 18), ulii an-nuha atau orang2 berakal (QS 20: 128), dan ulii alabsar atau orang2 yang mempunyai penglihatan (QS 24: 44).
Kata ayat (tanda) di Alquran biasanya dihubungkan dengan perbuatan berpikir/bertadabur (QS 3: 41 dan QS 19: 10). Biasanya, ayat yang menerangkan fenomena2 alam, akan dipakai kata2 ayat sebagai indikasi untuk bertafakur. Para mufassir menyebut ayat ini dengan istilah ayat kauniyah.
Ayat kauniyah membahas kejadian alam (kosmos) yang mengindikasikan ada yang terkandung di balik tanda itu. Tanda itu harus diperhatikan dan direnungkan agar tahu arti yang terkandung di dalamnya. Jadi, tafakur/memikirkan dan merenungkan kosmos ini anjuran yang jelas dan tegas dalam Alquran.
Menurut kaum sufi , bertafakur itu jalan memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dalam arti hakiki. Imam al-Ghazali mengatakan, ini yang diwadahi tasawuf untuk merenung dan bertafakur, yang jadi jalan yang membawa pada kebenaran hakiki. Al Ghazali mengatakan, pemahaman, pemikiran, dan perenungan itu dari hati yang berpusat di dada, bukan dilakukan melalui akal yang berpusat di kepala.
Pendapat ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah al-Hajj ayat 46, surah at-Taubah ayat 93, dan surah Muhammad ayat 24 yang mengatakan, alat bertadabur itu hati, bukan akal. Menurut al-Gazali, hati laksana cermin yang dapat menangkap sesuatu yang ada di luarnya.
Untuk dapat menangkapnya dengan baik, hati harus bersih dari kotoran dan noda. Maksudnya, hati harus bersih dari berbagai macam dosa. (Agung Sasongko; Bahan dari : Dialog Jumat Republika dan https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/18/12/05/pj80sm313-tafakur-langkah-menambah-iman)-FatchurR *