Sebatang Kara (5)
Rini menelponku, ia menghentikan les privat Bahasa Inggris Andre, ia anggap Andre mampu dan bisa mengembangkan kemampuan bahasa Inggrisnya dengan sahabatnya mahasiswa UPI yang juga mengajar Bahasa Inggris di SMP swasta. Bila mereka berdua, tidak satu patah katapun selain bahasa Inggris.
Dengan cara itu, keduanya dapat berlatih sambil ngobrol. Kadang mereka berdua mendengarkan siaran rasio BBC dan berdiskusi tentang berita radio. Rini yang mengamati bakat Andre dalam menguasai bahasa, mencoba memasukan ke Goethe Institut, lembaga kebudayaan Jerman yang membuka kursus bahasa Jerman. Andre masuk ke tingkat dasar, Grundstuffe Ein.
Letak tempat kursusnya di jalan RE Martadinata, agak jauh juga dari Wiyata. Andre harus turun di jalan Aceh dan berjalan 300an meter untuk sampai ke gedung lembaga itu. Tapi pulangnya ia tidak terlalu jauh, naik angkot 1x sampai perempatan jalan Pasir Kaliki dan berjalan 150an meter.
Ketika aku ke Bandung menghadiri pernikahan sahabat, aku sempatkan menengoknya, tapi ia belum pulang dari kursus bahasa Jerman dan aku tunggu di ruang tamu asramanya. Ketika sedan merah berhenti di halaman asrama aku melihat Andre keluar dari mobil dan turun ke asrama, ketika lewat dekatku kutegur dia, Andre ! mendengar suaraku ia terkejut dan menoleh kearah ku.
“Eh Mama”, katanya riang, menghampiriku dan duduk di kursi di sebelahku. “Siapa tu Dre?”, tanyaku.
“Teman Mah, Andi. Ia kelas Zwei, tapi kadang2 ia menungguiku dan kami bersama pulang”, katanya menjelaskan. Kami mengobrol, membicarakan kemajuan kursusnya.
“Enak ya mah bahasa Jerman itu”, katanya
“Enak bagaimana?”, tanyaku. “Seperti bahasa Sunda, tegas jelas pengucapannya”, katanya.
“Tapi lumayan kasus2nya, ada Dativ, Akusativ, banyak lagi”, katanya menjelaskan.
“Pokoknya, bahasa Jerman itu harus hati2, ini jenis laki2 apa perempuan, apa banci. Seperti belajar tiga bahasa jadi satu”, tambahnya.
“Andre mau di coba di Grundstuffe Zwei, mah”, katanya. “Apa itu Dre?”, tanyaku gak mengerti
“Kelas dua Mah, kalau Andre bisa mengikuti, Andre bisa terus di kelas Zwei, Mah”, katanya senang.
“Andre bisa satu kelas dengan Andi, jadi bisa pulang sama2 terus. Hehehe.”, katanya.
“Lha berangkatnya?”, tanyaku.
“Berangkatnya Andi dari tempat kerjanya di kota. Jadi Andre tetap harus berangkat sendiri”, katanya.
“Mah?”, katanya. “Ya?”, tanya saya.
“Banyak orang baik ya Mah. Sering kali Andre tidak bayar angkot. Ada penumpang lain yang mbayarin, atau kadang supirnya tidak mau dibayar”, katanya.
“Syukurlah Dre, banyak orang rutin berbuat baik tiap hari. Semacam kebiasaan, kalau tidak berbuat baik atau bersedeqah satu hari saja, mereka menyesal dan malamnya sulit tidur karena menyesal”, kataku.
“Dre, ayo makan siang, ini saatnya makan siang”, ajakku.
Tapi Andre tidak berbicara. Ia diam saja. “Kenapa Dre?”, tanyaku. Ia tidak menjawab.
“Kamu sudah makan?”, tanyaku lagi. Ia menggeleng. “Oh, kamu puasa ya?”, selidikku. Ia mengangguk.
Hari ini bukan Senin, bukan Kamis, bukan pula hari2 Ayyamul Bidh.
“Kamu puasa Daud, ya Dre”, aku duga dan ia mengangguk. Subhanallah. Anak semuda itu berpuasa Daud, dadaku rasanya melambung, “Ya, Allah, telah kau berikan anak yang baik itu kepadaku. Terima kasih Allah”, seruku dalam hati.
“Dre, puasa Daud itu puasa yang paling utama diantara segala puasa sunnah”, ia mengangguk.
“Tapi orang yang berpuasa Daudi itu paling sulit disembunyikan. Akhirnya orang sekelilingmu akan tahu kalau kau biasa berpuasa Daud”, lanjutku.
“Tapi kau benar, sebaiknya ibadah2 sunnah itu tak diketahui orang lain. Kau tahu sebabnya?”, tanyaku.
“Ya Mah, agar ibadah kita bersih dari Riya”, jawabnya.
“Ya, Riya itu juga bisa jadi syirik khafi, mengotori ibadah kita”, aku membenarkan.
“Pernahkah kau mendengar kisah Daud bin Abi Hidun?”, tanyaku.
“Belum Mah, bagaimana kisahnya”, ia selalu antusias kalau saya ceritakan kisah2 jaman dahulu.
“Ia puasa sunnah 40 tahun tanpa diketahui oleh istrinya”, lanjutku
“Bagaimana bisa? Bagaimana cara ia merahasiakannya?”, tanyanya keheranan.
“Daud bin Abi Hindun itu pedagang sutera. Setiap hari, ia berangkat pagi2 ke pasar dan pulang pada sore harinya. Istrinya membawakannya bekal makanan dari rumah”, lanjutku.
“Ia bawa makanan Mah?”, tanyanya keheranan.
“Ya, tetapi makanan itu disedekahkan di jalan. Lantas ia berbuka di rumah, makannya bareng dengan keluarga”, kataku lebih lanjut. “Luar biasa, 40 tahun lamanya”, serunya kagum.
“Istrinya menyangka Daud makan di pasar. Rekan2 pedagang menyangka Daud makan di rumah”.
“Jadi, Mamah makan dengan bu Rini saja ya. Mudah-mudahan ia tidak sedang puasa juga”, gurauku.
“Kau minta oleh-oleh apa untuk buka nanti, Dre”, tanyaku.
“Pepes oncom dan sambal leunca ya Mah. Terima kasih”, jawabnya sambil tersenyum. (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR
Rini menelponku, ia menghentikan les privat Bahasa Inggris Andre, ia anggap Andre mampu dan bisa mengembangkan kemampuan bahasa Inggrisnya dengan sahabatnya mahasiswa UPI yang juga mengajar Bahasa Inggris di SMP swasta. Bila mereka berdua, tidak satu patah katapun selain bahasa Inggris.
Dengan cara itu, keduanya dapat berlatih sambil ngobrol. Kadang mereka berdua mendengarkan siaran rasio BBC dan berdiskusi tentang berita radio. Rini yang mengamati bakat Andre dalam menguasai bahasa, mencoba memasukan ke Goethe Institut, lembaga kebudayaan Jerman yang membuka kursus bahasa Jerman. Andre masuk ke tingkat dasar, Grundstuffe Ein.
Letak tempat kursusnya di jalan RE Martadinata, agak jauh juga dari Wiyata. Andre harus turun di jalan Aceh dan berjalan 300an meter untuk sampai ke gedung lembaga itu. Tapi pulangnya ia tidak terlalu jauh, naik angkot 1x sampai perempatan jalan Pasir Kaliki dan berjalan 150an meter.
Ketika aku ke Bandung menghadiri pernikahan sahabat, aku sempatkan menengoknya, tapi ia belum pulang dari kursus bahasa Jerman dan aku tunggu di ruang tamu asramanya. Ketika sedan merah berhenti di halaman asrama aku melihat Andre keluar dari mobil dan turun ke asrama, ketika lewat dekatku kutegur dia, Andre ! mendengar suaraku ia terkejut dan menoleh kearah ku.
“Eh Mama”, katanya riang, menghampiriku dan duduk di kursi di sebelahku. “Siapa tu Dre?”, tanyaku.
“Teman Mah, Andi. Ia kelas Zwei, tapi kadang2 ia menungguiku dan kami bersama pulang”, katanya menjelaskan. Kami mengobrol, membicarakan kemajuan kursusnya.
“Enak ya mah bahasa Jerman itu”, katanya
“Enak bagaimana?”, tanyaku. “Seperti bahasa Sunda, tegas jelas pengucapannya”, katanya.
“Tapi lumayan kasus2nya, ada Dativ, Akusativ, banyak lagi”, katanya menjelaskan.
“Pokoknya, bahasa Jerman itu harus hati2, ini jenis laki2 apa perempuan, apa banci. Seperti belajar tiga bahasa jadi satu”, tambahnya.
“Andre mau di coba di Grundstuffe Zwei, mah”, katanya. “Apa itu Dre?”, tanyaku gak mengerti
“Kelas dua Mah, kalau Andre bisa mengikuti, Andre bisa terus di kelas Zwei, Mah”, katanya senang.
“Andre bisa satu kelas dengan Andi, jadi bisa pulang sama2 terus. Hehehe.”, katanya.
“Lha berangkatnya?”, tanyaku.
“Berangkatnya Andi dari tempat kerjanya di kota. Jadi Andre tetap harus berangkat sendiri”, katanya.
“Mah?”, katanya. “Ya?”, tanya saya.
“Banyak orang baik ya Mah. Sering kali Andre tidak bayar angkot. Ada penumpang lain yang mbayarin, atau kadang supirnya tidak mau dibayar”, katanya.
“Syukurlah Dre, banyak orang rutin berbuat baik tiap hari. Semacam kebiasaan, kalau tidak berbuat baik atau bersedeqah satu hari saja, mereka menyesal dan malamnya sulit tidur karena menyesal”, kataku.
“Dre, ayo makan siang, ini saatnya makan siang”, ajakku.
Tapi Andre tidak berbicara. Ia diam saja. “Kenapa Dre?”, tanyaku. Ia tidak menjawab.
“Kamu sudah makan?”, tanyaku lagi. Ia menggeleng. “Oh, kamu puasa ya?”, selidikku. Ia mengangguk.
Hari ini bukan Senin, bukan Kamis, bukan pula hari2 Ayyamul Bidh.
“Kamu puasa Daud, ya Dre”, aku duga dan ia mengangguk. Subhanallah. Anak semuda itu berpuasa Daud, dadaku rasanya melambung, “Ya, Allah, telah kau berikan anak yang baik itu kepadaku. Terima kasih Allah”, seruku dalam hati.
“Dre, puasa Daud itu puasa yang paling utama diantara segala puasa sunnah”, ia mengangguk.
“Tapi orang yang berpuasa Daudi itu paling sulit disembunyikan. Akhirnya orang sekelilingmu akan tahu kalau kau biasa berpuasa Daud”, lanjutku.
“Tapi kau benar, sebaiknya ibadah2 sunnah itu tak diketahui orang lain. Kau tahu sebabnya?”, tanyaku.
“Ya Mah, agar ibadah kita bersih dari Riya”, jawabnya.
“Ya, Riya itu juga bisa jadi syirik khafi, mengotori ibadah kita”, aku membenarkan.
“Pernahkah kau mendengar kisah Daud bin Abi Hidun?”, tanyaku.
“Belum Mah, bagaimana kisahnya”, ia selalu antusias kalau saya ceritakan kisah2 jaman dahulu.
“Ia puasa sunnah 40 tahun tanpa diketahui oleh istrinya”, lanjutku
“Bagaimana bisa? Bagaimana cara ia merahasiakannya?”, tanyanya keheranan.
“Daud bin Abi Hindun itu pedagang sutera. Setiap hari, ia berangkat pagi2 ke pasar dan pulang pada sore harinya. Istrinya membawakannya bekal makanan dari rumah”, lanjutku.
“Ia bawa makanan Mah?”, tanyanya keheranan.
“Ya, tetapi makanan itu disedekahkan di jalan. Lantas ia berbuka di rumah, makannya bareng dengan keluarga”, kataku lebih lanjut. “Luar biasa, 40 tahun lamanya”, serunya kagum.
“Istrinya menyangka Daud makan di pasar. Rekan2 pedagang menyangka Daud makan di rumah”.
“Jadi, Mamah makan dengan bu Rini saja ya. Mudah-mudahan ia tidak sedang puasa juga”, gurauku.
“Kau minta oleh-oleh apa untuk buka nanti, Dre”, tanyaku.
“Pepes oncom dan sambal leunca ya Mah. Terima kasih”, jawabnya sambil tersenyum. (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR