Sebatang Kara (6)
Rini mengabariku seperti dugaannya, Andre maju pesat di Goethe. Ia khusus diajari dialek dan slank Bahasa Jerman. Ketika aku menghadiri acara dari kampus di Jakarta, kuperlukan singgah ke Bandung dengan KA Parahyangan. Mengunjungi Wiyata Guna paling praktis menggunakan KA.
Sesungguhnya, lewat jalan pintas melalui perkampungan penduduk, dari setasiun ke Wiyata Guna tidak sampai 20 menit berjalan kaki. Tapi aku pilih naik Taxi. Aku beli tiket pulang pergi dari setasiun Gambir, khusus untuk menengok Andre.
“Mah, Andre sering dipanggil oleh Herr Baker ke ruangannya”, katanya.
“Siapa itu?”, tanyaku.
“Ia salah satu pimpinan Goethe”, jawabnya.
“Lalu, mengapa?”, tanyaku lagi.
“Andre diajarin dialek Bavarian Mah”, jawabnya.
“Memang beda, Dre?”, aku bertanya.
“Ya lebih kental, Mah”, jawabnya.
“Bahasa Jerman itu seperti disini. Ada bahasa Sunda resmi, seperti dipakai di Bandung, ada Sunda Garut, Sunda Sukabumi, Tasik, Bogor, Banten, atau Cirebon. Semua Sunda, tapi beda2”, jelasnya lagi.
“Herr Baker bangga akan Bavarian, ia menyebut: Bayern uber alles”, katanya.
“Apa itu artinya, Dre?”, tanyaku
“Bavaria diatas adalah segalanya”, jawabnya.
“Nicht Deutsch, wenn es nicht Bayern ist, ia ngomong kepada Andre”, sambungnya.
“Waduh, kamu banyak teman ya disana”, kataku.
“Siapa lagi teman-temanmu orang Jerman?”, tanyaku
“Ada lagi Frau Sonya, Mah”, katanya
“Ia sering ngajari main piano”, katanya.
“Piano? Kamu bisa main piano?”, tanyaku yang se-umur2 belum pernah menyentuh piano.
“Ya, mula2 aneh juga ya Mah, di tekan kok bunyi. Makin ke kanan makin tinggi nadanya”, katanya lagi.
“Lalu kamu bisa lagu apa saja”, tanyaku.
“Kebanyakan sih klasik, Mah. Kemarin Andre ngapalin Blue Donau”, katanya.
“Lho … itu kan lagu berat”, tanyaku.
“Kamu kan nggak bisa baca partitur”, sambungku.
“Iya mah, orang buta mana perlu partitur”, katanya.
“Seperti Andrea Bocelli, ia buta tapi nyanyi di konserto besar”, ia menjelaskan.
“Kau gak ingin seperti Bocelli atau Steve Wonder?” pancingku, rekamannya beredar di grup WA teman2ku
“Wah tidak mungkin, Mah. Suara tenor mereka dua octave lebih, jernih dan panjang nafasnya”. Katanya.
“Suaraku tidak sebagus mereka”, katanya.
Sejenak hening. Kami masing2 menerawang dengan pikiran masing2. Aku kagum dengan bakat anak ini dan tangan Tuhan yang menemukan mutiara terpendam ini. Aku bersyukur mempertemukan Andre dengan Rini Saptarini, yang all-out membantunya.
“Mah?”, katanya memecah keheningan.
“Kalau ingat dulu Andre malu sama Allah, mau minta mati”, katanya pelan.
“Ah kau kan masih kecil”, kataku menghibur.
“Nasibku masih jauh lebih beruntung dari Helen Keller”, bisiknya.
“Siapa itu Dre, kok Mamah rasanya pernah dengar”, tanyaku.
“Selain buta seperti Andre, ia juga tuli, Mah. Tapi ia dibimbing guru pribadinya bisa jadi penulis, aktivis politik dan dosen. Nggak kebayang betapa berat dan kerasnya ia belajar. Ia raih penghargaan2. Ia sumber inspirasiku. Ia menikmati semua dengan hati, Andre masih bisa menikmati lewat telinga”, katanya bersemangat.
“Andre lebih beruntung dari teman2 yang sejak lahir sudah buta. Aku ingat warna laut, warna daun kelapa, aku ingat warna kaos kesayanganku, ternyata itu warna merah, warna kaos klub sepak bola Inggris”, katanya lagi.
“Andre beruntung ingat betul wajah ibu Andre”, sambungnya.
“Tapi, Andre gak ingat wajah Ayah, Andre hanya melihat punggung Ayah, waktu berangkat ke laut”.
“Rasanya Allah sengaja mengambil mataku, tapi mengembalikannya berilpat-lipat kepada telinga dan ingatanku”, katanya lagi.
Aku terdiam, anak muda ini tinggi kadar tawakalnya dan hanya bisa menimpali,
“Ya Dre, kadang boleh jadi kita membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kita, dan boleh jadi (pula) kita menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagi kita”, kataku.
“Hanya Allah mengetahui, sedangkan kita tidak mengetahui”, lanjutku.
Kami diam. Ia tidak tahu aku memperhatikannya. Kulitnya yang agak gelap, rambut yang ikal, tubuh langsing kini cukup tinggi. Ia bukan lagi seperti Andre yang kutemukan 10 tahun lalu. Andre sosoknya dewasa, tapi hatinya jauh lebih dewasa dan bijak. Dan benar apa yang dikatakannya, Tuhan mengambil penglihatannya, tapi mengembalikannya kepada pendengaran dan kemampuan otaknya”.
Tiba-tiba ia berkata, “Mah, Frau Sonya Baum, besok mengajakku membuka dan menyetel pusaka Goethe Bandung”, katanya.
“Apa itu Dre?”, tanyaku penuh keheranan.
“Peninggalan missionaris Jerman, sebuah Stradivarius”, katanya. (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR