Puasa 20 Jam Sahur Di Arab Dan Buka Di Paris
(republika.co.id)-Pernahkah Anda berkhayal punya banyak dan ‘mengakali’ puasa dengan uang Anda itu? Saya pernah, waktu kecil tentunya. Bukan sekadar berkhayal, melainkan membicarakan dengan teman2. Maklum, namanya anak2.
Dalam pikiran saya dan teman2 saat itu, orang kaya bisa sahur di tempat yang imsyaknya berakhir lebih lama, dan berbuka di tempat maghribnya lebih cepat. Tak terpikir letihnya menempuh perjalanan jauh untuk ‘akal-akalan’ itu. Ya, namanya anak2.
Tapi khayalan2 itu kini terwujud. Bukan karena saya kaya, melainkan karena harus memenuhi undangan teman. Tapi, tidak persis seperti bayangan saya dulu, melainkan sebaliknya. Saya sahur di tempat yang imsaknya lebih cepat, dan berbuka di daerah yang berbukanya lebih lama.
Ceritanya, saya diundang ke Paris seorang rekan bulan lalu. Karena mendadak dan saya tak bisa memenuhi tenggat pengurusan visa, maka undangan itu diundur. Alhasil, kesempatan kedua itu datang saat Ramadhan.
Awalnya saya hendak menolak karena beragam alasan pribadi yang sulit diungkapkan, namun akhirnya tak punya alasan untuk tidak memenuhinya.
Saya berangkat Kamis (16/5) pukul 00.40 dini hari WIB ke Doha, Qatar. Saya sahur pukul 06.30 WIB di atas pesawat. Itu berdasar pemberitahuan pramugari. Yang saya ingat, pesawat mulai memasuki Laut Arab. Pukul 11.20 WIB, setelah transit 2 jam, saya melanjutkan perjalanan dari Doha ke Paris yang perlu waktu 6 jam.
Tiba di Paris, saya disambut cuaca dingin sekitar 16 derajat Celcius, plus informasi bahwa waktu berbuka di sana adalah pukul 21.27 atau Jumat (17/5) dini hari pukul 02.27 WIB! Berarti, saya harus berpuasa sekitar 12,5 jam di pesawat ditambah 7,5 jam di Kota Paris yang dingin. Alamak
Tapi, saya kemudian teringat membaca coretan ibu rumah tangga asal Indonesia yang tinggal di Norwegia dan berpuasa selama 19 sampai 20 jam. Ia beserta keluarganya dapat menjalankannya dengan baik. Malu rasanya untuk tidak berpuasa, meskipun saya dapat menggunakan opsi sebagai musafir untuk itu. Jadilah dengan bermodal doa, saya mencoba membulatkan tekad untuk tetap berpuasa.
Dengan kondisi lelah perjalanan jauh, saya mendarat di Terminal 1 Bandara Charles de Gaulle, Paris pukul 13.15. Dan pukul 14.00, saya menunggu Roissybus dari bandara ke Opera Garnier, gedung pertunjukan opera di Paris. Tiket bus saya beli di vending machine: 12 euro. Sekitar 5 menit, saya sudah duduk di bus yang mirip dengan Transjakarta ini.
Butuh 30 menit sampai di Opera. Saya pilih bus agar bisa me-lihat2 Paris. Petunjuk arah yang saya terima di Opera, saya sambung naik Metro, kereta bawah tanah di Paris, ke tempat saya menginap di Boulougne Billancourt, salah satu kotamadya, sebut saja seperti itu, di pinggiran barat Kota Paris. Kalau patokannya Menara Eiffel, tempat saya menginap di Boulougne Billancourt berjarak 6,8 km.
Mumpung di Opera, saya berfoto dulu di sekitar bangunan yang diarsiteki Charles Garnier yang selesai (1875). Dengan bantuan google maps, saya ke stasiun Metro menuju Boulougne. Cukup menguras tenaga karena saya harus berjalan turun naik tangga mencapai jalur Metro no. 9 yang harus saya naiki.
Dengan satu tas gendong dan koper kecil, turun naik tangga Metro cukup merepotkan. Tapi tak ada pilihan untuk menghemat ongkos. Sekitar 30 menit atau pukul 16.00 waktu Paris, saya tiba di hotel tempat menginap. Lelah, lapar, dan haus, tapi tanggung. Ada 5,5 jam untuk mencapai waktu berbuka.
Alhamdulillah, tempat saya menginap dekat masjid. Saya akan menunaikan Shalat Ashar di sana. Hanya 3 menit jalan kaki, saya tiba Mosquee l’Olivier di Jalan Allée El-Ouafi-Boughera–nama atlet lari maraton Prancis di Olimpiade 1928. Sayangnya, saya terlambat. Saat tiba, shalat Ashar usai. Tapi tak apa, yang penting saya bisa beribadah di masjid pertama yang saya kunjungi di Paris.
Masjid ini punya 16 shaf, satu shaf bisa menampung 20 orang. Jangan bayangkan masjid ini seperti di Indonesia. Tak ada kubah atau yang mencirikan masjid. Hanya bangunan biasa, tapi bersih di dalamnya. Untuk ambil wudhu, di basement. Disediakan sandal bersih bagi jamaah yang menggunakan sepatu.
Seusai shalat, saya coba bertahan lebih lama, mencari orang yang mungkin bisa berbahasa Inggris untuk diajak bicara. Sayang, saya tak menemukannya. Alhasil, saya keluar ke ber-jalan2 melihat area di sekeliling masjid dan kembali ke penginapan mencoba beristirahat.
Sayangnya, karena terlalu lelah, mata saya malah sulit terpejam. Terlebih saya tak mau kehilangan momen berbuka puasa di masjid. Kali ini, saya membidik Grande Mosquée de Paris, atau Masjid Agung Paris. Saya ingin melihat suasana berbuka di masjid raya ini.
Sekitar 1,5 jam sebelum berbuka saya berangkat. Menurut perhitungan google, saya butuh 40 menit menggunakan Metro ditambah jalan kaki. Singkat cerita, setelah sempat salah masuk jalur dan kebingungan cari akses masuk, sampai kaki saya ke depan pintu masjid yang beralamat di 2 bis Place du Puits de l’Ermite, 75005 Paris.
Bayangan saya suasana berbuka dipenuhi umat muslim (karena ini masjid agung) ternyata beda. Relatif tak banyak umat muslim berbuka. Dalam hitungan saya, hanya 40-an orang berbuka, memanfaatkan makanan gratis dari pengurus masjid. Ada susu, roti, dan sup kacang. Menurut pantauan saya, jamaah nya warga keturunan Afrika, Arab, dan Turki dari wajah dan bahasa yang mereka gunakan.
Waktu berbuka tiba, tak lama setelah saya tiba. Alhamdulillah, saya bisa beribadah puasa sepanjang itu dengan kondisi tubuh lelah setelah perjalanan jauh. Belum lagi melawan udara berangin dingin 15°C. Maaf, saya bukan warga Puncak, Bogor yang terbiasa dingin. Berbekal air putih, Kurma Sukari yang saya bawa dari Jakarta, serta omelet dan kentang dari pesawat, saya berbuka dengan nikmat.
Penerangan masjid temaram membuat suasana tak cukup nyaman. Ditambah kesulitan berkomunikasi karena saya tak bisa berbahasa Prancis atau Arab, saya tak hendak lama2. Setelah shalat maghrib, saya pulang. Jalan kaki 800 mt ke stasiun Gare d’Austerlitz, menuruni puluhan anak tangga sebelum naik ke Metro jalur 10. Setelah berganti Metro jalur 9, saya tiba di penginapan pukul 23.20.
Alhamdulillah, pengalaman puasa pertama 20 jam bisa dilalui dengan baik. Lelah, kantuk tak tertahan. Saatnya beristirahat. Doa dipanjatkan, semoga puasa esok harinya berjalan dengan lebih lancar dan baik. Aamiin. (Red : Israr Itah; Bahan dari : https://www.republika.co.id/berita/ramadhan/puasa-journey/prv1qc348/pengalaman-puasa-20-jam-sahur-di-laut-arab-buka-di-paris)-FatchurR *