Kemampuan Indonesia Dalam Mendeteksi Corona
(disway.id-Semua Negatif; Selasa 18/2/2020; Oleh : Dahlan Iskan)-Banyak yang menjalani tes virus Corona di Indonesia. Yang di Surabaya 10 orang. Semuanya negatif, ujar Prof. Dr. Inge Lucida, direktur International Institute of Tropical Disease (ITD) Unair Surabaya.
Saya ikut penasaran. Mengapa tidak ada virus Corona di Indonesia. Padahal, semua negara Asia terkena. Sampai orang di luar negeri mengejek kita sebagai negara yang tidak mampu mendeteksinya.
Kemarin pagi, saya ke ITD Unair. Saya tahu Unair memiliki laboratorium penyakit tropis terbaik. Saya ditemui 2 profesor yang ahli virus. Yakni Prof. Dr. Ni Nyoman Tri Puspaningsih dan Prof. Dr. Inge Lucida.
Prof. Nyoman, Wakil Rektor I Unair dan Prof. Inge adalah direktur laboratorium penyakit tropis. Begitu virus Corona mewabah, Unair mengadakan kontak intensif dengan Jepang. ITD didirikan bersama dengan Jepang.
Setelah serangkaian pembicaraan Unair lantas berinisiatif beli 3 set Primer yang bisa dipakai memeriksa virus Corona. Belinya di Jepang. Jadi, teknik, dan sarana pemeriksaan Corona di Unair sama dengan di Jepang, ujar Prof. Inge.
Hasil pengetesan itu dites ulang di peralatan milik Kemenkes. Hasilnya sama, negatif. Yang dibeli itu bukan mesin, tapi Primer. Cairan tapi dalam keadaan kering, agar bisa dibawa ke negara lain. Mesin pemeriksanya, Unair lebih dulu memilikinya. Juga bantuan dari Jepang. Primer itu dimasukkan ke mesin. Lantas materi yang akan diperiksa dimasukkan ke dalamnya.
Lab Unair kerjasama dengan Kobe University. Ada 3 ahli dari Jepang di lab itu. Waktu beli senyawa itu Unair tidak sabar. Terlalu lama kalau harus dikirim lewat Fedex atau EMS. Prof. Inge mengirim seorang staf di ITD berangkat ke Kobe. Begitu tiba di Osaka, staf ini ke Kobe University. Setelah mengambil senyawa itu ia langsung kembali ke Surabaya.
Nah itu orangnya yang ke Jepang, ujar Prof. Inge sambil menunjuk utusan yang lagi bertugas di ITD. Prof. Inge mendapat gelar doktor di Kobe University.
Dia penduduk asli Unair. Ayahnyi dokter terkenal lulusan Unair. Ibunya apoteker dari kampus sama. 3 saudaranya juga dokter dari Unair. Hanya 2 yang bukan dokter, tapi juga apoteker dan sarjana ekonomi Unair. Yang sarjana ekonomi itu kini memiliki bisnis lab kesehatan yang juga sangat terkenal di Surabaya. Sekeluarga Unair semua.
Prof. Nyoman dikenal sebagai peneliti hebat bidang biokimia. Prof. Nyoman menemukan enzim untuk makanan ternak. Yang dulu pernah saya undang ke Kemen-BUMN mempresentasikannya. Gelar S2-nya dari ITB dan S3-nya dari IPB. Prof. Nyoman pernah terpilih sebagai dosen teladan nasional selama tiga tahun.
Saat ke ruang kerjanya saya melihat hasil-hasil penelitian bermacam virus di laptopnya. Prinsipnya virus itu punya kaki-kaki untuk memijakkan diri. Pijakannya sel di alat penafasan manusia. Setelah kaki-kaki virus memperoleh pijakan yang pas, barulah virus mengeluarkan penyakitnya.
Kalau saja tempat berpijak kaki-kaki itu tidak tepat sang virus tidak bisa berproduksi. Ibarat orang mau berak. Kalau kakinya tidak tepat di pijakan pupnya tidak bisa keluar.
Karena itu struktur virus harus diketahui. Kini struktur itu diketahui. Tanpa pijakan yang tepat virus tidak bisa berkembang. Maka yang akan ditemukan, obat yang bisa menipu virus. Yakni obat yang membuat pijakan yang persis diperlukan virus. Tapi itu pijakan palsu. Jadi virus tidak bisa mengeluarkan pup nya.
10 orang yang pernah diperiksa di lab Unair itu sebagian pasien RS. Sebagian lagi datang memeriksakan diri. Semua dicurigai menderita virus Corona. Hasilnya, bersih. Salah satunya dokter. Sang dokter seperti terkena flu. Putrinya baru pulang dari luar negeri. Maka muncul kekhawatiran tertular virus Corona.
Sang dokter memeriksakan diri ke lab Unair. Ternyata negatif. Sampai kini semua yang pernah diperiksa itu baik-baik saja. Senyawa yang dibeli dari Jepang itu cukup untuk memeriksa 100 orang. Hasil pemeriksaannya bisa diketahui dengan cepat, 5 jam kemudian. Itu karena tidak perlu antre.
Siapapun bisa memeriksakan diri ke sini, ujar Prof. Inge, yang sehari-harinya di Pusat Penelitian Penyakit Tropik di kampus C Unair itu. Tentu harus bayar, Rp 1 juta, ujarnya. 2 guru besar ini ikut penasaran, mengapa orang Indonesia tidak terkena virus Corona. Keduanya masih terus mencari jawabnya.
Tapi beliau tidak terlalu heran. Waktu Arab Saudi dilanda wabah virus MERS, Indonesia aman. Padahal, banyak jemaah haji yang ke Saudi. Ribuan jemaah haji yang diperiksa saat itu. Tidak ada yang terkena virus MERS, ujar Prof. Inge. Demikian juga saat Tiongkok dilanda virus SARS. _Indonesia nihil_.
Waktu ada wabah flu burung korbannya banyak. Saat itu Unair berjaya menemukan obat mencegah flu burung. _Sampai sekarang virus flu burung itu masih ada. Kita sering memeriksa ayam di pasar-pasar. Virus flu burungnya masih ada di ayam. Tapi tidak ada lagi yang kena flu burung, ujar Prof. Nyoman. Kita sudah kebal. Kekebalan tubuh untuk flu burung sudah muncul, ujarnya.
Prof. Nyoman lahir di Belitung. Ayah-ibunya asli Bali. Saat itu ortunya tugas di BRI Tanjungpandan. Karir sang ayah melejit di Jakarta. Semua orang BRI tahu beliau, I Wayan Patra, pencetus ide kredit usaha tani (1970-an). Beliau meninggal muda karena sakit ginjal. Setelah itu istri dan anak-anaknya pindah ke Bali. Prof. Nyoman sekolah sampai SMA di Denpasar, dan kuliah di Unair.
Walhasil, belum ada jawaban ilmiah soal penasarannya banyak orang itu. Hanya humoris yang langsung bisa menjawab, _virus itu tidak bisa masuk ke Indonesia karena perizinan disini sulit.!_
(dahlan iskan; Bahan dari : https://www.disway.id/r/839/semua-negatif)-FatchurR *