Info Daerah n Opini

PC Tangsel Enjoy go to Rangkasbitung by KRL-Acara Spontanitas Perkokoh Soliditas dan Solidaritas

(Penulis : Suradi-P2Tel Tangerang Selatan)

Acara spontanitas menembus batas.

Acara ini bertitel Enjoy go to Rangkasbitung by KRL didesain secara spontanitas oleh pengurus Cabang P2Tel Tangerang Selatan yang secara teritori termasuk dalam pemerintahan  provinsi Banten.

Wilayah ini memiliki potensi wisata daerah yang masih banyak belum dikenal oleh publik dan juga mempunyai rute perjalanan yang unik dan menarik yaitu melalui jalur perjalanan naik kereta api komuter (KRL).

Ikut dalam rombongan ini A. Yuri Gartina selaku KPC P2Tel Tangerang Selatan dan diselenggarakan pada Kamis, 6 Juni 2024.

Ada beberapa  stasiun KRL yang menjadi meeting point peserta yang terdiri dari bapak-bapak dan ibu-ibu antara lain stasiun Sudimara,  Rawa Buntu dan Serpong.

Untuk estimasi waktu perjalanan rute Rawa Buntu – Rangkasbitung ± 1 jam 30 menit.

Seperti yang telah diketahui bersama, kereta api Rangkasbitung Merak adalah layanan kereta api komuter yang dijalankan atau dioperasikan oleh KAI Commuter. PT KAI DAOP 1 Jakarta menetapkan tarif kereta api sebesar Rp 3.000 saja

Susana dalam KRL pun peserta semakin ceria dengan menikmati tempat duduk masing-masing sambil menembus batas kesibukan keseharian yang dijalani masing-masing kemudian saling canda dan cerita pengalaman serta toleh kanan dan kiri dengan pemandangan yang hijau dan hamparan tanah yang luas.

Keceriaan bernuansa fun & happy ini semakin memperkokoh soliditas para peserta. Setelah beberapa stasiun dilewatinya dan akhirnya tiba di stasiun yang menjadi tujuan yaitu stasiun Rangkasbitung .

Lebih kenal dan lebih dekat Rangkasbitung dan sekitarnya.

Untuk mengenal dan lebih dekat dengan Rangkasbitung maka setibanya di stasiun Rangkasbitung sasaran pertama yang dicari adalah kulineran  khas Rangkasbitung untuk menambah energi dan mengobati rasa penasaran para peserta akhirnya ke Warung Nasi Ka Oyo yang lokasinya tidak jauh dari stasiun Rangkasbitung.

Banyak sekali pengunjung yang makan di sana yang rasanya diterima di masyarakat Rangkasbitung. Para peserta menikmati menu soto, empal, dendeng dengan daging kerbau yang langka dijumpai di lokasi lainnya.

Museum Multatuli yang menginspirasi dan memotivasi generasi kini.

Hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari Stasiun Rangkasbitung, Museum Multatuli hadir yang didedikasikan  sastrawan terkenal, Multatuli, yang terkenal dengan novelnya “Max Havelaar.

Museum Multatuli adalah museum umum yang menempati bekas Wedana Rangkasbitung yang telah digunakan sejak tahun 1923. Kepemilikan Museum Multatuli dipegang oleh Pemerintah Kabupaten Lebak dan pengelolaannya diserahkan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lebak.

Menurut catatan sejarah ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama samaran ‘Multatuli’. Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti “‘Aku sudah menderita cukup banyak'” atau “‘Aku sudah banyak menderita'”; di sini, “aku” dapat berarti Eduard Douwes Dekker sendiri atau rakyat yang terjajah.

Max Havelaar adalah sebuah buku yang ditulis oleh Multatuli, yang juga dikenal dengan nama Eduard Douwes Dekker (1820-1887). Nama yang tak asing bagi siswa sekolah, karena nama tersebut tercantum dalam buku-buku pelajaran sejarah.

Dibangun bukan untuk mendewakan sang tokoh, Multatuli alias Eduard Douwes Dekker. Museum Multatuli menjadi penanda gugatannya terhadap kolonialisme Belanda serta pusat informasi tentang Rangkasbitung, Lebak, dan Banten.

Tiga monumen berupa patung Multatuli alias Eduard Douwes Dekker, Adinda, dan Saidjah menyambut siapa saja yang mengunjungi Museum Multatuli. Sejak September 2021, traveler akan disapa instalasi bubu, anyaman bambu untuk menangkap ikan khas Banten, lebih dulu di gerbang masuk. Instalasi bambu ini bersifat temporer.

Multatuli adalah tokoh yang menjadi nama museum. Dia pria kelahiran Amsterdam pada 2 Maret 1820. Dia menjabat sebagai aisten residen di Lebak, Banten. Multatuli tidak lama menduduki jabatan itu, cuma tiga bulan, mulai 21 Januari 1856 hingga 29 Maret 1856.

Multatuli memilih untuk mundur dari jabatannya itu karena tidak tahan dan kecewa berat terhadap penindasan dan kekejaman yang dilakukan penguasa lokal ataupun kolonial terhadap rakyat Banten.

Dari situlah muncul karyanya yang fenomenal dan mengguncang dunia, Max Havelaar. Roman satir itu terbit pertama kali pada 15 Mei 1960 dan menyuguhkan realitas masyarakat Lebak yang miskin di tengah kolonial dan feodalisme yang mengeruk keuntungan warga.

Sejak itu, Multatuli dianggap sebagai salah satu pelopor Belanda yang menentang sistem kolonialisme yang kejam.

Perpustakaan yang berjarak dua kilometer dari Stasiun Rangkasbitung ini diberi nama dari karakter dalam novel “Saidjah Adinda” karya Multatuli.

Memperkokoh solidaritas. Dalam kesempatan yang langka inipun dimanfaatkan untuk merajut silaturahim sebagai bagian dari memperkokoh solidaritas inter dan antar sesama pensiunan Telkom.

Adalah pak Iryanto yang sebelumnya aktif di Telkom Rangkasbitung saat ini menjalani masa purnabaktinya di Rangkasbitung bersama keluarganya yang secara teritori berada di Cabang P2Tel Serang.

Dengan  rasa bahagia pak Iryanto menyambut kedatangan rombongan P2Tel Tangerang Selatan. Ada hikmah dalam silaturahim ini selain memperkokoh solidaritas adalah memperpanjang usia yang berkah dan memperluas rezeki minimal rezeki nambah saudara terutama sesama pensiunan Telkom.

Saling mendukung pulangnya belanja oleh-oleh khas Rangkasbitung. Setelah keliling Rangkasbitung dan sekitarnya serta bersilaturahim maka rombongan bersiap kembali ke Tangerang Selatan.

Rekomendasi oleh-oleh khas Rangkasbitung  adalah gula aren batok. Jika dilihat sekilas, gula aren batok khas Lebak memang memiliki bentuk yang tidak jauh berbeda dengan gula aren pada umumnya.

Tetapi jangan salah, gula aren khas Lebak memiliki warna coklat yang lebih pekat dan juga tekstur yang lebih padat. Gula aren batok khas Lebak juga dikenal cukup tahan lama sehingga tidak heran jika banyak dipilih sebagai oleh-oleh bagi para wisatawan.

Selain itu ada oleh-oleh khas yang satu ini.

Emping melinjo dan keceprek tentu menjadi pilihan tepat yang bisa kamu bawa pulang saat berburu oleh-oleh khas Lebak Banten.

Sesuai dengan namanya, makanan yang satu ini memang menggunakan bahan utama melinjo. Melinjo yang telah dipisahkan dari kulitnya kemudian diolah dengan cara dipanggang, dipipihkan, kemudian dijemur. Berbeda dengan emping melinjo, dalam proses pengolahannya keceprek tidak harus dipipihkan.

Hidangan yang satu ini biasanya hanya dikeprek satu kali dan disajikan dengan cara digoreng maupun direbus. Tidak perlu khawatir, karena emping melinjo dan keceprek dijual dengan harga terjangkau serta dikemas dengan kemasan praktis dan menarik.

Opak juga dikenal sebagai salah satu oleh-oleh khas Lebak Banten yang banyak diburu oleh wisatawan. Opak khas Lebak Banten dikenal dengan teksturnya yang kering dan juga renyah.

Terdapat dua pilihan opak yang bisa kamu coba yakni opak yang menggunakan bahan dasar ketan dan juga opak yang menggunakan bahan dasar singkong. Makanan yang satu ini tidak hanya cocok dinikmati sebagai camilan tetapi juga sebagai pelengkap saat makan.

Selain teksturnya yang renyah, kamu juga dimanjakan dengan cita rasanya yang gurih dan lezat.

Testimoni menambah motivasi. 

Menurut testimoni dari perwakilan rombongan Wahyudiono dan Eko Yulianto yang turut serta dalam perhelatan berkesan ini,  menyampaikan rasa syukur dan bahagia bisa menikmati indahnya perjalanan ke Rangkasbitung naik KRL bersama teman-teman.

Selain mengenal potensi kulineran dan oleh-oleh daerah Rangkasbitung juga mengetahui sejarah perjuangan para pahlawan bangsa melalui museum Multatuli dan perpustakaan Saidiah Adinda.

Mari kita buat sejarah tanpa melupakan para pelaku sejarah. Telkom Jaya. P2Tel Sejahtera. Tangsel Rumah kita.

(Penulis : Suradi-P2Tel Tangerang Selatan)-FR *

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close