Tentu bukan anda
Bagaimana upaya memanjat Supaya selalu selamat, Bagaimana cara jatuh Supaya tidak mengaduh Kakekku yang amat cermat, Turunkan ilmu secara cepat (Taufiq Ismail). Adakah hal yang begitu penting dalam hidup kita, melebihi keselamatan? Agama mengajarkan perilaku agar manusia memperoleh keselamatan.
Ketika saya mau hijrah ke Jakarta 20an tahun lalu, nenek, kakek, ayah, paman, pakde, dan tetangga memberi saya sangu (bekal) slamet (selamat). “Tak sangoni slamet” (aku bekali kau selamat), kata mereka.Tiap kali saya pulang ke kampung, yang pertama-tama mereka tanyakan ialah apakah saya dalam keadaan “selamat”.
Pak Arno, salah seorang guru SMA saya, memberi saya petuah tentang empat “S” (sluman, slumun, sarwo, slamet). Intinya, bergaul di mana saja, dalam kelompok apa saja, orang harus berperilaku begitu rupa agar jangan lupa memperhitungkan upaya mencari selamat. Pinter itu perlu, tapi pinter yang membawa selamat. Kaya juga baik, asal kekayaan itu juga membikin kita selamat.
Miskin pun tak dicela, karena bukankah yang penting selamat? Kalau jasad dan jiwa selamat, harta bisa dicari. Ditambah moralitas Jawa bahwa hidup di dunia cuma sesaat, ibarat cuma orang mampir ngombe (singgah buat minum di kedai), sikap toleran terhadap kemiskinan dan mengutamakan keselamatan di dunia yang kelak akan tiba, menjadi lebih jelas lagi.
Selamat terletak di atas segalanya. Di depan gedung LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) itu ada jalan memotong ke arah kompleks perumahan menteri. Di jalan itu mangkal sejumlah kecil ojek. Satu di antara tukang ojek itu seorang kakek dari Blitar, Jawa Timur.
Saya sering menggunakan ojek kakek itu. Vespa tua itu tersuruk-suruk di jalan-jalan Jakarta, mengantar penumpang dengan mengutamakan keselamatan. “Biar pelan asal jalan, lambat tapi selamat,” kata kakek itu. Ketika baru kenal tiap kali mau berangkat dengan vespa itu saya selalu ditanya, apakah saya terburu-buru. Sebagai sesama Jawa, saya paham ke mana arah pertanyaannya.
Maka, biarpun saya harus mengejar waktu, saya selalu menjawab bahwa waktu saya cukup longgar “Soalnya, Pak,” kata kakek itu, “bagi saya yang penting itu selamat. Kalau penumpang terburu-buru pun akan saya minta kerelaannya untuk saya antar secara pelan asal jalan,” katanya.
Ketika sebuah Kopaja berhenti mendadak, dan kakek itu terpaksa menginjak rem secara mendadak juga, sehingga ujung ban depan vespanya hampir menempel bagian belakang Kopaja yang sembarangan itu, si kakek bukannya hanya tidak marah, melainkan malah merasa beruntung. “Untung tidak nabrak,” katanya kalem.
Ketika bus kota memepetnya di trotoar, dia cuma menggerutu: piye bus iki karepe (“apa maunya bus itu”). Rem diinjak dengan kalem. Dan kami berhenti. Tak ada makian apa-apa. Yang ada malah sikap syukur, karena bagaimanapun semuanya selamat.Kalau prinsip mengutamakan selamat di jalan raya itu terdengar oleh Polantas, kakek kita dari Blitar itu pasti mendapat hadiah istimewa.
Sekurang-kurangnya ucapan terima kasih. Prinsip “asal selamat” itu tak cuma berlaku di jalan raya. Dalam tiap langkahnya kakek itu menomorsatukan keselamatan. Ia memang bukan sembarang tukang ojek.Ia dulu pernah bekerja di kantor. Memang benar, ia hanya pegawai rendahan. Tapi pernah ia menolak perintah atasan untuk menandatangani kuitansi fiktif.
Semua pegawai sudah bertandatangan, dan mereka kebagian rejeki. Cuma si kakek dari Blitar yang tak mau.“Saya butuh uang seperti mereka juga. Tapi saya tak setuju caranya,” katanya. “Cara itu tidak membawa selamat,” tambahnya.“Lho, bukannya atasan yang menyuruh? Bukankah atasan menanggung semuanya?” kata saya.“Betul. Tapi atasan saya itu punya atasan.
Dan atasannya atasan saya juga punya atasan lagi. Raja yang paling kuasa pun punya atasan. Kepada atasan yang paling atas itu saya takut …,” katanya. Kakek kita dari Blitar ini mengingatkan saya pada sajak Kisah Kakek dan Cucu Keluarga Chameleon yang ditulis oleh penyair top kita, Taufiq Ismail. Chameleon alias bunglon memiliki kemampuan untuk secara alamiah menyelamatkan diri dengan cara mengubah warna kulit sesuai keadaan sekitar.
Dalam sajak itu, kakek bunglon menceritakan pengalamannya bahwa ia pernah ditangkap manusia. Dokter hewan yang bisa bicara bahasa bunglon telah memindahkan bintil-bintil di bawah kulit dan getah di ujung lidah si kakek, ke tubuh manusia “Dalam waktu dua musim hujan saja, sesudah bintil-bintil itu masuk ke kulit manusia, manusia di dunia ini sudah lebih sempurna cara berganti warna mereka. Dan lidah mereka, semakin bergetah keadaannya,” tulis Taufiq Ismail lagi.
Teman-teman kakek dari Blitar itu mungkin juga sudah menjadi bunglon. Mereka menyesuaikan warna “tubuh” mereka dengan warna “tubuh” sang atasan. Itulah “ilmu selamat” dalam pengertian mereka. Sebab, kalau mereka menolak, atasannya akan menganggap mereka klilip (penghalang) dan harus disingkirkan.
Nasib mereka kemudian akan sama dengan nasib kakek dari Blitar : terpental. Di sini kita berhadapan dengan dua fenomena: kakek dari Blitar dan kawan-kawannya. Sering kita harus memilih satu di antara keduanya. Ini pilihan susah. Dua-duanya punya justifikasi sebagai “ilmu selamat”.
Barangkali, umumnya kita adalah potret dari kawan-kawan kakek kita dari Blitar karena dua alasan. Pertama, kita umumnya lebih mengutamakan upaya penyelamatan jasad ketimbang roh. Kedua, kita diam-diam telah menukar kulit kemanusiaan kita dengan kulit bunglon. Kita semua, pendeknya, mungkin sudah jadi bunglon. (Wicaksono E Putro; sumber dari Mohammad Sobary, Kompas, 21 November 1991)-FR