Belajar bersyukur dari pengemis
Waktu itu saya menghadiri buka bersama di suatu perusahaan yg pendapatan pegawainya relatif tinggi. Saat tausiyah Ustadznya menyampaikan pengalaman seseorang, sebut saja Fulan, dan di bawah ini adalah penuturannya.
Suatu saat di akhir bulan saya mengantar istri dan ditemani anak belanja bulanan ke super market langganan. Setelah selesai dan memasukkan belanjaan ke mobil, istri saya yang berdiri agak jauh didatangi seorang wanita pengemis sambil menuntun anak kira2 berusia 6 tahunan.
Mereka lusuh, lalu menjulurkan tangannya minta sedekah, istri saya membuka dompet agak lama mencari sesuatu, akhirnya yang dicari ketemu yaitu uang seribu rupiah lusuh. Uang itu diserahkan kepada pengemis, namun walau sudah berterima kasih pengemis itu tidak beranjak dari tempatnya.
Kemudian dia menguncupkan jari2 tangannya dan diangkat di muka mulutnya, rupanya tanda dia lapar, namun istri saya tidak memperhatikannya, kemudian pengemis itu menguncupkan kembali jari2 tangannya dan diangkat ke depan mulut anaknya.
Yang terjadi istri saya mengangkat tangannya sebagai tanda seperti sedang mengusir sesuatu, rupanya itu tanda agar pengemis itu pergi, pergilah pengemis itu menjauh. Setelah itu istri saya mengajak anak kami untuk membeli burger yang kiosnya tidak jauh dari tempat parkir.
Sambil menunggu, saya pergi ke ATM untuk mengecek apakah gaji saya sudah masuk atau belum, ternyata transfer gaji dalam jumlah belasan juta telah masuk. Kemudian saya keluar dan teringat akan pengemis tadi, rupanya mereka masih berada di sana.
Saya panggil dan uang Rp 10.000 pindah tangan dari saya ke mereka, pengemis itu mengucapkan Hamdallah 3x dan diteruskan dengan mengangkat tangan berdo’a yang panjang untuk saya, kemudian mereka lari menuju ke warung, rupanya memang mereka tidak berbohong tentang rasa laparnya.
Ya Alloh, Ya Robb, saya tersentak dengan ucapan rasa syukur pengemis itu, saya baru sadar selama ini kalau menerima gaji yang jumlahnya ribuan kali dari jumlah uang yang pengemis tadi terima, di kala mata saya melihat deretan jumlah penerimaan yang belasan bahkan kadang puluhan juta per bula.
Tidak pernah terbersit sedikitpun keinginan untuk mengucap Alhamdulillah sebagai ungkapan rasa syukur terhadap pemberi rijki, apalagi membagikan sebagiannya kepada yang perlu dibantu dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan harkat dan martabat kehidupannya.
Sambil tertegun dan mata saya basah serta ulu hati seperti dihantam benda keras, tiba2 istri berada di sisi saya, dia tanya kenapa melamun, saya jawab “Saya mendapat pelajaran bersyukur dari pengemis”, istri saya tanya apa yang terjadi, saya sampaikan pengemis tadi saya kasih uang sepuluh ribu, kontan dia berucap “Apa ? Ngasih pengemis sepuluh ribu ? Besar amat”.
Hati saya makin remuk, Ya Alloh, saya jarang bersyukur, dan ternyata juga kesalahan berikutnya tidak pernah mendidik istri untuk punya hati ingin berbagi, ternyata dari ucapan reaksi atas berita bahwa saya memberikan uang sepuluh ribu rupiah, dia sangat kaget.
Padahal dia baru saja beli burger yang harganya lebih dari sepuluh ribu rupiah. Sambil pulang saya bertekad akan banyak brrsyukur atas kenikmatan yang dikaruniakan Alloh, termasuk mendidik anak istrinya agar pandai besyukur dan berbagi.
Kemudian ustadz di akhir tausiyahnya menyampaikan pesan untuk banyak bersyukur, tidak hanya dalam ucapan hamdallah, terutama untuk kenikmatan harta, maka bentuk syukurnya adalah menafkahkan dalam bentuk zakat dan sidkah kepada yang kurang beruntung.
Dia sampaikan sabda Rasul Saw “Manusia selalu mengatakan ini hartaku, ini hartaku, padahal yang jadi hartanya hanya 3 perkara yaitu yang dimakannya, yang lewat, dan yang dipakainya kemudian lapuk, dan  yang telah dinafkahkannya di jalan Alloh, selain dari itu akan meninggalkan atau ditinggalkan”. (Nanang Hidayat; dari grup FB-ILP)-FR