Bermenung-Membangun bahagia
Beberapa hari yang lalu Pak Sabar mengantar temannya yang pulang ke Jakarta dengan naik KA. Sesuai jadwal, KA itu berangkat jam 15.10. Dalam kalkulasi Pak Sabar, dia tidak bisa salat di masjid dekat rumah, karena sesampai di rumah (dari stasiun) pasti waktu salat di masjid berjamaah sudah lewat.
Ternyata jam 14.30 penumpang disuruh masuk ke ruang tunggu, termasuk teman P. Sabar itu. Maka Pak Sabar lalu pulang. Sesampai di rumah, dia mau salat di rumah, karena perasaan terlambat ke masjid. Saat itu baru sadar, dia belum terlambat salat di masjid, karena pulangnya lebih cepat dari perhitungan semula. Saat itu Pak Sabar kaget dan bahagia, bisa salat bersama di masjid.
Di hari lain Pak Sabar mau memberikan sedikit sumbangan rutin. Ketika diberikan, kata si penerima bulan itu Pak Sabar sudah memberi. Pak Sabar saat itu merasa, seakan mendapat uang, sebab uang itu bisa dibelanjakan untuk hal lain. Menemukan bahagia.
Demikianlah kalau menemukan kebaikan di luar dugaan itu membuat kita bahagia. Persoalannya, setelah menemukan kebahagiaan (baca : gembira, “hepi”) mungkin kita akan menemukan hal yang membuat kita tidak gembira, misalnya :
Jalanan becek (ketika sedang berjalan); macet; penuh polusi; kotor, ada yang sakit, melihat berita tidak mengenakkan, baik di TV maupun media sosial. Jadi rasa bahagia yang baru diterima, bisa jadi seketika menjadi sirna, kalah dengan rasa sedih, jengkel, dst.
Apa yang sebaiknya dilakukan? Pertama rasa bahagia yang kita temukan itu pertahankanlah selama mungkin, kita ingat dan nikmati terus rasa bahagia itu. Termasuk rasa bahagia ketika melakukan ibadah dan beramal baik.
Kedua kalau bisa rasa tidak bahagia (sedih, jengkel, dst) kita ubah jadi bahagia. Apa bisa? Bisa! Misalnya kalau nyetir dan jalanan macet, anggap saja itu saat beristirahat. Anda bisa melemaskan tangan dan kaki, atau ngobrol dengan yang lain. Kalau badan sakit, nikmati saja dan yakini itu bagian cara Tuhan YME mencopoti dosa kita. Banyak orang bisa mengubah hal yang tidak menyenagkan jadi bahagia.
Kalau tidak bisa mengubah hal yang tidak menyenangkan menjadi bahagia, ubahlah jadi biasa saja, bukan hal yang tidak menyenangkan. Atau sedapat mungkin hindari hal-hal yang membuat tidak bahagia itu. Kalau tahu jalanan akan macet, rusak, ya tidak usah pergi melewati jalan itu.
Kalau TV dan medsos membuat hati tidak nyaman, ya hindari saja mengikuti hal2 yang membuat tidak nyaman itu. Banyak kok acara TV yang membuat kita bahagia, misal tentang flora dan fauna, masak memasak dan kuliner, tentang mengelola keuangan, yang lucu-lucu dalam arti sebenarnya juga banyak.
Ketiga, dari waktu ke waktu coba cari kebahagiaan sebanyak dan sesering mungkin, hindari sebaliknya. Contoh : Kalau kita jalan pagi, amati jalanan, orang2, tanaman di kanan kiri jalan. Kita akan temukan banyak hal yang membuat bahagia. Misal anak kecil lucu, ada orang yang nampak sehat dan bahagia.
Banyak tanaman sedang berbunga atau berbuah, sangat cantik. Ada awan di langit berbentuk lucu2. Dan seterusnya, banyak hal-hal indah yang membuat kita bahagia. Jika ketemu hal yang tidak mengenakkan, hindari saja, misalnya : ketemu got yang kotor dan bau, orang yang sedang bertengkar, dst.
Jadi rasa bahagia itu bisa dibangun dengan menemukan rasa bahagia sebanyak mungkin dan dipertahankan selama mungkin. Sesedikit mungkin, sesebentar mungkin kita dihinggapi rasa tidak bahagia. Maka hasil akhir, kita akan selalu bahagia. (Widharto KS-2017; dari grup FB-ILP)-FR