Keberhasilan kakek berakrobat di dua loket bersamaan itu, patut dirayakan dan saya melangkah kearah selatan, Café Soerabaja. Café ini unik, karena ruang makannya di dua sisi dari setasiun Gubeng, di dalam dan di luar. Pada area di dalam, sekaligus ruang tunggu, dibatasi oleh pagar stainless tinggi.
Sehingga tidak bisa masuk ke steril area. Di dalam ada perangkat live music, organ. Saya tahu, harga di Café ini mahalnya berlipat, tapi tidak ada pilihan lain. Saya pesan Rawon, masakan khas Jawa Timur.
‘Tapi, nggak usah pakai dagingnya ya pak’, kata saya kepada pelayan. Ia tampak kebingungan.
‘Ya, kuahnya saja’, kata saya menegaskan.
‘Dagingnya diganti telor sepotong lagi ya pak?’, katanya menawarkan.
‘Tidak usah pak, sepotong saja cukup’, telor asin satu biji utuh sudah terlalu banyak bagi saya.
Rawon itu masakan peninggalan leluhur yang istimewa. Bumbu utamanya kluwek. Kluwek itu buah yang sangat beracun, namun di tangan simbah-simbok di desa diolah, dalam proses yang panjang. Dibiarkan membusuk ber-hari2, agar daging buah dan bijinya mudah dipisahkan. Biji kluwek direbus beberapa lama, dianginkan dan dipendam didalam abu dari bara api.
Kluwek bisa dibuat sambal pengganti terasi. Sayangnya, tidak semua kluwek itu sukses, ada yang gagal. Kluwek yang baik itu, bila kulit bijinya yang keras dipecah, zat didalamnya hitam dan lembek. Kalau warnanya masih kehijauan atau berjamur dan keras, ya gagal, jangan dipakai, ambil biji kluwek yang lain.
Di Jogja masakan yang menggunakan bumbu dasar Kluwek adalah Brongkos, Selain potongan daging, bahan dasar Brongkos adalah kacang tolo, yang mirip kacang hijau tapi sedikit lebih besar dan berwarna merah. Sedang di Jawa Timur ya Rawon itu.
Anehnya bumbu Kluwek itu menghilangkan sama sekali aroma daging. Bagi saya yang sensitif akan bau daging, ya hanya Rawon-lah masakan daging yang bisa saya nikmati. Bersambung………. (Sadhono Hadi; dari grup WA-VN)-FR
