Suka nyeker ketika memulung
Jakarta – Wahyudin ‘Mas Ganteng’, pemulung sejak SD untuk membiayai sekolahnya hingga kuliah sering nyeker saat memulung. Dia mendapat julukan anak gunung hingga disangka maling. “Saya suka dibilang anak gunung karena tidak pakai sandal. Jadi setiap mau pergi memulung dengan karung saya cuma pakai celana pendek pakai baju bekas,” ujar pemuda 21 tahun ini.
Hal itu dikatakan saat berbincang dengan detikcom di rumah sederhana milik orang tuanya, di Kampung Kalimanggis, Gang Lame, Jatisampurna, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (1/3/2013). Pertama kali ia memulung sampah di kampung tempat tinggalnya, 10 tahun lalu, saat kelas 4 SD. Saat itu, dia mengikuti jejak tetangganya, Ani dan anaknya Jery yang lebih dulu menjadi pemulung.
“Dari kampung-kampung saya ambilin gelas air mineral, setelah itu saya belajar dari bibi Ani, buat ngambil kaleng-kaleng bekas sama kertas bekas,” paparnya. Wahyudin menceritakan ketika itu dirinya masih belum mengetahui apa arti profesi pemulung sampai akhirnya remaja. Banyak orang di kampungnya mengasosiasikan pemulung dengan maling.
“Saya tahu ketika orang-orang di kampung saya sendiri yang meledek saya dengan bilang ‘Awas tukang pulung'” celoteh mahasiswa FE jurusan akuntansi Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA (Uhamka) ini.
Setelah mengetahui arti dari pemulung, perasaan risau sempat hinggap di dirinya. Sebabnya ketika itu, ada seorang pemulung yang masuk ke kampungnya dan langsung dipukuli oleh warga. “Saya sempat takut, tapi bibi Ani menenangkan kalau dia (pemulung yang dipukuli warga,red) memulung barang-barang yang masih dipakai. Tapi kalau kita memulung benar-benar sampah,” ujarnya.
Tak hanya dihampiri prasangka menjadi maling, Wahyu juga pernah kelaparan saat memulung. Hingga dirinya memakan makanan sisa makanan yang ditemukannya di sampah. “Saya nggak kuat lagi karena menahan lapar, tangan udah gemetaran karena saking laparnya,” tuturnya.
Wahyu juga mengaku pernah menangis saat memulung. Dia melihat teman-teman sebayanya tak perlu bersusah payah mencari nafkah saat sekolah. “Ya Allah kenapa begini banget, yang lain lagi main enak-enak di rumah, saya harus kaya gini. Di situ kebayang teman-teman sekolah,” kenang Wahyu sambil meneteskan air mata.
Tapi pengalaman tersebut tidak membuatnya menjadi putus asa. Rasa malu dan sedih itu ditelan sebagai pil pahit kehidupan. “Saat itu saya nggak cerita ke orang tua. Apa-apa saya tanggung sendiri karena itu pilihan saya, artinya saya tanggung segala risiko sendiri,” tandas Wahyu yang menunggu diwisuda menjadi sarjana ekonomi pada Desember 2013 nanti.
(nwk/nrl; http://news.detik.com/read/2013/03/01/173024/2183575/10/wahyudin-mas-ganteng-suka-nyeker-saat-memulung-hingga-disangka-maling?nd771104bcj)
Catatan : Upaya yang teguh dan disiplin, akan menghasilkan kepuasan walau prosesnya pahit; (FatchurR)