Khawatirlah dengan kemewahan
– Benarkah banyak wanita terjebak dalam prostitusi karena kemiskinan atau silau oleh kemewahan?
– Benarkah para hakim sulit ketok palu keadilan karena miskin atau tak berdaya oleh iming-iming kemewahan?
– Benarkah kemalasan beribadah terjadi karena sibuk mengatasi kemiskinannya ataukah menumpuk kemewahan?
– Benarkah para politisi suka berjanji palsu dan berkata dusta karena kemiskinannya ataukah mengejar kemewahan?
– Benarkah para pemimpin tidak sempat memikirkan kondisi rakyatnya karena sibuk mengatasi kekhawatiran masa depannya ataukah rakus dengan kemewahan ?
Berikut suatu kisah yg patut kita renungkan untuk mengurai pertanyaan2 itu :
Rombongan Abu Ubaidah bin Jarrah tiba di Madinah membawa banyak harta dari Bahrain. Maka, penuhlah masjid untuk shalat subuh bersama Rasulullah SAW.
Usai shalat, Rasul bertanya, “Saya duga kalian mendengar Abu Ubaidah membawa sesuatu dari Bahrain.”
“Benar, Rasulullah,” jawab jamaah serempak.
Rasulullah saw bersabda, “Bergembiralah, namun renungkan apa yang menggembirakan kalian itu. Demi Allah, bukan kefakiranmu yang aku khawatirkan, melainkan bila kemewahan dunia telah menimpamu, sebagaimana orang sebelummu. Lalu, kamu berlomba dan binasa, seperti mereka.” (HR Muslim).
Peringatan Rasulullah ini jangan diabaikan karena beliau mengawali dengan sumpah. Sejarah dan realitas kontemporer membuktikan kebenaran sabda beliau. Persia dan Romawi hancur. Meski menerapkan sebagian hukum Islam, Daulah Umayyah, Abbasiyah, dan Ustmaniyah juga runtuh lantaran pembesarnya menjauhi hidup sederhana, hingga mudah ditelikung musuh.
Kemewahan pembesar adalah tanda kehancuran. Allah SWT berfirman, ”Bermegahan telah melalaikanmu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS At Takaatsur: 1-2).
Di ayat lainnya, Allah SWT berfirman, “Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), namun mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan) Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu.” (QS 17: 16).
Mafhum mukhalafah (makna kebalikan) ayat ini adalah hanya para pembesar yang berlaku zuhud dan sederhana, mengonsumsi sesuai kebutuhan, bukan kemauan (nafsu), yang akan menaati Allah, sekaligus memimpin rakyatnya ke arah Islam. Itulah negeri yang akan diselamatkan oleh Allah.
Kehancuran akibat perilaku mewah dijelaskan secara aqliyah (rasionalitas).
Pertama, berlaku mewah menyebabkan pelakunya mudah dikendalikan hawa nafsu. Gagal mengendalikan nafsu sendiri berarti gagal mengendalikan nafsu anak buah dan rakyat.
Kedua, berkuasanya nafsu akan melemahkan akal, sekaligus produktivitas manusia, mulai dari berpikir, bersikap hingga bertindak. Takkan ada keinginan untuk memperbaiki kehidupan negerinya, karena dirinya sibuk berlaku konsumtif.
Padahal, perubahan selalu dimulai dari akal, sehingga ketika titik tolak itu lemah, maka melemah pula kekuatan untuk memperbaiki diri dan negeri. Ini mirip dengan susahnya memperbaiki orang yang akalnya rusak karena narkoba dan minuman keras.
Ketiga, terjadi persaingan tidak sehat, saling dengki, dan menjatuhkan karena iri terhadap orang lain yang lebih mampu bergaya mewah.
Dan keempat, meluasnya korupsi, kolusi, dan pencurian harta negara dan rakyat. Bagaimanapun, gaya hidup mewah tidak mengenal batas, sementara penghasilan resmi dan halal pasti ada batasnya.
Karena itulah maka pantaslah Rasulullah mengkhawatirkan kemewahan dunia, bukan kefakiran. Lantas mana yang kita khawatirkan? (Pak Oto)-FR