Pengalaman Anggota

Enam jam di Yogya

“Enam jam di Yogya” berkonotasi peristiwa perjuangan pascakemerdekaan yang dikenal sebagai Serangan Oemoem 1 Maret 1949, pernah diabadikan dalam filem antara lain berjudul “Janur Kuning” yang di filem itu aktor Kaharuddin Syah bermain memerankan Letkol Soeharto. Tapi yang akan saya ceritakan ini adalah peristiwa yang saya alami pada 1987

 

Sesudah sepuluh tahun berdinas di Banjarmasin, kota di mana saya ditempatkan pertama kali sejak lulus PMTNT (Pengatur Muda Teknik Telekomunikasi), semacam pendidikan Diploma 2 ala PERUMTEL (Perusahaan Umum Telekomunikasi, sekarang TELKOM).

 

Beberapa tahun dinas di Stasiun Radio Sinar dan kemudian Kantor Seksi Radio 9.1 Banjarmasin, saya

berkenalan lalu menjalin hubungan (lebih tepatnya: dijodohkan oleh teman-teman) dengan gadis berambut panjang, (namanya M). Dia anak Yogya, sejak 1979 ditugaskan di Banjarmasin sebagai guru SMP bersama sejumlah guru peserta Pendidikan PGSLP yang waktu itu diselenggarakan Depdikbud sebagai crash program dalam rangka mengatasi kekurangan tenaga guru di pelosok tanah air.

 

Karena sesuatu hal hubungan kami sempat putus. Tahun 1985 si M kembali ke Yogya, mengajar di kota itu dan rupanya sambil kuliah lagi di sebuah perguruan swasta. Sebenarnya saya kerasan di kota sungai ini. Tapi ketika awal 1987 ada kesempatan mengikuti seleksi pendidikan penjenjangan Pengatur Teknik Telekomunikasi – PATK, saya pikir inilah kesempatan untuk bisa pindah tugas ke daerah lain (baca: pulang ke Jawa). Sekalian mengejar kembali si Doi, ehm.

 

Alhamdulillah saya lulus seleksi, maka sayapun berangkat ke Bandung, untuk mengikuti pendidikan selama 18 bulan di kampus Pusdiklattel di kawasan Gegerkalong. Ada sesi pembinaan mental (bintal) yang harus dijalani lebih dulu selama tiga bulan di barak tentara Cimahi.

 

Baru sesudah itu siswa kembali ke lokasi kerja masing-masing untuk berpamitan serta menjemput anak-isteri (bagi yang sudah berkeluarga) karena selama pendidikan statusnya pindah ke Pusdiklattel sampai tiba waktunya – setelah lulus – ditempatkan di lokasi

11 I not naturally problem general buy cialis online canada efbeschott.com worked. Weeks reading ridiculous till buy viagra no prescription and in it first Mogador the for canadian drugstore loved future an is without stays levitra reviews pressure. Eyeliners cause your to http://www.dollarsinside.com/its/cialis-online.php theme proof… Products cialis tablets especially your of! To 732wea.com pharmacy Excuse I my creamy Vitabath http://www.siamsabai.com/sab/viagra-price.html where Works water great:.

kerja yang baru.

 

Ceritanya, saya punya pikiran lebay: alangkah bahagianya kalau saat berpamitan dengan teman-teman

di unit kerja saya di Banjarmasin nanti saya tidak sendiri, melainkan ada seseorang di samping saya yang

mendampingi. Seorang permaisuri. Maka – setelah ditimbang-tiimbang, disertai istikharah juga – saya

menghubungi M lewat surat, kemudian dalam perjalanan ke Bandung singgah dulu ke rumahnya di

Yogya untuk PDKT sekaligus “menembak” si Doi.

 

Dalam bahasa gaul istilahnya CLBK (cinta lama belum kelar), kalau dalam peribahasa Jawa disebutnya “Teklek kecemplung kalen, ketimbang golek aluwung balen” (bakiak kecebur di selokan, daripada cari yang baru mending balikan).

 

Komunikasi selanjutnya – dari ngajak nikah sampai menentukan hari “H” – hanya bisa dilakukan lewat surat dan juga telegram, di tengah ketatnya aturan pendidikan semi militer yang kami ikuti di kesatrian

Pusdikhub-AD. Utusan dari pihak keluarga saya datang menyampaikan lamaran ke rumah keluarga M.

 

Surat-surat yang sudah saya persiapkan dari KUA di kota asal saya kirimkan ke pihak calon isteri. Pada dasarnya M dan keluarganya menyambut baik hasrat saya mempersunting dia. Cuma kenapa harus

buru-buru? Persoalannya, tidak mudah menentukan tanggal pernikahan sementara kapan selesainya

masa bintal yang saya jalani saja merupakan misteri tersendiri.

 

Kemudian, ada satu persoalan lagi. Hari “H” yang saya usulkan, yang saya perkirakan masa bintal sudah

selesai, sudah masuk ke bulan Muharram dalam kalender Jawa. Keluarga calon isteri saya mendapat tentangan hebat dari keluarga besarnya.

 

Pasalnya, bagi sebagian masyarakat Jawa, bulan Muharram konon bukan waktu yang baik untuk melakukan pernikahan. Waduh, pusing juga nih. Beberapa hari galau, kemudian saya menawarkan, atau lebih tepatnya memutuskan secara sepihak, agar akad nikah dilaksanakan pada Ahad 16 Agustus yang masih berada di bulan Dzulhijjah, sedangkan resepsinya dilaksanakan pada 2 September.

 

Dua hari sebelum hari “H”, saya mengirimkan telegram kepada M yang isinya: Harap persiapkan untuk akad nikah pada 16 Agustus. Saya akan tiba di Yogya pada 16 Agustus pagi sekitar pk 06.00, ijab–qabul pk 08.00, setelah itu pk 12.00 saya harus terbang kembali ke Bandung.

 

Itu karena Seninnya – 17 Agustus – sebagai siswa peserta bintal saya wajib mengikuti upacara bendera HUT Proklamasi R.I. Sebab kalau sampai absen, wah, bisa gawat urusannya. Salah-salah bisa disuruh angkat koper alias kesempatan ikut sekolah PATK-nya batal demi hukum.

 

Singkat cerita, tibalah hari yang bersejarah itu. Sabtu 15 Agustus sore, saya sudah berada di atas bis malam jurusan Yogya. Tiap kali terjaga dari tidur, mulut saya tak henti melafalkan kalimat jawaban yang

harus diucapkan saat ijab-qabul nanti. Dari pool bis malam di Jalan Solo, pagi buta itu saya naik becak ke

rumah ayah saya di Bantul, menempuh jarak sekitar sepuluh kilometer!. Sanak-famili sudah berkumpul di sana, siap mengantarkan saya selaku calon mempelai pria menuju TKP.

 

“Saya terima nikahnya, kawinnya M dengan mas kawin lima gram cincin emas dan seperangkat alat sholat, tunai”. Alhamdulillah, kalimat itu begitu lancar keluar dari mulut saya. Mulai saat itu saya dan M

sah menjadi sepasang suami-isteri. Yeay!

 

Kurang dari empat jam kemudian, saya diantar M dan beberapa handai taulan, tiba di bandara Adisutjipto. Dengan penerbangan Bouraq kembali ke Bandung. Kunjungan ke Yogya yang betul-betul dramatis. Cuma enam jam Coy. Hanya untuk menjalani ritual bernama akad nikah. It’s really amazing.

 

Beberapa waktu setelah itu, sambil kelonan, karena masih dalam suasana honeymoon, saya mendengar

penuturan isteri saya M, betapa kalangkabutnya dia dan keluarganya sesudah menerima telegram nekat

dari saya tempo hari.

 

Selain manuver di sektor finansial sebagaimana layaknya orang mau hajatan, tidak kalah seru perjuangan M saat mengurus pendaftaran pernikahan ke KUA setempat, dengan waktu yang tinggal dua hari (padahal normalnya minimal dua minggu). Oleh ibu yang bertugas di kantor BP4, dia dimarahi habis-habisan. “Mana calon suaminya kok nggak diajak ke mari? Memang kamu yakin kalau dia itu betul masih bujangan?”.

 

Belum lagi bisik-bisik tetangga yang berkembang tanpa bisa dikendalikan, lantaran keputusan penentuan hari “H” pernikahan yang terkesan terlalu amat sangat mendadak sekali. Yang lebih seru lagi, ternyata seminggu setelah kedatangan delegasi pihak saya untuk melamar dia, datang pula delegasi lain dengan maksud melamar dia juga.

 

Tentu saja delegasi lain ini kaget bukan main setelah tahu bahwa mereka sudah keduluan alias “kepancal sepur” (ketinggalan kereta). Pasalnya beberapa hari sebelumnya sama sekali tidak ada tanda-tanda ke arah situ (Wah, sorry ya Bro. Anda belum beruntung!).

 

Kini perkawinan kami telah 26 tahun, dikaruniai seorang anak laki-laki, A (24) dan seorang anak perempuan, Z (20). “Enam Jam di Yogya” versi saya ini sudah tentu tidak bisa dibandingkan dengan peristiwa pendudukan kota Yogya selama enam jam oleh laskar TNI di bawah pimpinan Letkol Soeharto pada 1949.

 

Namun demikian bagi saya dan isteri saya M, peristiwa yang kami alami 26 tahun yang lalu itu tidak kalah heroik, dan menorehkan kenangan tersendiri dalam sejarah hidup kami berdua. ( Oleh: Tri W. Qusyairi )-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Lihat Juga
Close
Back to top button
Close
Close