Iptek dan Lingk. Hidup

Gratisan bersama dokter Lo

Solo, – Lo Siauw Ging, dokter langka di Indonesia saat ini. Dokter senior di Solo ini tidak pernah menentukan tarif pada pasien yang datang. Bahkan lebih banyak dari mereka digratiskan sama sekali dari biaya konsultasi dan obat. Dia melakukan itu karena merasa ingin mengabdi kepada kemanusiaan dan tahu diri pada negara. Apa hubungannya dengan Soekarno?

Di usianya yang 79 tahun, tiap hari rata2 60 pasien datang ke tempat praktik di kediamannya di Jagalan, Jebres, Solo. Ada yang datang dari kalangan kaya dan miskin. Semua pasien yang datang, tidak dikenai biaya. Artinya yang mau memberinya uang suka rela, biasanya yang datang dari kalangan berduit, akan memberinya imbalan konsultasi dengan meletakkan amplop berisi uang suka rela di meja konsultasi.

Namun lebih dari 70 persen diantaranya digratiskan dari biaya konsultasi. Dokter Lo, demikian dokter dermawan itu biasa dipanggil, menolak menerima biaya konsultasi dari kalangan bawah dan hanya memberikan resep untuk dibeli sendiri oleh si pasien di apotik.

Bahkan terhadap pasien miskin, sama sekali tidak keluar biaya; Dokter Lo juga memberi resep bertanda khusus untuk dibawa apotik yang ditunjuknya. Pihak apotik akan memberikan obat yang diresepkan itu kepada si pasien secara gratis. Tagihannya akan dibebankan kepada dokter Lo di akhir bulan.

“Tugas-kewajiban seorang dokter pertama harus melayani pasien. Fungsi sosial inilah yang paling utama, sesuai sumpah jabatannya. Kesehatan dan keselamatan pasien harus didahulukan, melebihi apapun juga,” ujarnya ketika ditemui di rumahnya, Jumat (29/11/2013).

Meski demikian, Dokter Lo menampik menilai kebanyakan dokter sekarang mata duitan. Dia juga enggan menyebut telah terjadi komersialisasi profesi. Dokter keturunan etnis Tionghoa ini secara hati-hati menyebut dedikasi, keberpihakan pribadi masing-masing dokter kepada sisi kemanusiaan dan juga sistem pendidikan dokter berpengaruh pada berbagai persoalan yang mengesankan komersialisasi itu.

Dokter Lo memberi gambaran. Ketika dia menempuh pendidikan dokter di Unair hingga lulus 1962, tidak serupiah pun dia mengeluarkan uang untuk biaya pendidikan itu. Semua ditanggung Pemerintah. Setelah lulus dia langsung mendapat gaji dari Pemerintah untuk mengabdikan ilmunya pada masyarakat. Karena itulah dia merasa harus tahu diri dan berbalas budi

 

“Zaman Bung Karno, sekolah dokter digratiskan dan selanjutnya langsung diterjunkan untuk mengabdi pada rakyat. Pemerintahan saat itu memikirkan hal ini (kesehatan rakyat). Saya merasa harus tahu diri juga untuk tidak memberati pasien dengan biaya mahal karena saya mendapatkan ilmu ini juga dengan cuma-cuma dan difasilitasi negara. Kalau sekarang sekolah dokter biayanya sangat tinggi. Belum lagi untuk menempuh pendidikan spesialis, lebih tinggi lagi biayanya. Mungkin saja dokter lulusan sekarang ya berpikir untuk setidaknya mengembalikan modalnya ketika menempuh pendidikan,” kata dia.

Kritik Dokter Lo selanjutnya adalah tentang pelayanan kesehatan masyarakat. Dokter Lo sama sekali tidak setuju dengan kebanyakan rumah sakit saat ini yang mewajibkan pasien harus membayar uang muka sebelum dirawat. Sistem itu dianggapnya sangat memberatkan, terutama bagi pasien kalangan bawah dan pasien emergensi karena terkena musibah mendadak.

Dokter Lo pernah dipercaya menjadi direktur RS Kasih Ibu, Solo, dari 1981-2004. Saat dia menjabat direktur itulah dia menerapkan aturan agar RS yang dikelolanya tidak memungut uang muka bagi pasien rawat inap. Ketika itu, kata dia, RS Kasih Ibu banyak menerima pasien yang telah ditolak oleh banyak RS karena tidak mampu membayar uang muka perawatan atau hanya karena sekadar tidak mampu menunjukkan KTP.

“Padahal seharusnya, orang yang tidak mampu membayar uang muka dan tidak bisa mencari KTP inilah yang pertama harus mendapatkan prioritas perawatan. Orang yang tidak bisa mengurus KTP pastilah orang yang hidupnya susah. Belum lagi pasien korban kecelakaan. Bagaimana mungkin orang yang terkena musibah mendadak di jalanan dan pasti tidak membawa uang cukup ini harus membayar uang muka. Padahal dia harus mendapatkan perawatan intensif karena musibah itu. Nilai kemanusiaan inilah yang harus dikedepankan,” lanjutnya. (Muchus Budi R; http://news.detik.com/read/2013/11/30/054007/2428342/10/kisah-dokter-lo-dokter-gratis-dari-solo)-FatchurR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Back to top button
Close
Close