Psikologi

Semangat sayang ibu

Suatu hari tahun 1945, seorang anak lelaki berusia 12 tahun melihat sesuatu di sebuah etalase toko. Begitu melihat benda itu, jantungnya berdebar cepat. Tapi, harganya terlalu mahal bagi kantong anak itu, yaitu sebesar 5 dolar.

 

Anak itu Reuben Earle itu tak mungkin minta uang pada ayahnya yang nelayan berpenghasilan pas-pasan. Meski begitu, ia memberanikan diri masuk ke dalam toko. Ia menceritakan ke pemilik toko apa yang diinginkan “Tapi, aku kini belum punya uang. Bisakah Bapak menyimpan barangnya untukku?”

 

“Bapak usahakan ya,” si pemilik toko tersenyum.

Reuben menyentuh ujung topinya yang robek sebagai ucapan terima kasih, lalu berjalan ke luar. Di setiap langkahnya mengandung tekad bulat. Ia akan mengumpulkan lima dolar dan tidak bercerita pada siapa pun.

 

Ketika mendengar bunyi alat tempa di pinggir jalan, muncul ide Reuben. Ia menghampiri asal bunyi itu dan berhenti di lokasi proyek pembangunan. Hari itu ia mendapat dua karung paku, yang dibawanya ke pabrik limbah kayu dan menjualnya pada yang bertugas mengumpulkan paku-paku.

 

Tangan Reuben menggenggam erat koin-koin sen hasil upahnya saat lari pulang yang jaraknya dua km. Reuben tiba di rumah pada waktu makan malam. Ayahnya duduk di meja dapur besar, sambil sibuk membuat jaring ikan. Ibunya di dapur menyiapkan makan malam saat Reuben duduk siap di meja makan.

 

Ia menatap ibunya dan tersenyum. Cahaya matahari sore dari jendela menerpa rambut pirang sebahunya. Dengan perawakan kurus dan cantik, ibunya itulah yang menjadi primadona di rumah, perekat keluarga.

 

Tiap hari setelah mengerjakan tugas dan bersekolah, Reuben menjelajahi kota mengumpulkan paku tercecer. Ketika jadwal liburan sekolah, di antara siswa lain Reuben-lah yang gembira. Kini banyak waktu untuk mengerjakan misinya. Sepanjang masa libur, di samping menyelesaikan tugas di rumah, menyiangi dan menyirami taman, memotong kayu dan mengambil air, Reuben melakukan pekerjaan rahasianya.

 

Sering kali ia merasa kedinginan, lelah, dan lapar, tapi bayangan barang di etalase toko membuatnya bertahan. Kadang ibunya bertanya, “Reuben, kau dari mana saja? Kami sudah menunggumu untuk makan malam.”

 

“Main, Bu. Maaf.” Sang ibu menatap wajah Reuben, sambil menggelengkan kepala. Musim semi datang memunculkan pucuk hijau segar dan semangat Reuben membuncah. Waktunya tiba. Ia berlari menuju gudang, memanjat ke atas loteng jerami, dan membuka bekas kaleng timah. Ia mengeluarkan koin-koinnya dan mulai menghitung.

 

Ia menghitung ulang dan masih butuh 20 sen lagi. Masih bisakah dia mendapat empat kantong dan menjualnya sebelum malam hari?

Reuben melewati Walter Street. Bayangannya segera tiba di pabrik. Pembeli kantong baru menutup pabriknya. “Pak, Tolong jangan ditutup dulu.” Bapak itu menoleh dan melihat Reuben yang tampak kotor dan berkeringat. “Datanglah lagi besok, Nak.”

 

“Tolong, Pak, aku harus jual kantong ini sekarang..tolong.” Bapak itu mendengar nada bergetar di suara Reuben dan hampir saja meneteskan air mata. “Sepertinya kau membutuhkan uang?”

“Itu rahasia.”

 

Bapak itu mengambil kantong yang dibawa Reuben, dan menyerahkan 4 koin ke Reuben. Reuben berterima kasih dan lari pulang. Lalu sambil menggenggam kaleng timah, ia berlari ke toko.

Pemilik toko mengambil “harta” Reuben. Ia membersihkan debu yang menempel dan hati-hati membungkusnya dalam kertas cokelat. Lalu, ia menaruh bungkusan itu di tangan Reuben.

 

Reuben pulang buru-buru, dan begitu sampai langsung menghambur masuk ke dalam rumah lewat pintu depan. Ibunya tengah membersihkan kompor di dapur. “Ini, Ibu! Ini!” Reuben berteriak ketika lari menghampiri ibunya. Ia menaruh sebuah kotak kecil di tangan ibunya yang tampak kasar.

 

Ibu membukanya perlahan, supaya kertas pembungkusnya tidak sobek. Terlihat sebuah kotak perhiasan warna biru-beludru. Ibu membukanya, dan airmata mulai mengalir mengaburkan pandangannya. Di dalamnya terdapat sebuah bros kecil berbentuk almond dengan tulisan bersepuh emas: IBU.

 

Ibunya tak pernah mendapat hadiah seberharga itu. Ia pun tak punya perhiasan selain cincin kawinnya. Tanpa bisa berkata-kata, ibu tersenyum dan mendekap anaknya dengan hangat. (sumber : m.andriewongso.com dan http://kisahkisah.com/5775/kisah-kasih-anak-kepada-ibu/)-FatchurR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Lihat Juga
Close
Back to top button
Close
Close