Islam

Membeli fitnah

Benarkah ada sanak saudara yang harus berkorban demikian besar, sampai nyawa, demi keserakahan sejumlah orang yang bahkan tak dikenalnya terhadap sekati upah? Benarkah anggota keluarga Anda harus membayar mahal pada pentas primordialisme sempit? Demi fanatisme dan taqlid buta. Atau demi pertarungan berisi kebodohan-nafsu-emosi yang tidak jernih arahnya, serta ketidakpahaman dan ketergesaan.

Maka kecemasan yang saya alami tak hanya kemungkinan chaos-heboh, tapi juga kebebalan yang ‘tenang’. Diam-diam, jauh di lubuk jiwa saya terdapat rasa asyik menyaksikan-mengalami benturan dan peperangan. Tapi untuk apa? Bersediakah anda mengalami itu untuk kesibukan nasional satu bulan yang pada hakekat dan kenyataannya tidak ada keterkaitan realistis dengan perjuangan nasib Anda sendiri sebagai rakyat kecil?

Bertamulah ke rumah orang pandai. Para dosen, pastur atau kiai. Bertanyalah kepadanya apakah gegap gempita yang sedang kita selenggarakan hari ini berprospek yang nyata terhadap impian perubahan yang sesungguhnya, yang nasib struktural rakyat bergantung padanya?

Bergembiralah dengan semua pesta itu, namun sanggup melakukan pengaturan takaran. Bukan menyediakan pasak yang jauh lebih besar dibanding tiang rapuh yang tersedia kini. Ada anak-anak muda ‘minta izin’ (anehnya) pada saya. “Cak, biar deh saya dipenjara, asal puas hati ini. Ayolah kapan kita serbu dan bakar”

Tentu saja saya masih bisa tidak gila untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap desakan emosi kerakyatan –yang sesungguhnya saya mafhum latar belakangnya. Semangatnya penuh enerji ‘jihad’, tapi belum ada titik koordinat yang menyilangkan pertemuan antara konteks atau tema dengan momentum yang tepat.

Kalau boleh, naluri seperti itu hendaklah ‘dipenjarakan’ bis-shabri was-shalâh—sampai ada konteks dan sâ’ah sejarah dimana gumpalan tenaga semacam itu kita perlukan. Jiwa kekanak-kanakan saya juga punya semacam rasa senang terhadap letusan² kecil atau besar, dengan tema apapun.

Tapi yang disebut ‘agama’ adalah kesanggupan mental-akal budi untuk tidak menggerakkan kaki kehidupan ini berdasarkan apa yang kita sukai, melainkan berdasarkan apa yang wajib dan benar menutur Alloh.

Saya mohon maaf untuk mengatakan ini. Bahkan terhadap fitnah² besar dalam hidup saya, insya Alloh saya bukan hanya tak bersedia meladeni atau mengeluarkan enerji sedikitpun –melainkan, kalau perlu, saya bersedia membeli fitnah² itu. Saya bersedia membayar orang² yang memfitnah saya, demi ma’unah, fadhilah dan karomah.

Maka kalau saya merasa cemas, insya Alloh kecemasan yang saya maksudkan bukanlah situasi mental, melainkan manifestasi dari kesadaran terhadap pengetahuan dan kewajiban hidup. Pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri sebenarnya seberapa besar kadar keprihatinan dan kecemasan Anda terhadap tingkat kemungkaran politik, hukum dan ekonomi di sekitar kita.

Seberapa besar kecemasan Anda terhadap kenyataan betapa orang² justru tidak cemas terhadap itu semua? Seberapa cemaskah Anda terhadap ketidakpedulian kita atas seberapa jauh bangsa ini mengalami ‘defisit nilai’ demokrasi, moral, keberbudayaan dan keberadaban.

Dalam bentuknya yang kasar dan transparan, maupun yang halus, canggih dan kita sangka kebaikan dan ketentraman? (Agus Suryono; @Kumpulan Karya Emha Ainun Nadjib; http://sudisman.blogspot.com/2011/06/membeli-fitnah.html)-FR

Tulisan Lainnya :

  • Tidak ditemukan tulisan
Tags

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *




Enter Captcha Here :

Lihat Juga
Close
Back to top button
Close
Close