Beda jujur dan Malu
KOMPAS.com – Az, seorang tersangka kekerasan seksual di Jakarta International School, tewas setelah minum cairan pembersih lantai di toilet Polda Metro Jaya, (26/4). Polisi menduga ia bunuh diri, malu atas perbuatannya. Pada secarik kertas yang ditunjukkan polisi, Az menulis pernah melakukannya sekali.
Dorongan seksual pada anak dan bunuh diri adalah terlarang. Pengakuan Az itu memperlihatkan ada rasa malu dan kejujuran. Kondisi berbeda dipertontonkan sebagian tersangka korupsi. Mereka senyum dan melambaikan tangan, keluar gedung KPK seusai pemeriksaan. Dalam persidangan di pengadilanpun, mereka enggan mengakui perbuatannya meski disumpah berdasar kitab suci.
Psikolog UGM Yogya, Rahmat Hidayat, (30/4), mengatakan, rasa malu-bersalah merupakan fenomena berbeda pada tiap budaya. Disertasi Seger Breugelmans di Universitas Tilburg, Belanda, berjudul Cross-cultural Non (Equivalence) in Emotion: Studies of Shame and Guilt, 2004, bangsa Barat dan Timur punya persepsi berbeda atas rasa malu.
Masyarakat Eropa (Belgia) mengaitkan rasa malu dengan yang bersifat normatif, benar-salah berdasar norma yang berlaku. Masyarakat timur (studi di DI Yogyakarta) menempatkan rasa malu berdasar relasi sosialnya, apakah bisa diterima atau ditolak lingkungannya. Bukan perkara benar-salah.
”Ukurannya patut atau tidak. Rujukannya, perbuatan itu biasa dilakukan orang lain di lingkungannya atau tidak”. Pada konteks itu, sikap kelompok afiliasinya jadi penting. Pada kasus Az, Rahmat menduga rasa malu lebih dominan menjadi pendorong bunuh diri, bukan rasa bersalah. Dasarnya, budayanya membuka bagian tubuh orang lain, apalagi melakukan kekerasan seksual adalah hal memalukan.
Malu adalah aspek emosi, rasa bersalah merupakan aspek kognisi terkait kemampuan pikir. Bagi koruptor, hal yang memalukan bukan perbuatan korupsinya. Namun, apakah ia diterima atau tidak oleh lingkungannya. Inilah persoalan pemberantasan korupsi. ”Korupsi tak lagi dianggap aib diri,” ujarnya.
Banyak kasus, hasil korupsi tak dinikmati sendiri, tapi juga lingkungan sekitar, langsung atau tidak langsung. Meski koruptor dipenjara, dukungan orang di sekitarnya, keluarga dan rekan di partai politik, tetap mengalir dan dielukan. Ada koruptor yang bisa melantik anak buah dalam penjara.
Otak
Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Unsrat, Manado, Taufiq Pasiak mengatakan, rasa malu dan kejujuran diproses pada bagian otak yang sama, yaitu korteks prefrontal, khususnya daerah orbitofrontal. Bagian itu di belakang mata dan secara umum mengatur moral manusia.
Pada Az, rasa malu muncul sebagai buah konflik batin karena ia dikenal lingkungannya sebagai orang taat beragama. Namun, Az tidak berusaha merasionalkan atau mencari pembenaran atas perbuatannya, misalnya karena dipaksa teman.
Pada koruptor, rasa malunya hilang karena tertekan upaya rasionalisasi atau pembenaran tindak korupsinya. Pembenaran korupsi itu biasanya berdasar dalih uang hasil korupsinya untuk partai, keluarga, atau disumbangkan.
Taufiq menegaskan, rasionalisasi (proses pembenaran) merupakan mekanisme pertahanan diri saat terancam. Proses itu bertujuan positif, misalnya sebagian orang yang kemalingan atau kecopetan memaknai musibah itu sebagai teguran Tuhan untuk lebih banyak beramal.
Sebagian orang, termasuk koruptor, pembenaran justru dilakukan untuk tindakan yang salah. Contoh, seseorang korupsi karena keluarga, lingkungan sosial, atau partai politiknya butuh uang itu. ”Proses rasionalisasi dan mekanisme bertahan diri dimaknai berbeda oleh Az dan koruptor,” katanya.
Budaya korupsi
Amich Alhumami dalam Korupsi, Perspektif Antropologi (Kompas, 15/12/2008) menulis, dalam konteks budaya yang berlainan, korupsi dimaknai berbeda. Pada wacana modern, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan, lembaga publik, dan kewenangan yang dipercayakan untuk kepentingan pribadi, manfaat ekonomi, atau keuntungan finansial lain.
Konteks budaya patrilineal, pengertian korupsi : Penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi tak berlaku. Pada masyarakat patrilineal itu, kekuasaan mengalami personalisasi, jabatan publik dianggap milik pribadi. Karena itu, mengalokasikan sumber daya publik (aset ekonomi, pekerjaan, dan dana) kepada keluarga, kerabat, teman, dan kroni dianggap lumrah.
Selain itu, di masyarakat tradisional, pemberian barang atau uang yang dalam wacana korupsi disebut gratifikasi merupakan simbolisasi dan pengikat relasi sosial. Budaya saling memberi bukan dianggap sogokan, melainkan wujud rasa terima kasih.
Masyarakat modern memaknainya berbeda. Gratifikasi dimaknai sebagai korupsi karena dimanfaatkan memperlancar dan mempermudah penyelesaian masalah. Fungsi sosial tukar hadiah diselewengkan menjadi uang suap / pelicin yang jelas bertentangan dengan moral publik dan etika sosial.
Kondisi itu membuat pemberantasan korupsi makin sulit karena budayanya belum mendukung. Sebagian menganggap koruptor sebagai ”pahlawan” dan korupsi sebagai hal biasa. Tidak memalukan. Meski demikian, Rahmat menilai pandangan masyarakat terhadap korupsi bisa diubah.
Pandangan korupsi sebagai aib, tindakan memalukan yang menghilangkan harga diri, bisa dibangun. Sikap malu itu berlaku bukan hanya koruptor, tapi juga orang yang berhubungan dengan koruptor. ”Jika rasa malu menjenguk koruptor dibangun, itu lebih efektif sebagai sanksi moral dan sosial bagi koruptor dibanding dengan memberi koruptor pakaian khusus,” tuturnya.
Upaya membangun rasa malu itu lebih efektif melalui sistem, bukan membangun karakter masyarakat. Menurut Rahmat, pendekatan psikologis membangun karakter lebih sulit. Taufiq menambahkan, masyarakat tak terbiasa dengan rasa malu karena sistem belum mendukung. Hukuman bagi koruptor masih terlalu rendah. Rasa malu individu sulit ditumbuhkan karena korupsi dilakukan bersama.
Pendidikan pegang peran penting menumbuhkan rasa malu atas dasar benar-salah sesuai norma. Pendidikan di Indonesia belum menumbuhkan rasa malu itu sebagai bagian dari perilaku. Budaya patrilineal membuat kekerabatan antarmasyarakat sangat kuat.
Pada sistem kekerabatan itu, upaya penyamaan atau meniru orang lain mudah dilakukan, yang bersifat positif dan negatif. Oleh karena itu, untuk mengubah budaya dengan membangun perilaku positif, butuh figur teladan yang kuat.
Persoalannya, saat ini kekurangan figur teladan baik. Guru di sekolah yang harusnya jadi panutan siswa agar punya rasa malu atas pelanggaran terhadap norma justru mendorong siswa mencontek dalam ujian nasional. ”Budaya malu tak bisa diajarkan karena bukan teori. Tapi dicontohkan sebagai keterampilan hidup,” ujarnya.
Selain itu, penegakan hukum perlu diperkuat. Hukuman perlu diperberat. Gerakan sosial masyarakat yang anti korupsi perlu terus dibangun sebagai alat kontrol masyarakat. Tak sebatas menunggu penegakan hukum. (M. Zaid Wahyudi; Sumber : http://print.kompas.com; Editor : Lusia Kus Anna; http://health.kompas.com/read/2014/05/03/1532263/Antara.Kejujuran.dan.Rasa.Malu?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp)-FatchurR
Catatan : Alhamdlillah kita yang sudah sampai kondisi purna tugas, aman dari KPK.