Jati Diri Koperasi
Pengantar: Tulisan ini bagus utk menyimak nasib koperasi saat ini. Beberapa bulan yl, MK membatalkan UU Koperasi. Tulisan ini dapat menjelaskan & menjernihkan. Korporasi dan Koperasi berbeda. Sering, pengurus Koperasi bergaya korporasi. Ini sumber salah kaprah. Tulisan ini saya kirimkan via Milis, tapi sebenarnya utk sohib Pak Pambudi Sudarno dan pemerhati koperasi. (ThW)
PADA saat memperingati Hari Koperasi Ke-67 pada 12/07/14, Dekopin mencanangkan Visi 2045: menjadikan koperasi pilar negara menuju negara kesejahteraan dan ekosistem lestari. Tujuan mulia itu diharapkan dapat terealisasi saat peringatan satu abad RI.
Tak sedikit pihak skeptis dengan harapan itu. Tiap tahun muncul kasus yang mendera gerakan koperasi, yang diyakini merupakan gejala puncak gunung es perkoperasian Tanah Air. Tahun ini, setidaknya dua alasan mengapa gerakan koperasi kita patut memperingati Hari Koperasi dengan penuh keprihatinan.
Pertama, ketika MK membatalkan UU No. 17/2012 (Perkoperasian). Dalam sidang 28/05/2014, MK menyatakan UU No 17/2012 bertentangan UUD-45 dan tidak punya kekuatan hukum. MK berpendapat, sistem ekonomi Indonesia bukan sistem liberal. Sejumlah pasal dianggap MK mengusung semangat kapitalisme yang tidak sesuai prinsip koperasi.
Dalam pertimbangannya, MK juga menyatakan filosofi UU Perkoperasian yang dibatalkan itu tidak selaras dengan hakikat susunan perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan sebagaimana termuat dalam Pasal 33 Ayat (1) UUD-45.
Prihatin : Keputusan MK membatalkan UU yang menjadi panduan gerakan koperasi ini membuat kita prihatin. Hal itu karena, meski UU itu disusun kementerian yang membidangi perkoperasian dan dibahas bersama DPR, hasilnya dinyatakan bertentangan UUD-45.
Perkembangan koperasi yang jalan di tempat dan kontribusi terhadap PDB yang tidak beranjak dari 2%, jauh lebih kecil dibanding kontribusi BUMN 20% atau kontribusi swasta yang 78%, bukan tidak mungkin adalah buah pemahaman yang keliru dari penentu kebijakan perkoperasian.
Alasan kedua prihatin, kasus salah kelola Koperasi Cipaganti. Sejak 2008-Mei 2014, Koperasi Cipaganti menghimpun penyertaan modal ± Rp 3,2 triliun dari 8.700 mitra. Para mitra ini dijanjikan bagi hasil 1,6-1,95% per bulan, bergantung pada tenor, dengan kesepakatan dana itu dikelola koperasi untuk kegiatan perumahan, stasiun SPBU, transportasi, perhotelan, alat berat, dan pertambangan.
Kenyataannya, sejak Maret 2014, Koperasi Cipaganti mengalami gagal bayar dan tidak berjalan dengan baik. Sisa uang mitra pun tidak jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dua tahun lalu, kasus yang hampir sama terjadi pada Koperasi Langit Biru. Koperasi ini berhasil mengumpulkan dana Rp 1,2 triliun dengan imbal hasil tinggi. Kegiatan usaha ini macet, menyisakan para nasabah yang gigit jari.
Kasus salah urus koperasi tak hanya mendera Cipaganti-Langit Biru. Terdapat benang merah kerkaitan dengan koperasi. Semua kasus hampir selalu diawali dengan koperasi yang tergoda merambah bisnis yang dianggap menjanjikan laba tinggi meski tidak berkaitan langsung dengan ekonomi anggotanya.
Adanya keterkaitan
Kebutuhan dana besar menjalankan bisnis itu, mendorong koperasi menarik modal dari pihak luar sehingga koperasi tidak ubahnya dengan badan usaha lain. Padahal, karakteristik koperasi berbeda dengan badan usaha lain yaitu keterkaitan erat antara bisnis yang dijalankan dan kebutuhan ekonomi anggotanya.
Pada korporasi, lazim serta wajar bila pemilik tidak terkait bisnis yang dijalankan korporasinya dan penikmat pelayanan korporasi bukan pemilik korporasi itu. Namun, tidak dengan koperasi, yang karakteristik utamanya ditandai dengan identitas ganda anggota koperasi, the dual identity of the member, yaitu anggota sebagai pemilik dan pengguna jasa koperasi, user own oriented firm.
Hal ini yang menjadi pertimbangan MK dalam putusan pembatalan UU-17/2012. UU itu jelas lebih mementingkan masalah permodalan meski itu dengan menegasikan filosofi koperasi. Bila korporasi dianggap berhasil saat mampu membukukan keuntungan tinggi, tak demikian halnya dengan koperasi.
Sebuah koperasi yang hanya meraih selisih hasil usaha kecil akan tetap dianggap berhasil mencapai misinya jika mampu memberikan manfaat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar yang jadi anggota. Demikianlah jati diri koperasi yang sesungguhnya. (Kompas, 9/8/14; Oleh: Ali Mutasowifin; Pegiat Koperasi; Dosen FE dan Manajemen IPB; Bogor; http://budisansblog.blogspot.com/2014/08/jati-diri-koperasi.html)-FatchurR
——-
Catatan komentar dari SH :
Kalau dilihat dari motif berdirinya koperasi, ada dua jenis juga. Yang pertama karena adanya keinginan bersatu dari anggotanya, agar lebih kuat. Contoh seperti yang disebutkan pak Djiwatampu. Koperasi petani kebun bunga Tulip di Holand.
Koperasi petani di Korea, dll. Koperasi jenis ini di luar negeri sangat maju. Di sini saya lihat koperasi simpan pinjam. Kperasi jenis ini tidak perlu foemalitas badan hukum dll. Pemerintah memberi mendorong agar maju.
Jenis kedua motifnya memanfaatkan peluang pasar. Misalnya yang disebut oleh pak Soewito, Kopegtel, Koperasi Indosat, yang maju (dulu), bahkan diberi saham perusahaan. Koperasi jenis ini memerlukan formalitas badan hukum, karena support dari induk hanya diberikan kepada yang berbadan hukum.
Tapi koperasi jenis ini akan segera runtuh bila induknya tidak bisa lagi support.
Ada contoh menarik, di desa ada koperasi peternak sapi, dibentuk karena ada hibah sapi atau kandang modern yang lengkap dengan bio-gas yang disalurkan pemerintah hanya kepada koperasi. Koperasi ini juga maju sekali, tapi setelah bantuan turun, melemah lagi. Jadi sesungguhnya pemerintah juga ada keinginan memajukan koperasi, mungkin para anggotanya yang belum siap.
Dulu ada yang membentuk koperasi, karena ada kesempatan mendapatkan USO (Universal Service Obligation) di bidang Telekomunikasi, tapi koperasi dengan motif ini tidak jalan juga. (Salam, Sadhono Hadi)-FR
———
Catatan dan komentar dari 2 H. Moel :
Ikut nimbrung. Betul Pak Dhon, seingat saya ± 25 TH yg lalu, Kopegtel bisa meraih SHU ± 1 Milyar, yg kalau dikonversi ke nilai sekarang, sekitar ± 10 M, padahal di tahun pertama operasi ( 1989 ), SHU hanya ± RP 25 Jt, dan th ( 1992 ) selama 4 th terjadi peningkatan signifikan menjadi ± Rp 1 M.
Saya dengar aset Kopegtel sekarang nyaris habis dan bahkan satu-satunya aset Kopegtel yg menjadi kebanggaan anggauta. yaitu : ( Wisma Asri ) juga nyaris akan dijual, tapi tidak jadi karena tidak disetujui oleh anggota.
Kalau ingin Kopegtel menjadi Koerasi yang maju, seperti halnya diera TH 1992, minimal setara dgn anak perusahaan Telkom , maka disamping Kopegtel harus dikelola secara profesional seperti layaknya BUMN / Badan Usaha Swasta, maka KETUM Kopegtel disamping orang yang jujur, mempunyai integritas yg tinggi dan profesional juga harus full time.
Tidak boleh merangkat dgn jabatan di TELKOM, juga harus jujur dan mempunyai integritas yg tinggi, seperti mengelola perusahhan sendiri. Semoga bermanfaat. (Salam – Moeljadi)-FR