Bayam
“Pak, bayamnya sudah saya petiki, tinggal masak”, kata istri saya.
“Ya, sebentar, ini nanggung”, jawab saya yang masih sibuk diworkshop, di belakang rumah, membuat cantolan besi untukmenggantung sisa-sisa potongan mesh besi. Sayang kalau materialini dibuang. Suatu saat mungkin saya butuhkan.
Beres merapikan sisa-sisa mesh pagar besi, saya kemudian mengambil “pen-dugir” (pengungkit tanah, buatan saya sendiri), karena harus mendugir (menggali umbi) salah satu bumbu terpenting untuk sayur bayam, yaitu “kunci”. Umbi kunci ini baunya segar keras, apalagi kalau masih baru dari tanah.
Sosok pohon kunci menyerupai pohon kunyit. Untungnya, Allah memberikan tanda pada pangkal batang pohon kunci yang lebihsemburat merah, sehingga saya tidak keliru menggali pohon yangsalah.Seisi rumah memang menyenangi masakan sayur bayem saya danselalu habis tandas.
Kebetulan pagi itu masih ada sisa sedikit buah oyong hasil dari kebun tetangga. Panjang oyong ini semulasekitar setengah meter, kemarin dimasak dengan soun, tinggalbeberapa iris. Cocok untuk saya campurkan dengan sayur bayam.
Saya kemudian menjerang air, bumbu kunci saya masukan. Kemudian irisan bawang merah secukupnya saya cemplungkan juga. Beberapa siung bawang putih saya keprek dan saya masukan juga ke dalam
panci. Saya tunggu sampai hampir mendidih, kemudian saya masukan garam dan gula batu. Kebetulan saya memiliki trasi matang istimewa kiriman adik ipar dari Sidoarjo, saya bubuhkan juga.
Saya coba mencicipi sedikit, “Kok rasanya kurang berat ya?”, tanya saya kepada istri, yang sedang menggoreng pisang dikompor sebelah.”Lha bumbu apa yang kurang?”, komentarnya. Saya ingat-ingat apalagi ya yang kurang?”Oh, iya! Salam!”, seru saya.
Daun salam ini memang aneh, beberapa lembar daun ajaib ini, basah maupun kering, bila dimasukan dalam masakan, mendorong bumbu-bumbu yang lain lebih meresap. Sesungguhnya bumbu ini harus saya masukan diawal-awal. Lebih baik terlambat dari pada tidak. “Nah, sekarang rasanyalebih ok”.
Setelah mendidihnya cukup merata, barulah saya masukan irisan oyongnya. Saya tunggu sampai oyongnya cukup empuk, tapi saya harus jaga agar warnanya tetap hijau tua. Panci kemudian saya
tutup.”Lho kok nglamun?”, tanya istri saya melihat saya memejamkan mata sambil komat-kamit.
“Enggak, dzikir. Sambil nunggu”, jawab saya.
“Masak itu harus dengan Love dan Passion”, lanjut saya berfilsafat. “Agar, rasanya menjadi lezat”, bubuh saja. Logikanya, bila kita menyenangi serta menekuni pekerjaan dengan ikhlas, insha Allah, ibadah kita diterima.
Setelah oyong cukup empuk, barulah bayam saya masukan. Sebentar saja, karena dengan air panas saja, bayam sudah matang dan warnanya tetap hijau. Tepat sebelum kompor saya matikan, irisan tomat saya masukan, selain memberikan rasa asam, tomat setengah matang juga menghiasi sayur saya dengan warna merahyang menyala.
Kompor saya matikan. Panci saya tutup. Tugas saya pun selesai.Saya mandi dulu akh. (Gundengan Sleman, 20150207; Sadhono Hadi; Creator of Fundamen Top40; Visit http://fundamen40.blogspot.com dan http://rumahkudidesa.blogspot.com)-FR