Hipertensi Pemicu stroke
Pengobatan Tak Efektif Tanpa Pola Hidup Sehat
JAKARTA, KOMPAS — Hipertensi kerap muncul tanpa gejala sehingga sulit dideteksi. Jika komplikasi penyakit ini tidak terkontrol, hal itu meningkatkan risiko terkena stroke dan penyakit jantung koroner. Untuk itu, perlu deteksi dini penyakit itu disertai penerapan pola hidup sehat.
“Hipertensi kerap muncul tanpa gejala (disebut silent killer). Tiap tahun, 7 juta di dunia meninggal akibat hipertensi. Masalah ini mencemaskan dan menghabiskan biaya tinggi,” kata Ketua Perhimpunan Hipertensi Indonesia (InaSH) Nani Hersurnati, pada seminar bertema “Know Your Number: Cegah Risiko Stroke, Serangan Jantung, dan Gagal Ginjal”, Rabu (13/5), di Jakarta.
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi hipertensi di Indonesia 26,5%. Dari jumlah itu, 50% tak tahu dirinya hipertensi. Data lanjut Riskesdas 2007 menyebut, angka pasien yang minum obat hipertensi hanya 24,2 persen. Artinya, 75,8 persen pasien hipertensi belum mendapat layanan kesehatan.
Hipertensi dideteksi lewat pemeriksaan tekanan darah. Menurut Wakil Ketua I InaSH Yuda Turana, pengukuran tekanan darah di rumah penting, khususnya pada penderita hipertensi.
“Jika hipertensi tak diobati, tekanan darah yang meningkat mengganggu fungsi endotel atau sel pelapis dinding pembuluh darah. Itu awal pembentukan kerak yang mempersempit pembuluh koroner,” kata dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dan salah satu pendiri InaSH, Arieska Ann Soenarta.
Pembuluh koroner adalah jalur nutrisi dan energi bagi jantung. Jika pembuluh tersebut menyempit, hal itu mengganggu suplai zat-zat esensial bagi jantung. Bahkan, peningkatan tekanan darah bisa meretakkan plak koroner sehingga aliran darah tersumbat dan mengakibatkan serangan jantung.
Risiko tinggi
“Pengidap hipertensi berisiko dua kali lipat terkena penyakit jantung koroner. Obat-obatan terkini hanya bisa mencegah penurunan fungsi jantung,” kata dokter spesialis penyakit dalam Tunggul Diapari Situmorang. Karena itu, hipertensi biasanya disertai faktor risiko seperti kolesterol tinggi dan diabetes. Jika komplikasi hipertensi tak ditangani, itu bisa memicu stroke.
Panduan Komisi Nasional Bersama Pencegahan, Deteksi, Evaluasi, dan Penanganan Tekanan Darah Tinggi Ketujuh, yang diterbitkan InaSH, merekomendasikan penurunan tekanan darah di bawah 140/90 mmHg atau kurang dari 130/80 mmHg pada pasien diabetes.
Nani menjelaskan, pengobatan hipertensi tak efektif jika tidak diiringi pola hidup sehat antara lain rutin beraktivitas fisik, menjaga berat badan ideal, konsumsi makanan bergizi berimbang dengan mengurangi asupan garam, dan tak merokok. Pola hidup sehat juga jadi strategi pencegahan dan pengendalian hipertensi.
Penurunan berat badan dan mengurangi asupan garam bisa mencegah hipertensi. Konsumsi buah-buahan, sayuran, dan makanan rendah lemak efektif menurunkan tekanan darah. (ThW; B03; Kompas, 15 Mei 2015 ; http://print.kompas.com/rubrik/r44/sains/kesehatan)-FR