Berpuasa di Mayente Jerman
Mayence-Berpuasa di negeri Jerman tahun ini bukan kali pertama bagi saya. Sejak berada di negeri Jerman tahun 2013, bulan Ramadan di benua Eropa selalu jatuh pada musim panas. Waktu siang berlangsung lebih lama dari malam dan waktu berpuasa jauh lebih panjang dari waktu di Indonesia.
Menjalankan ibadah puasa di musim panas, tentu tidak hanya sekedar melawan lapar, dahaga, dan hawa nafsu saja, namun juga melawan hawa panas yang terkadang sangat begitu menyengat. Tak terkecuali di musim panas di tahun 2015 ini.
Pada minggu ketiga Ramadan, saya melihat perkiraan cuaca bahwa temperatur udara selama seminggu ke depan berkisar antara 33 hingga 38 derajat Celcius dan puncaknya adalah saat akhir pekan, yaitu 39-40 derajat Celcius!
Melihat temperatur udara yang begitu panas, sebagai manusia normal yang sedang berpuasa, saya dan teman-teman ingin rasanya hanya berdiam diri di dalam rumah sambil menunggu waktu berbuka tiba, daripada sekedar untuk berjalan-jalan keluar dan melihat betapa nikmatnya orang-orang sekitar menikmati segarnya ice cream dan menenguk minuman segar di siang hari.
Namun sayang, karena profesi kami sebagai mahasiswa dan tuntutan pekerjaan, kami tetap aktif mengikuti perkuliahan dan aktifitas di luar ruangan. Siapa bilang berpuasa di sini begitu sengsara? Menjalankan puasa di negeri orang bisa menyenangkan, karena di sinilah waktunya berwisata kuliner dan gratis!
Seperti kebanyakan pada waktu berbuka puasa, masjid2 di kota saya tinggal, Mayence-Jerman, menyediakan iftar alias berbuka gratis satu bulan penuh bagi jamaahnya. Menariknya adalah dikarenakan umat muslim di negara Jerman datang dari berbagai belahan negara, menu iftar yang disediakan pun beranekaragam.
Ketika saya berbuka puasa di masjid masyarakat Turki, mereka menyajikan berbagai menu masakan khas Turki–kurma, brot, suppe, baklava yang super manis, doner, fleisch, cay turkey- yang tentunya sangat memanjakan lidah kami setelah kurang lebih 19 jam menahan lapar dan dahaga.
Menu yang berbeda saya dapatkan ketika mencoba menu iftar di masjid masyarakat Maroko dan masyarakat Mesir. Meski cita rasa masakan yang ditawarkan tidak jauh berbeda, namun keanekaragaman budaya dan tradisi baru saat berbuka puasa menjadi keunikan tersendiri bagi saya.
Jika saya mulai rindu akan masakan Indonesia, saya datang ke iftar bersama yang disediakan setiap hari oleh Masyarakat Muslim Indonesia (MMI) Frankfurt. Alhamdulillah, di sana terjaminlah kesejahterahan perut saya dan teman-teman sebagai anak perantauan yang rindu masakan Indonesia.
Menu es campur, bubur sumsum, kacang hijau, kolak, pecel, sayur asem, tumis daun singkong ikan teri, sambal hijau, bakso, rendang tidak absen dalam menu iftar. Menyenangkan bukan? Penasaran merasakan sensasi berpuasa di negeri orang?
(Esty Prastyaningtias mahasiswi Indonesia yang saat ini berada di Kota Mayence, Jerman untuk melanjutkan studi ke jenjang master; nwk/try; http://m.detik.com/news/berita/2968776/ramadan-di-mayence-jerman-safari-iftar-dari-masjid-ke-masjid)-FatchurR