Ribut ribut Kereta Cepat Bandung-Jakarta
KOMPAS.com – Seperti investasi besar lainnya, pembangunan kereta cepat (high speed train), yang nilainya 5,5 miliar dollar AS jadi berita yang kontroversial.
Pertama, siapa yang menyangka presiden Jokowidodo memutuskan begitu cepat? Maklumlah kita sudah amat terbiasa menyaksikan ketakhadiran pengambilan keputusan strategis yang agile dan cepat.
Anda masih ingat bukan, proyek-proyek infrastruktur yang sudah
disetujui saja bahkan dibiarkan mangkrak bertahun-tahun. Rencana tinggallah rencana. Ribut
sedikit saja sudah membuat penguasa takut dan tidak bekerja. Proyek jalan tol Cipularang yang bisa dituntaskan setahun saja, bahkan dulu sempat dibiarkan berlubang dan berdebu lebih dari 5 tahun.
Kedua, Jepang yang sudah lama mengincar proyek ini ternyata tidak terpilih. Memang
Jepang terkesan amat berhati-hati karena kereta dapat mengganggu industri otomotifnya yang market size-nya begitu besar di sini. Siapapun tahu, sistem transportasi publik berbasiskan kereta api dapat mengganggu penjualan otomotif. Maka wajar bila banyak menawar dan mengulur waktu.
Sikap Jepang tiba-tiba berubah begitu menyaksikan kesungguhan Tiongkok dalam bersaing. Jepang yang melakukan studi dan membuat FS terlebih dahulu merasa lebih berhak menentukan masa depan transportasi publik Indonesia, namun tetap menuntut jaminan
pemerintah.
Ketiga, menjadi kontroversial karena keputusan pada level bisnis juga cepat sekali dan
terus berkembang (adaptif). Karena tak melibatkan uang dan jaminan negara, maka Menteri Perhubungan pun menyerahkan sepenuhnya pada mentri BUMN dengan skema business to
business.
Melalui konsorsiumnya, Mentri BUMN merumuskan business model yang bukan menjadikannya sebagai proyek pembangunan kereta api semata-mata, melainkan hadir
bersama mega proyek kota- kota baru di sekitar jalur kereta. Maka Gubernur Jabar dan
walikotanya pun dilibatkan.
Dalam strategi pengembangannya, bukan lagi menjadi sekedar proyek transportasi,
melainkan sebuah kegiatan ekonomi skala besar yang kelak akan melibatkan begitu banyak
pelaku usaha besar maupun kecil. Value creation nya amat besar sehingga melibatkan minimal
4 BUMN inti. Ini tentu mengecohkan para pembuat opini yang hanya berhitung cost-benefit-risk analyses pada aspek bisnis kereta api cepat semata-mata.
Keempat, proses cepat ini ternyata ada cost-nya, yaitu kurang terinformasinya publik atas
opportunity serta nilai yang diciptakan. Dilema di era keterbukaan dan partisipasi
publik ini memang dapat kita rasakan: antara hak untuk tahu publik dengan keputusan bisnis adaptif yang cepat berubah dengan motif ambil untung para makelar tanah. Akibatnya para pengamat kebijakan publik dapat memberikan opini yang keliru atas ketidaksempurnaan informasi.
Kelima, persaingan Jepang vs Tiongkok dalam proyek ini telah menimbulkan opini pro-kontra,
apalagi ruang untuk pertumbuhan ekonomi di kedua negara itu makin terbatas. Mereka
punya kepentingan, sementara kita punya kendali dan kepentingan yang harus dijaga pula.
Kehadiran proyek infrastruktur skala besar di tanah air tentu saja menimbulkan daya tarik
sendiri yang sudah pasti melibatkan perang opini yang dapat melibatkan conflict of interest yang cukup luas.
Tentu masih ada isu-isu lain dari proyek yang sebenarnya bagus bagi perekonomian kita, akhirnya terkesan kontroversial. Apakah itu pro-kontra jalur Jakarta -Bandung vs Jakarta-Surabaya, pertanyaan mengenai siapa saja pihak yang dapat bermitra, kesungguhan Tiongkok
berinvestasi, di mana letak titik perberhentiannya, masalah apa yang akan muncul dalam tahap implementasi, negosiasi, dan lain sebagainya.
Tapi baiklah kita fokuskan pada keputusan yang sudah diambil dan bagaimana proyek ini bisa menciptakan value bagi perekonomian kita, bukan Tiongkok dan bukan Jepang.
Karena saya bukan Menteri BUMN, maka saya mencoba menganalisis dari kacamata
ilmuwan dan praktisi bisnis yang saya miliki. Maaf saya sama sekali tak mengerti soal politik,
sehingga tidak mengkaitkan analisis ini dengan masa jabatan presiden sehingga pilihannya mungkin turut terpengaruh.
Saya hanya ingin membaca dan mengarahkan agar pemerintah paham soal ekosistem
bisnis, peluang dan ancaman yang mungkin timbul. Saya juga ingin agar informasi ini dimiliki
publik yang dapat membaca peluang yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk keluar dari
perangkap ketakutan krisis. Bahan-bahannya saya kumpulkan setelah bersusah payah
mengorek dari para pihak yang terlibat.
Perubahan Business Model
Beberapa tahun silam saya pernah meneruskan pertanyaan para pimpinan negara kita kepada pimpinan BUMN di Tiongkok tentang cepatnya pembangunan jalan tol di negeri itu. Harap maklum, selama 35 tahun Jasa Marga berdiri, hanya 850 kilometer jalan tol yang bisa
kita bangun, sementara Tiongkok dalam 15 tahun bisa membangun puluhan ribu kilometer.
Jawabnya sederhana sekali. Pertama model pembangunan infrastruktur di Tiongkok
diserahkan kepada BUMN sehingga dapat menjadi aset yang tumbuh. Dan kedua, BUMN
Tiongkok melakukan value creation yang utuh, bukan sekedar membangun jalan tol. Termasuk di dalamnya menjaga kepentingan publik yang luas, ya lingkungan, ya rakyat jelata, petani dan pemilik tanah. Ini berbeda sekali dengan pembangunan jalan tol di sini.
Waktu saya tanyakan pada para taipan kita yang membangun kawasan permukiman dan industri di tepi-tepi jalan tol, mereka pun buka mulut. “Pemerintah kita tidak pandai memanfaatkan peluang. Bangun jalan tol tetapi hanya membebaskan jalannya saja. Kami lihat itu sebagai peluang, maka kami bebaskan tanah-tanah di dekat jalur keluarnya agar menjadi kawasan industri dan pemukiman,” kata seorang pengusaha.
Seorang taipan mengaku value creation-nya mencapai 30 hingga 50 kali lipat. Dari modal Rp 1 triliun kembalinya Rp 30 triliun. Modalnya pun disediakan mitra asing. Pantaslah mereka begitu cepat masuk dalam daftar orang terkaya dunia.
Lantas bagaimana BUMN kita? Business model BUMN kita di masa lalu hanya fokus pada
keahliannya saja, ya fokus. Ambil contoh saja Perumnas yang membangun kawasan
pemukiman, lalu menyerahkan perawatan wilayahnya pada pemerintah daerah. Business
model mereka tidak menghasilkan pendapatan yang berkelanjutan (recurring income).
Sekarang bandingkan dengan pengembang-pengembang superblok yang setiap bulan
memungut service charge dari berbagai jasa yang mereka jual: kebersihan, listrik dan air, sewa, keamanan, parkir, dan seterusnya.
Kalau Anda tinggal di gedung bertingkat, Anda tentu paham apa yang saya maksud. Setiap bulan Anda kena pungutan antara Rp 500.000 hingga Rp 2 juta. Itu semua masuk ke tangan pengelola gedung, yang tak lain adalah pengembang itu sendiri.
Sekarang kita jadi mengerti mengapa return BUMN kita banyak yang kurang menarik,
padahal mereka berusaha dalam bidang yang sangat menguntungkan dan pasarnya captive.
Kini ketika cara pandangnya berubah, giliran kita banyak yang tidak siap dan mati-matian mengkritik. Sementara, kalau BUMN kita kalah dengan Temasek (BUMN Singapura) atau Khazanah (Malaysia) kita juga ikut mengejek mereka. Padahal keuntungan BUMN dapat menjadi kontributor penting bagi APBN. Ia juga bisa menjadi akselerator pembangunan yang bekerja sama dengan mitra-mitra usaha swasta nasional.
Kuncinya: Mengenal Ekosistem Bisnis
Ini bukan soal pat gulipat memutar uang, tetapi pemahaman atas business model. Kalau
Anda masih belum paham, mari kita lihat bisnisnya anak-anak muda yang kalau anda kurang
paham anda pasti akan mengatakan mereka tak bakalan untung. Misalnya, bagaimana
mungkin Gojek bisa untung kalau hanya memungut limabelas ribu rupiah untuk rute yang
lumayan jauh. Padahal ojek pangkalan saja untuk rute yang sama jauhnya menuntut Rp 30.000?
Anda juga pasti akan ditertawakan Starbucks kalau menjual secangkir kopi seharga Rp
7.000. Mengapa? Karena ia saja terancam rugi walaupun harga secangkir kopi pahitnya
(Americano) sudah Rp 40 ribu.
Seven Eleven Indonesia dengan model bisnis berbeda mampu membuktikan bahwa ia bisa untung sekaligus menjadikan outletnya teramai di dunia. Jawabnya adalah business model mereka berbeda.
Yang satu jual kopi yang lainnya jual ekosistem anak muda, yang satu bisnis ojek dan satunya bisnis aplikasi internet. Dan untuk memahami hal ini Anda perlu mempelajari ekosistem usaha yang digeluti.
Demikian juga Anda bisa menertawakan Tune Hotel yang menyewakan kamarnya di bawah
Rp 100.000 per malam, dan mungkin Anda akan ikut menolak proposal bisnisnya karena
hotel yang menjual kamar seharga Rp 1 juta per malam saja belum tentu menangguk untung.
Jangan lupa Tune hotel pernah memasang iklan beberapa tahun lalu dengan tarip Rp 35 (ya
tiga puluh lima perak) permalam. Kok bisa bertahan tahunan dan untung?
Jawabnya karena business model hotel lainnya dengan Tune berbeda.
Sekarang saya ajak anda melirik goncangan dalam industri media. Dulu penerimaan media berasal dari dua sumber, yakni sirkulasi dan iklan. Kini tidak lagi. Berbekal luasnya jaringan
narasumber, kini setiap media punya unit yang mengelola bisnis seminar, pelatihan, event organizer dan penerbitan.
Sama halnya dengan bisnis perbankan yang meraup untung bukan dari pendapatan bunga,
melainkan fee-based income. Jadi kini sumber penerimaan perusahaan tak lagi dari satu atau
dua sumber konvensional, tapi lebih luas. Sumber itu datang dari ekosistem industrinya.
Hal serupa terjadi pada industri yang lain. Perusahaan-perusahaan kontraktor, misalnya,
dulu sumber penerimaannya hanya dari bisnis kontruksi. Kini tidak lagi. Mereka juga menggali
penerimaan dari bisnis jasa rekayasa, pengadaan dan konstruksinya, atau biasa disebut Engineering, Procurement & Construction (EPC).
Belajar dari membangun proyek orang lain, perusahaan kontraktor jadi bertambah pintar.
Mereka nyaris tahu segala sektor industri. Maka, tak heran kalau bisnis perusahaan-perusahaan konstruksi melebar ke mana-mana. Ada yang masuk ke bisnis properti, pembangkit listrik, jalan tol, hingga menjadi perusahaan investasi (investment company).
Menggali bisnis dari ekosistem industrinya membuat perusahaan lebih punya banyak
peluang untuk menjaring pendapatan. Itulah yang dilakukan perusahaan-perusahaan kita,
termasuk BUMN. Itulah dunia mereka. Maka, saya tak habis mengerti ketika ada pihak yang
begitu kuatir saat BUMN-BUMN kita diajak berkongsi menggarap proyek kereta cepat dalam koridor Jakarta-Bandung.
Mereka khawatir BUMN kita tak mampu, bakal merugi atau modalnya tidak cukup. Tapi itu
belum cukup. Tuduhannya banyak sekali yang intinya: sudahlah jangan lakukan, Anda tak akan sanggup! Bahkan ada yang mengatakan BUMN-BUMN kita mau karena dipaksa mentrinya.
Pendapat semacam ini jelas naif dan merendahkan kemampuan BUMN kita yang sudah
piawai dalam berbisnis. Bahwa mereka masih perlu belajar, ya, itu sudah pasti. Tapi sudah
saatnya kita satukan kekuatan, percayai bangsa sendiri dan sama-sama hadapi kekuatan lobi
asing yang modalnya tak terbatas untuk memecah belah masa depan bangsa ini.
Zaman sudah berubah, pengetahuan kita pun jauh lebih baik. Sayang kalau para pengamat kurang berani menggalinya. Konsep bisnis memang bukan hal yang mudah untuk dianalisis dalam sejam dua jam. Ilmu ini terus berkembang.
Baiklah bagaimana peluang bisnis yang akan muncul dalam eko-sistem proyek koridor Jakarta-bandung ini akan saya bahas lebih lanjut besok. Semoga anda bersabar. (Prof. Rhenald Kasali; http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/10/12/053000726/Menyoal.Ribut-ribut.Kereta.Cepat.Jakarta-Bandung.bagian.1.?page=1)-FatchurR