‘Waktoe itoe’ Nonton ‘film’ di kelurahan
Jaman 1970-an, hidup di desa, tontonan adalah hal mahal dan jarang. Maka kalau ada tontonan hampir pasti banyak yang menonton, apakah itu wayang kulit, wayang orang, ketoprak, tari-tarian, band, orkes melayu (kini ganti nama dangdut), samrah (kini namanya kasidah), kobra siswa, jendralan, jathilan dsb.
Oh ya, ada satu lagi, tontonan : Film, tentunya film yang diputar di lapangan kalau ada hajatan dan gambarnya hitam putih saja. Waktu itu belum ada film Indonesia yang diputar di lapangan begini. Sekarang tontonan ini bernama layar tancap.
Sekalipun itu jauh, menonton tanpa uang bekal sama sekali, saya termasuk yang senang menonton semua tontonan di atas. Teman2 lain juga tidak punya uang bekal. Pada suatu waktu, di sore hari, tiba-tiba Pak Kebayan atau di daerah lain disebut Pak Jagabaya (kini kira-kira setara dengan Ketua RW) memberi tahu bahwa nanti malam di kelurahan akan ada tontonan berupa film.
Memang aneh pengumuman itu, sebab biasanya kalau ada tontonan apapun, jauh hari sudah ada pemberitahuan dari mulut ke mulut, entah itu dari teman sekolah, teman bermain, tetangga, penjual sate lontong, atau penjual balon, atau penjual nasi pecel yang akan berjualan di sana. Ini kok pengumuman mendadak, justru oleh Pak Kebayan, mana mendatangi rumah-rumah warga lagi.
Maka saya dan kawan-kawan yang saat itu masih anak-anak sehabis maghrib berangkat ke kelurahan yang jaraknya sekitar satu kilometer, melewati jalanan berbatu nan gelap, karena memang saat itu belum ada listrik.
Saya tidak takut sebab banyak kawannya dan ada pula orang tua. Kalau sendirian ya jelas takut, sebab saat itu jalanan sangat sepi, apalagi malam hari. Lalu ada jalanan menurun melewati sungai, dan naik lagi. Di kiri kanan kebun bambu nan lebat. Juga di sisi jalan ada dua kuburan besar.
Sesampai di kelurahan, sudah ada ‘film’ itu dan ternyata pula yang dimaksud ‘film’ oleh Pak Kebayan TV besar sekitar 24 inci, hitam putih dan ditaruh di tempat tinggi, di halaman rumah Pak Lurah yang luas, agar dapat ditonton orang banyak. TV itu menggunakan aki, di tempat kami belum ada listrik. TV itu dibawa petugas Kecamatan. Antena dipasang dibatang bambu yang tinggi, yang ditanam di halaman itu.
Karena jaraknya jauh dari statiun pemancar, maka gambar di TV kurang bersih, ada semutnya. Kemudian ada petugas minta ongkos, tiap orang xx rupiah. Mungkin untuk ongkos beli bensin mobil dan ongkos strum aki. Tapi ‘untung’, karena sore tadi Pak Kebayan tidak memberi tahu hal itu, maka saya dan kawan2 tidak ada yang membawa uang. Jadi ya tidak membayar.
Namanya TV dan saat itu yang ada baru TVRI, maka acaranya macam2, ada berita, acara ini dan itu. Di akhir acara ada lagu2 daerah, entah dari daerah mana. Pada jam 10 malam siaran selesai dan tutup. Lalu kami pulang, walau belum puas menonton, karena baru sekitar tiga jam saja. Biasanya kalau menonton film layar tancap jam 2 atau jam 3 malam baru selesai.
Nah, yang aneh dari tontonan ini adalah, tadi Pak Kebayan memberi tahu ada tontonan ‘film’ di kelurahan, namun ternyata sampai acara selesai, di televisi itu tidak ada ‘film’-nya sama sekali . KBY. Kok bisa ya ? (Widartoks 2015; dari grup FB Media Telkom)-FR