Cerita ‘waktoe itoe’ Pak P a n d r i
Dahulu banyak orang Jawa (tidak semua) punya ‘nama tua’. Misal ada jejaka bernama Dadap, menikah dengan gadis bernama Melati. Setelah menikah mereka kemudian mempunyai “nama tua’, misalnya Harjo Mulyo, Dargo Sumitro, Joyo Sentiko, dsb; yang terkesan ‘tua’. Maka sejak itu Dadap dan Melati akan dipanggil dengan ‘nama tua’ itu.
Mungkin kalau di dalam Bahasa Inggris bisa ditambahkan sebagai ‘nama belakang’. “Nama tua’ ini diumumkan pada saat acara pengantenan (resepsi), sehingga semua orang tahu dan pada saat itu semua orang membicarakan nama itu dan menghafalkannya. Mulai esok, Dadap dan Melati akan dipanggil dengan nama “tua itu’.
Walau memiliki ‘nama tua’, namun ada yang tetap memanggil nama kecilnya, sebab kadang sulit juga mengubah panggilan, terutama untuk keluarga atau teman dekat. Bapaknya Pak Johar juga punya nama kecil dan ‘nama tua’. Banyak yang memanggil dengan nama kecil dan ada yang memanggil dengan ‘nama tua’.
Nah, selain nama kecil dan ‘nama tua’ itu, bapaknya Pak Johar juga sering dipanggil dengan nama lain, yaitu Pak Pandri. Pak Johar kecil tidak tahu persis nama Pandri itu dari mana, apakah nama alias, atau nama panggilan lain, misalnya panggilan kesayangan.
Belakangan Pak Johar kecil tahu, ternyata dalam satu kelurahan ada juga orang lain yang bernama Pandri itu. Artinya nama Pandri ini tentulah dipakai banyak orang, di banyak daerah di sekitar kampungnya Pak Johar.
Setelah besar dan dewasa, Pak Johar baru tahu, Pandri itu ternyata nama ‘pangkat’ dalam ketentaraan Belanda. Pandri itu pangkat terendah dalam ketenteraan Belanda. Soal panggilan Pak Pandri itu, kalau jaman sekarang mungkin ada di kampung yang dipanggil Pak Sersan, Pak Kapten atau Pak Jendral, begitulah kira-kira.
Mengapa mereka dipanggil dengan nama Pak Pandri? Karena mereka itu sejak masuk menjadi tentara Belanda (di jaman penjajahan Belanda, tahun 1900-an) sampai pensiun (sebelum Jepang masuk ke Indonesia), pangkatnya ya Pandri itu, tidak pernah naik pangkat .